Oleh : Jesiati
#MuslimahTimes — Banjir yang sedang terjadi di Jakarta dan sekitarnya baru-baru ini terdapat kontradiksi sebaian besar beranggapan itu adalah fenomena alam, infrastruktur yang kurang memadai adalah penyebab terjadinya banjir. Apakah benar karena fenomena alam atau ada sesuatu hal yang sistemik?
Jika kita melihat fakta saat ini bahwa banjir telah terjadi berulang-ulang, tentu kitapun bertanya-tanya kok bisa. Kita perlu menelusuri fakta-fakta yang terjadi agar bisa menganalisis penyebabnya sehingga mampu mendapatkan solusi tuntas permasalahan banjir tersebut.
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menyatakan, berdasarkan laporan dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) hujan yang turun di momen pergantian tahun ini adalah yang paling ekstrem selama kurun waktu 24 tahun terakhir. “Tapi kita bersyukur dalam waktu satu hari ini semua sudah berangsur lebih baik,” ujar Anies saat ditemui sesuai mengunjungi korban banjir di Kampung Pulo, Jakarta Timur, Kamis (2/1).
Anies menjelaskan, pihaknya tidak ingin mencari-cari alasan apalagi menyalahkan siapapun termasuk pembangunan infrastruktur yang saat ini sedang digenjot. “Kalau curah hujan tidak ada kaitannya dengan bangunan karena curah hujan datang dari atas toh, tapi pengendalian air yang sudah turun, disitu letak tantangannya,” pungkasnya (RMOL.ID, 3/1/2020).
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono membantah banjir di beberapa wilayah Jabodetabek karena masifnya pembangunan infrastruktur tanpa mengindahkan lingkungan. Hal ini senada dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan yang tidak mau menyalahkan pembangunan infrastruktur. Basuki pun meyakini masifnya pembangunan infrastruktur tidak mengurangi daerah resapan air. “Enggak, enggak lah (infrastruktur mengurangi daerah resapan). Di mana?” kata Basuki di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, (VIVAnews, 3/1/2020).
Basuki pun memastikan pembangunan infrastruktur secara keseluruhan seperti misalnya jalan tol sudah memiliki kajian analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Sementara itu, terkait AMDAL yang rencananya juga akan disederhanakan melalui Omnibus Law nanti, Basuki menegaskan, itu hanya untuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) permukiman.
“RTRW yang itu (Omnibus Law) untuk permukiman. Kalau mau bikin permukiman enggak perlu lagi Amdal. Wong sudah di dalam (kawasan), kecuali kalau di luar,” kata dia.
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi menyebut, banjir yang terjadi di sejumlah wilayah akibat penggundulan hutan, penyempitan dan pendangkalan sungai hingga pembangunan yang jor-joran.
“Banjir terjadi di mana-mana, tidak usah saling menyalahkan karena ini kesalahan kolektif bersama,” kata Dedi melalui sambungan telepon, Kamis (KOMPAS.com). Dedi menyebut, banjir juga disebabkan oleh pembangunan properti yang jor-joran, tanpa mengindahkan tanah rawa, sawah dan cekungan danau. Semuanya dibabat dan diembat.
Di awal periode kedua, pemerintahan Jokowi sudah melemparkan wacana akan menghapus Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Pemerintah beralasan penghapusan tersebut agar mempermudah usaha. Pemerintah bahkan telah memasukkan aturan tersebut dalam skema perundangan omnibus law yang tertuang dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja yang merangkum lebih dari 70 undang-undang.
Bagi yang waras akalnya, pasti akan berpikir wacana ini berarti kian mempercepat penghancuran lingkungan. Ada AMDAL dan IMB saja lingkungan sudah demikian merana, apalagi bila keduanya dihapus. Sebutlah kawasan Jabodetabek, hanya dalam waktu lima tahun sebanyak 56 situ telah beralih fungsi menjadi perumahan atau kawasan bisnis. Yang tersisa pun mengalami pendangkalan dan kerusakan parah karena diabaikan oleh pemda. Sedangkan luas total situ di Jabodatabek berkurang drastis yaitu 2.337,10 hektare untuk total 240 situ, sekarang menjadi hanya 1.462,78 hektare untuk 184 situ. Padahal dengan potensi 42 danau, 13 sungai, kanal barat dan timur, serta curah hujan yang cukup besar hingga kapasitas 2 miliar kubik per tahun, seharusnya penduduk Jakarta bisa memiliki air tanah dan air bersih yang melimpah. Padahal, banyak kawasan hijau seperti hutan kota, persawahan dan hutan mangrove di Jakarta diserobot para pengembang kelas kakap dan para konglomerat.
Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga menyatakan, banyak kawasan resapan air di Jakarta telah beralih fungsi menjadi kawasan perumahan elit dan pusat-pusat bisnis.
Beberapa perumahan mewah dan sentra bisnis telah merebut daerah resapan air bahkan persawahan. Sebut saja mall Kelapa Gading dan Kelapa Gading Square. Pantai Indah Kapuk yang awalnya kawasan hutan lindung menjadi permukiman elit Pantai Indah Kapuk, Mutiara Indah, dan Damai Indah Padang Golf. Juga kawasan Sunter yang merupakan area resapan air menjadi permukiman elit Sunter Agung, PT Astra Komponen, Astra Daihatsu, PT Denso Indonesia, dan PT Dunia Express Trasindo. Hutan Kota Senayan menjadi Hotel Mulia, Sultan Hotel, stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Semanggi, Senayan Residence Apartment, Hotel Century Atlet, Simprug Golf, dan Plaza Senayan. Terakhir, Hutan Kota Tomang menjadi Mall Taman Anggrek dan Mediteranian Garden Residence I dan II. Ada lebih dari 3.000 hektare kawasan yang awalnya berfungsi sebagai tangkapan air dan hutan kota, kini beralih fungsi menjadi bangunan. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2010, Jakarta kehilangan 476 hektare ruang terbuka hijau dan 3.384 ha areal resapan air. Jika diakumulasikan, luasnya mencapai angka 4 ribu ha (RMOL.com, 18/10/2010).
Hujan semestinya menjadi berkah.
Tapi bila pembangunan yang ada minus spirit ri’ayah, diganti dengan jiwa serakah, maka berkah berubah menjadi musibah. Para pengusaha dan penguasa mungkin bergembira manakala keuntungan, PAD dan devisa berlimpah. Tapi di ujung kegembiraan itu ada lorong bencana menanti. Sebagaimana sudah Allah peringatkan jauh-jauh hari: “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. al-An’am: 44).
Maka program penanggulangan banjir apapun, termasuk rencana pembangunan deep tunnel tidak akan menyelesaikan persoalan. Karena big and essential problem-nya bukanlah pada tata ruang wilayah, akan tetapi pada ideologi yang dianut oleh seluruh penguasa negeri ini di daerah maupun pusat.
Persoalan banjir di ibu kota dan wilayah manapun, akan terus terjadi bila negara selalu kalah apalagi mengalah pada kaum kapitalis dalam membangun negeri. Negeri dan hajat hidup publik pun tergadaikan. Bencana yang timbul berupa banjir bukanlah sekadar fenomena alam semata. Tapi bencana tersebut diakibatkan oleh tangan manusia. Tangan-tangan manusia yang berulah dan menggunakan kekuasaannya tidak untuk mematuhi syariat Islam, melainkan untuk berbuat kezaliman dan mengabaikan seruan dan perintah syariat Islam. Banjir termasuk kuasa Allah yang menghendaki hambanya kembali kejalan yang benar sesuai aturan Allah dengan menerapkan syariat-Nya.