Oleh : Ifa Mufida
(Pemerhati Kebijakan Publik)
#MuslimahTimes –– Kran impor garam kembali dibuka. Tahun 2020 ini, sebanyak 2,92 juta ton gram industri akan diimpor pemerintah. Bahkan, naik 6% dari tahun sebelumnya sebanyak 2,75 juta ton. Dikatakan impor garam masih menjadi pilihan karena kualitas garam lokal yang dianggap tidak sesuai spesifikasinya. Tersebab industri membutuhkan spesifikasi NaCl di atas 97%. Sedang di Indonesia hanya memiliki kandungan NaCl sebesar 81%-96%. Sebagaimana dilansir CNBC Indonesia, bahwa Menteri Perindustrian Agus Gumiwang menilai impor garam terpaksa dilakukan demi menjaga keberlangsungan industri dalam negeri.
Dibukanya kran impor ini kembali merugikan petani garam. Pasokan garam yang melimpah menyebabkan garam lokal harus bersaing ketat. Petani kesulitan untuk memasarkan sebab banyaknya saingan. Belum lagi harga garam lokal akhirnya mengalami penurunan yang tajam. Sebelumnya Rp 1.000-2.000 per kilogram menjadi Rp 400 per kilogram. Lagi-lagi petani kecil harus dikorbankan.
Maka, siapa yang percaya kalau pemerintah menyatakan memiliki komitmen untuk menutup kran impor. Apalagi pernah menjanjikan Indonesia bisa swasembada garam? Itu semua hanyalah llusi, tanpa realisasi. Yang ada justru setiap kebijakan justru memihak pada korporasi. Berbagai alasan pun dilontarkan, mulai dari faktor kuantitas yang dikatakan tidak mencukupi sampai kualitas yang dirasa tidak memadai.
Maka solusi membuka kran impor sejatinya justru menjadi bukti bahwa pemerintah telah benar-benar gagal mensejahterakan rakyat serta tak bisa memajukan negara. Negeri Indonesia sebagai negeri maritim harusnya bisa memanfaatkan potensi tersebut sebagai negara peng-ekspor garam. Setidaknya kebutuhan dalam negeri bisa dipenuhi secara optimal, tanpa harus impor.
Berkenan dengan kuantitas yang dikatakan masih kurang untuk memenuhi kebutuhan. Maka perlu juga didetailkan, apakah selama ini pemerintah sudah menyerap kebutuhan garam dari petani lokal secara optimal? Jika belum, harusnya dioptimalkan dulu serta menutup kran impor. Kemudian berfokus untuk mengelola dan memajukan produksi garam lokal.
Sebagaimana menurut Lembaga riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) meragukan swasembada garam pada 2021 bisa tercapai tanpa ada upaya menggenjot produksi garam nasional. “Kalau 2021 mau swasembada garam, saya tidak yakin karena mau tidak mau kita harus impor,” kata Chairwoman CIPS Saidah Sakwan dalam diskusi Food Security Forum on Salt di Jakarta.
Sedang berkenaan dengan kualitas garam lokal yang katanya kurang dan tidak standart, maka seharusnya pemerintah bisa mengupayakan untuk memberikan dukungan baik modal, alat ataukah bimbingan agar kualitas garam lokal menjadi lebih baik. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk membenarkan impor garam karena kualitas garam dalam negeri yang rendah.
Dengan menghapus kebijakan impor garam, maka pendistribusian garam di Indonesia bisa optimal, bahkan negara Indonesia dapat mengimpor garam ke luar negeri dengan kualitas bersaing. Namun hal tersebut mustahil terwujud jikalau Indonesia masih terikat dengan peraturan internasional. Pun juga ketika Indonesia masih menerapkan sistem ekonomi kapitalisme-liberal.
Indonesia sendiri sampai saat ini menjadi anggota dari perjanjian perdagangan multilateral Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dengan perjanjian ini, Indonesia akan sangat kesulitan untuk mencegah masuknya barang dari luar negeri. Dengan kata lain, Indonesia justru dituntut untuk mengimpor komoditi.
Di sisi lain, Indonesia sebagai negara yang menerapkan ekonomi liberal justru menganggap bahwa impor dalam rangka mendapatkan keuntungan. Tersebab perdagangan luar negeri (foreign trade) dalam negara kapital, bertujuan untuk meningkatkan dan mendapatkan pendapatan bea cukai yang besar. Maka dengan impor garam, bisa saja dimanfaatkan berbagai fihak untuk mendapatkan keuntungan.
Berbeda dengan islam. Di dalam Islam, perdagangan luar negeri merupakan salah satu bentuk hubungan antarnegara, bangsa dan umat. Hubungan-hubungan ini semuanya harus tunduk kepada syariah melalui kekuasaan negara. Negara lah yang harus mengatur dan mengarahkan perdagangan tersebut secara langsung, baik perdagangan tersebut merupakan hubungan antara individu, hubungan ekonomi, maupun perdagangan. Negara dengan pemerintahan Islam akan melarang dikeluarkannya beberapa komoditi, dan membolehkan beberapa komoditi yang lain serta akan campur tangan terhadap pelaku bisnis kafir harbi dan muahid.
Islam juga akan senantiasa menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Bukan seperti politik liberal yang justru tega menjadikan rakyat sebagai korban. Sudah gamblang sistem ekonomi kapitalis tidak mampu mewujudkan kesejahteraan, sudah saatnya ditanggalkan. Mengembalikan setiap permasalahan kepada islam, bisa menjadi solusi jitu mengatasi segala permasalahan kompleks negri ini.
Wallohu A’lam bisshowab.