Mewaspadai Bahaya Tsaqofah Asing
Oleh: Shafayasmin Salsabila
(Penulis Muslimah dari Indramayu)
Muslimahtimes – Masih terekam dalam ingatan saat menjenguk seorang sahabat. Sudah satu tahun lebih, tubuhnya melemah dan larut dalam perjuangan istimewa, memenangkan kesembuhan. Meski terkadang air matanya menetes, namun tatkala kami bernostagia saat masirah (aksi turun ke jalan) demi melaksanakan kewajiban mengoreksi penguasa, saya melihat binar semangat menguat di matanya, tangannya sontak dikepal meninju udara sambil menggemakan takbir dengan suara amat lirih.
Dialah sahabat seperjuangan, yang saat ini tengah digelayuti rindu meniti jalan mendaki. Sosok biasa yang menjadi luar biasa, tersebab hatinya telah menerima dakwah. Sesama perindu Khilafah.
Berkebalikan, di satu sisi ibu kota, dalam sebuah acara diskusi panel, seseorang ber-title dan jabatan tinggi, sehat badannya dan mengaku Muslim, justru meluncurkan kata-kata berbahaya yang dapat menciderai keimanan. Langit dibuat bergemuruh, seakan ingin pecah. Dikatakannya bahwa agama melarang untuk mendirikan negara seperti yang didirikan Nabi. Dengan dalih bahwa negara yang didirikan Nabi merupakan teokrasi di mana Nabi memiliki tiga kekuasaan sekaligus yaitu legislatif, yudikatif, dan eksekutif. (republika.co.id, 26/1/2020)
Tentu menjadi bahan pertanyaan mengapa umat Muslim sendiri berbeda-beda perasaan, bahkan pemikirannya. Sebagian merindukan negara warisan nabi yakni khilafah, sebagian lain justru berdiri menghadangnya. Maka, butuh kajian Islam mendalam berisi tsaqofah, atau serangkaian pemahaman Islam.
Dalam sebuah kitab berjudul “At Takatul al Hizbiy”, dijelaskan tentang beban berat sebuah partai shahih untuk membangkitkan umat pascaPerang Dunia I. Selain harus berhadapan dengan negara agresor Barat, mereka dipaksa menghadapi saudara sendiri, yakni dari kalangan mutsaqafin (kaum terdidik/intelektual).
Kalangan ini sengaja disiapkan dalam upaya politik belah bambu, demi menghadang kebangkitan Islam. Racunnya berasal dari tsaqafah/pemikiran asing. Lalu disusupkan melalui kurikulum pendidikan, agar masuk perlahan memenuhi benak kaum terdidik. Sehingga mereka permisif dan gandrung terhadap gaya hidup serta lupa dengan cara berpikir sendiri sesuai cara pandang Islam.
Benak kaum terdidik sudah dijejali dengan peradaban, persepsi, unsur-unsur sosial pembentuk negara agresor serta sejarah dan lingkungan mereka. Pemikiran sekular pun, yang memisahkan kehidupan dunia bahkan bernegara dari aturan agama, menjadi landasan berpikir kaum terdidik.
Bercokolnya tsaqofah asing ini mengaburkan pula gambaran tentang negara Islam (negara yang dicontohkan Nabi). Sehingga penyelarasan Islam terhadap fakta yang ada menjadi niscaya. Munculah istilah Islam Nusantara, Islam moderat, dan istilah lain yang serupa.
Islam akhirnya hanya diambil sebatas nilai-nilainya saja. Tidak perlu mendirikan negara Islam, tapi cukup negara Islami saja. Padahal gambaran tentang negara Islami pun masih absurd dan sulit terwujud dalam sistem pemerintahan demokrasi yang menegasikan pengaruh Islam dalam pemerintahan. Sejatinya, sikap seperti ini justu telah mengkhianati perjuangan Rasulullah Saw, sebagai perintis kepemimpinan Islam 14 abad silam.
Islam datang sebagai sebuah ideologi. Memuat serangkaian ide dasar, juga metodologi penerapannya. Cara menggunting kuku, atau buang hajat saja, Islam mengaturnya, apalagi tata cara mendirikan sebuah pemerintahan atau negara. Rasulullah Saw membangun negara di Madinah dengan asas ruhiy, yakni akidah Islam. Memiliki bentuk yang khas, berbeda dengan kerajaan ataupun republik, juga bukan teokrasi. Negara yang dibangun tersebut, bersumber pada wahyu. Demi menjawab perintah Allah dalam surah Al Anbiya ayat 107, yakni untuk menyebarkan Islam ke penjuru dunia. Maka kebijakan polugri (politik luar negeri)-nya adalah untuk dakwah menyebarkan Islam.
Itulah mengapa Rasul Saw mengirimkan surat dan delegasi ke berbagai negara di dunia seperti Romawi, Persia, Ethiopia, Mesir, Suriah, Bahrain dsb. Maka tak aneh akhirnya wilayah negara Islam meluas. Kenabian memang telah berakhir, setelah Rasul Saw wafat, namun kepemimpinan politik beliau, berlanjut di tangan para Khalifah dari Bani Ummayah, Abassiyah dan Utsmaniyah. Hal ini sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasul, “Adalah bani Israil, urusan mereka diatur oleh para nabi. Setiap seorang Nabi wafat, digantikan oleh nabi yang lain, sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, dan akan ada para Khalifah yang banyak.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Jika saja konsep bernegara seperti ini tidak lah wajib atau bahkan tidak boleh diikuti, tidak mungkin para khalifah meneladaninya. Kekhilafahan berlangsung bahkan sampai 13 abad. Tentu mereka yakni para khalifah, amat memahami maksud ittiba yang ada dalam alquran, “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (3: 31)
Peneladanan terhadap Rasul bukan sebatas masalah ibadah ritual, tapi sampai kepada tata cara bernegara. Corak dan warnanya sudah baku, tidak boleh bergeser satu inchi pun dari apa yang telah Rasul tetapkan. Dan peneladanan ini sekaligus menjadi bukti kecintaan seorang hamba kepada Allah, Dzat yang telah menciptakan manusia. Dan konsep seputar kepemimpinan dalam Islam (imamah/khilafah) tercantum dalam kitab klasik. Baik para sahabat maupun ulama slafus shaleh tidak mempertentangkan kewajiban penegakannya.
Maka sudah saatnya memproteksi pemikiran Islam dari penyesatan melalui tsaqofah asing. Menjaga kejernihan dan kebeningannya dengan kembali merujuk kepada dalil, yakni nash syara’. Dengannya, makar musuh Islam akan padam dengan sendirinya. Hak dan batil tidak lagi ambigu, terang dan jelas. Umat tidak lagi mendua perasaan dan pemikirannya. Bahkan rindu dan arah perjuangannya pun sama, yakni meninggikan kalimat Allah, dengan mendirikan institusi warisan Nabi, khilafah. “Yaa muqollibal qulub, tsabbit qalbiy ‘alaa diinik.”