Oleh: Ummu Ainyssa
(Pendidik Generasi dan Member Akademi Menulis Kreatif)
Muslimahtimes– Miris dan memalukan, lagi-lagi berita tentang korupsi masih saja menghiasi layar televisi setiap hari, seolah tiada henti.
Belum selesai kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya, penegak hukum kini harus bersiap menangani kasus yang diperkirakan tidak kalah besarnya. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan adanya informasi korupsi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI).
Mahfud juga menyebutkan bahwa isu korupsi di asuransi yang diperuntukkan bagi anggota TNI ini nilainya pun tidak kalah besar dengan Jiwasraya, yakni mencapai Rp 10 triliun.
“Saya mendengar ada isu korupsi di Asabri yang mungkin itu tak kalah fantastisnya dengan kasus Jiwasraya, di atas Rp 10 triliun,” ujar Mahfud di Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, 10 Januari 2020 lalu. (Kompas.com, 13 Januari 2020).
Selain kabar tentang kasus korupsi di Jiwasraya dan Asabri tersebut, kabar yang tak kalah mencengangkan juga datang dari mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina yang ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah terjaring operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu 8 Januari 2020 lalu bersama ketiga temannya yakni Wahyu Setiawan (Komisioner KPU) serta Harun Masiku dan Saeful selaku pemberi dalam kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji pada penetapan anggota DPR 2019-2024, dengan barang bukti uang sekitar Rp 400 Juta dalam bentuk uang Singapura dan buku rekening. (Suara.com, Jumat 10 Januari 2020)
Terbongkarnya kasus/skandal korupsi Jiwasraya, Asabri, suap di KPU , Pelindo, dan yang lainnya ini sungguh makin mengerikan dan menyakitkan hati umat. Sekaligus kasus ini menambah panjang daftar korupsi di negeri ini.
Dan semua ini adalah tidak lain karena buruknya sistem demokrasi yang diterapkan. Sistem ini terbukti tidak bisa melahirkan pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab. Sebagai bukti masih saja banyak pejabat negara yang menjadi langganan KPK.
Mahalnya biaya politik dalam sistem demokrasi ini membuat para pejabat harus memutar otak untuk mengembalikan modal mereka. Hingga harus menghalalkan segala cara dengan jual beli kekuasaan dan kebijakan , termasuk memakan uang negara yang seharusnya menjadi hak seluruh rakyat. Bahkan orang baik sekalipun bisa menjadi koruptor di dalam sistem ini. Mereka tidak lagi memperdulikan hati nurani mereka, mereka tetap dalam kerakusannya, kendatipun mereka melihat kemiskinan yang semakin meningkat di negeri ini.
Berbeda halnya dengan sistem politik di dalam Islam yang akan melahirkan pemimpin yang amanah dan bisa mengayomi rakyatnya.
Dalam pandangan Islam kekuasaan ada di tangan rakyat dan kedaulatan ada pada Allah (sesuai Alquran dan Hadis). Itu artinya kepala negara (Khalifah) yang di angkat berdasarkan ridha dan pilihan rakyat adalah mereka yang mendapat kepercayaan dari rakyat untuk menjalankan pemerintahan sesuai Alquran dan hadis. Begitu pula pejabat-pejabat yang diangkat. Pengangkatannya tidak berbiaya tinggi, dan mereka yang diangkat adalah orang-orang yang amanah dan berkualitas.
Dari sinilah, maka secara mayoritas pejabat Negara tidak akan melakukan kecurangan, baik korupsi, suap maupun yang lainnya. Karena mereka paham bahwa dalam hukum Islam ada larangan keras menerima harta ghulul, yaitu harta yang diperoleh para wali (gubernur), Amil (kepala daerah setingkat walikota/bupati) dan para pegawai negara dengan cara yang tidak syar’i.
Sekalipun demikian tetap ada perangkat hukum yang telah disiapkan untuk mengatasi kemungkinan kecurangan yang dilakukan oleh para pejabat/pegawai negara.
Sebagai contoh khalifah Umar bin al Khattab yang terkenal sebagai kholifah yang berani dan tegas dalam memegang prinsip dan amanat yang di pikulnya.
Suatu malam saat beliau sedang mengerjakan tugas negara di ruang pribadinya dengan menggunakan lampu minyak, sesaat datanglah saudaranya ingin mengadukan masalahnya.
Sang khalifah kemudian bertanya: “masalah yang hendak engkau utarakan ini berkaitan dengan masalah pribadimu ataukah masalah negara?” Dijawablah oleh saudaranya bahwa ini adalah masalah pribadi. Khlifah Umar segera mematikan lampu minyak di ruangannya. Kemudian saudara bertanya kembali: “wahai kholifah kenapa engkau malah mematikan lampu ini?” Khalifah Umar menjawab :”engkau hendak menyampaikan masalah pribadimu , sementara lampu minyak ini adalah di biayai oleh negara. Tidak pantas kita memakainya untuk keperluan pribadi kita”. Seketika saudara itu pun terkejut dan terdiam.
Ini adalah kisah nyata yang tentu sudah dicatat dalam sejarah agar bisa dijadikan inspirasi bagi kita semua, khususnya bagi para pemimpin negeri agar lebih berhati-hati dalam memegang kekuasaannya , tidak tergoda dan mabuk kekuasaan yang membuatnya lupa diri. Bahwa kekuasaan sebenarnya bukanlah keistimewaan melainkan tanggung jawab. Kekuasaan bukanlah kewenangan untuk bertindak apapun, melainkan bentuk amanah dari Allah SWT untuk dijaga dan dilaksanakan secara baik dan benar.
Tentulah kita merindukan pemimpin seperti Umar tersebut yang sangat besar ketakutannya kepada Allah SWT ketika harus menggunakan fasilitas negara yang sejatinya itu bukanlah fasilitas untuk pribadinya.
Dan semua itu hanya akan kita dapat dalam negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah.
Di dalam sistem Islam salah satu pilar terpenting untuk mencegah korupsi adalah dengan menggunakan sistem pengawasan yang bagus, baik dari individu, kelompok maupun negara.
Berikut adalah cara Islam menangani pelaku korupsi diantaranya:
Pertama: Islam akan menerapkan seperangkat hukum pidana yang tegas dan membuat jera.
Sistem sanksi yang berupa ta’zir bertindak sebagai penebus dosa (al jawabir) sehingga mendorong para pelaku untuk bertaubat dan menyerahkan diri.
Kedua: Islam juga sangat memperhatikan kesejahteraan para pegawainya dengan cara menerapkan sistem penggajian yang layak.
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang menjadi pegawai kami hendaklah mengambil seorang isteri, jika tidak mempunyai pelayan, hendaklah ia mengambil seorang pelayan. Dan jika tidak mempunyai tempat tinggal , hendaklah ia mengambil rumah”.(HR Abu Dawud)
Dengan terpenuhinya semua kebutuhan mereka, tentu akan cukup menekan terjadinya tindak korupsi.
Ketiga : untuk menghindari membengkaknya harta kekayaan para pegawai , sistem Islam juga menerapkan perhitungan harta kekayaan para pegawainya secara rutin.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita membuang jauh-jauh sistem demokrasi yang hanya akan menyuburkan tindak korupsi dan kemaksiatan lainnya. Kemudian kita beralih kepada sistem Islam yang menerapkan aturan dari Sang Pencipta yaitu menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam semua aspek kehidupan.