Karut Marut Sistem Tata Kelola Banjir di Era Kapitalis
Oleh : Sunarti
Muslimahtimes – “Nek rendeng ra iso ndodok, nek tigo ra iso cewok”. Bila musim penghujan tidak bisa duduk karena becek dan banjir. Bila musim kemarau tidak bisa cebok, karena kekeringan. Inilah yang dialami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia pada umumnya dan Jawa Timur khususnya hingga daerah/kota-kota kecil di bagian Jawa Timur bagian Barat, yaitu Ngawi.
Begitu banyak kasus bermunculan di musim penghujan. Yang lebih mengenaskan adalah terjadinya bencana banjir yang selalu berulang setiap musim penghujan.
Seperti yang dialami Ngawi, yang menjadi langganan banjir di setiap tahunnya. Menurut Jawa Pos Radar Ngawi, bencana hidrometeorologi 2020 mengancam hampir seluruh wilayah Jawa Timur. Tak terkecuali Kabupaten Ngawi. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Ngawi Prila Yuda Putra, potensi bencana hidrometeorologi di Ngawi cukup tinggi. Dan banjir yang terjadi setiap musim penghujan.
Bencana memang kuasa Allah, namun ada campur tangan manusia di dalamnya. Secara geografis Ngawi memang rawan banjir. Namun yang disayangkan, ke depannya kerawanan tersebut disinyalir kuat akan semakin parah dengan rencana pembangunan beberapa pabrik.
Pembangunan beberapa pabrik telah direncanakan dan sudah disediakan 500 hektar lahan untuk calon kawasan industri. Hal ini seiring dengan target pemda yang ingin meningkatkan investasi, agar PAD meningkat. Dengan tingkat UMR rendah, bahan baku murah, lahan murah dll. Ini semua diharapkan bisa menarik para investor. Karena keuntungan berlipat yang akan mereka dapatkan.
Kemudahan investasi ini sangat didukung dengan adanya jalan tol. Sehingga arus barang dan jasa semakin mudah. Maka efeknya akan menguntungkan investor. Sayangnya rakyat tetap saja menjadi buruh bergaji kecil.
Hal lain berasal dari tata kelola pembangunan, baik kawasan industri maupun perumahan. Rencana pembangunan pabrik belum diimbangi dengan konsep yang jelas terkait RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah) dan RDTRK (Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan). Jelas ini akan menimbulkan potensi masalah.
Daerah resapan air tidak dirancang, sementara penggusuran lahan pertanian semakin banyak. Dengan alasan kemajuan, pabrik-pabrik didirikan tanpa melihat lahan yang digunakan untuk pembangunan, apakah lahan subur atau lahan tandus. Beberapa kawasan subur yang menjadi lahan serapan, juga tak luput dari pembangunan pabrik dan gedung-gedung.
Tentu ke depan, ini akan memperparah bencana yang melanda. Siapa lagi yang akan dirugikan jika bukan rakyat? Sedangkan anggaran yang digelontorkan untuk bencana pun ala kadarnya.
Media Jatim.com mengabarkan bahwa saat ini, secara umum di Jawa Timur, selain kawasan industri yang dikelola perusahaan plat merah, bermunculan pula kawasan industri yang dikelola pihak swasta. Beberapa di antaranya hasil saham gabungan dengan anak perusahaan negara.
//Sistem Sekular Melemahkan Riayah Negara pada Rakyat//
Sistem kapitalisme telah mengebiri kemampuan negara mendapatkan dana segar dari sumber daya alam yang ada untuk penanggulangan bencana. Sebab, begitu banyaknya perusahaan yang ada saat ini adalah perusahaan milik asing. Negara hanya memiliki sebagian kecil saja, bahkan hanya pemilik sedikit modal yang secara otomatis mendapat keuntungan yang kecil pula.
Saat ini pemerintah takluk dengan perusahaan besar, hingga terjadi bencana, seperti banjir, kekeringan massal, krisis air bersih hingga kebakaran hutan di berbagai desa di Jatim. Hal ini disebabkan karena banyaknya tangan-tangan manusia yang tidak menggunakan tata kelola pembangunan yang mengesampingkan kepentingan masyarakat.
Secara umum, selain persoalan itu semua, pemerintah seolah tak berdaya kepada perusahaan-perusahaan milik asing yang mendirikan bangunan di atas tanah subur. Ini menunjukkan penguasa tidak berpihak pada rakyat, namun berpihak pada koorporat/perusahaan.
//Kebijakan Sistem Sekuler Berbanding Terbalik dengan Sistem Islam//
Bertolak belakang dengan kondisi saat ini, sistem Islam yang sempurna sebagai penjaganya akan hadir memberi solusi maksimal. Dalam perannya, Khalifah sebagai pengatur urusan rakyatnya akan mengelola segala yang ada di alam untuk kepentingan umat dengan berpatokan kepada aturan Allah saja.
Jika kerusakan lingkungan akibat kerusakan hutan, maka perlu adanya penjagaan hutan. Mengingat sangat penting keberadaan hutan di suatu wilayah. Tentu saja pencegahan bencana secara promotif kapada jajaran pemerintahan hingga rakyat. Diantaranya, memberi pemahaman kepada masyarakat luas tentang manfaat hutan.
Hutan merupakan keindahan alam dari Sang Pencipta. Dengan fungsinya sebagai pencegah erosi akan melindungi lapisan tanah paling atas. Fungsi ini menjaga lapisan tanah tidak hanyut ketika terjadi banjir atau hujan lebat (mencegah longsor dan banjir bandang). Selain mampu mencegah erosi, hutan juga dapat menjaga lapisan bagian atas dari tanah tetap dalam kondisi subur.
Fungsi berikutnya adalah mengatur iklim. Keberadaan hutan bisa menjaga kelembaban dan suhu udara akan tetap stabil. Serta mengurangi tingkat penguapan air di dalam tanah.
Berikutnya hutan juga memiliki fungsi hidrologis, yaitu berperan sebagai penyimpan air di dalam tanah dan mengatur peredarannya dalam bentuk mata air. Sebagai penyerap air, hutan akan menyimpan air di dalam tanah dengan fungsi akarnya. Sehingga ketika hujan lebat, air sebagian meresap ke dalam tanah dan sebagian yang lainnya mengalir tanpa menimbulkan tanah longsor. Akar-akar tanaman di hujan, menjadi penghalang tanah di bawahnya. Selain itu semua, hutan sangat berguna sebagai tempat hidup (ekosistem) hewan.
Upaya preventif yaitu dengan edukasi penguatan iman (wajibnya menjaga lingkungan). Perlindungan ketat terhadap hutan lindung dari para penambang liar, penebang pohon liar maupun dari kepemilikan individu dan kelompok (pengusaha) sangat dilarang, pembangunan dilahan subur tidak diperbolehkan, pengelolaan sampah yang baik.
Dalam usaha preventif, pemerintah (khalifah) akan mengadakan penelitian untuk mencegah dan mengatasi bencana (dukungan dana tak terbatas dari Baitul Mal, untuk memotivasi para peneliti demi mencari solusi terbaik). Khilafah juga akan mencegah aset negara dan umum dikuasai oleh individu atau korporat.
Tindakan kuratif juga akan dilakukan. Yaitu tindakan tegas berupa hukuman terhadap perusahaan asing maupun swasta yang tidak memiliki izin serta tidak memperhatikan kondisi lingkungan. Ini dilakukan untuk memberi efek jera pada pelaku dan rasa takut kepada orang-orang yang hendak melakukan pengrusakan lingkungan. Sebab, tata kelola pembangunan juga musti memperhatikan lingkungan.
Jika penyebab utama banjir dan kerusakan lingkungan adalah sampah, maka kebijakan pengelolaan sampah musti diperhatikan. Misalkan yang organik, bisa didaur ulang menjadi pupuk atau barang lain yang bermanfaat. Sedangkan untuk non organik, bisa didaur ulang menjadi bahan baku atau bahan tambahan yang bisa membantu produktifitas pabrik, baik kertas, plastik atau sampah bahan berat lainnya.
Sampah organik maupun non organik dilakukan dengan menggunakan alat/mesin pendaur ulang. Tentu saja hal ini membutuhkan peran negara sebagai penyedia alat berat tersebut. Atau boleh dalam hal ini pihak swasta sebagai pengelola, dengan catatan tidak merugikan umat.
Untuk pemisahannya bisa dimulai dari rakyat (rumah tangga, perkantoran) dengan penyuluhan secara masif, tentang pemisahan sampah-sampah tersebut. Sehingga terjadi keasinkronan antara pihak penampung dengan pihak pembuang sampah.
Untuk pabrik-pabrik ada aturan pengolahan/daur ulang sampah mereka. Sehingga ketika ada zat-zat berbahaya dari sampahnya, bisa diolah menjadi zat yang aman untuk lingkungan. Misalkan saja pengolahan limbah yang memenuhi standart aman lingkungan.
Tertibnya penduduk, perusahaan/pabrik dalam memisah dan membuang sampah bisa menjadikan lingkungan yang bersih dan sehat.
Jika banjir dan kerusakan lingkungan karena tata kelola pembangunan, maka pemerintah wajib mengaturnya dengan seksama. Dengan keahlian anak bangsa tentang arsitekturnya, bisa membuat sebuah daerah bebas banjir dan maupun kekeringan.
Pemanfaatan tanah oleh para pengusaha dengan pemanfaatan pada lahan tandus saja. Jadi perusahaan didirikan/dibangun hanya di atas tanah yang tandus, jauh dari hunian penduduk dan tentu saja dikelola oleh pemerintah. Agar rakyat tetap bisa memanfaatkan tanah subur. Serta untuk menjaga sirkulasi air tanah di tanah subur.
Belajar dari pengalaman terdahulu, tentang berbagai bencana, hendaknya cuaca seharusnya menjadi acuan bagi Pemerintah untuk menanggulangi akibat bencana agar tidak berulang. Harus ada upaya agar kasus serupa tidak terulang. Harus ada upaya serius dari Pemerintah, dengan memaksimalkan potensi yang ada,untuk melakukan upaya promotif, preventif dan kuratif.
Wallahu alam bishshowwab.