Oleh: Sherly Agustina M.Ag
(Member Revowriter Cilegon)
Muslimahtimes– “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (Q.S. Al Baqarah: 151).
Dilansir oleh NUonline, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menegaskan bahwa meniru sistem pemerintahan Nabi Muhammad Saw haram hukumnya. Ia menegaskan hal itu pada Diskusi Panel Harapan Baru Dunia Islam: Meneguhkan Hubungan Indonesia-Malaysia di Gedung PBNU Kramat Raya, Jakarta, Sabtu (25/1).”
Menurut Mahfud, pemerintahan Nabi Muhammad Saw menggunakan sistem legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Semua peran itu berada dalam diri Nabi Muhammad Saw sendiri. Nabi berhak dan boleh memerankan ketiga-tiganya karena dibimbing langsung oleh Allah Swt.
Menteri Pertahanan pada era Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu mempertanyakan, setelah Nabi Muhammad Saw sendiri, adakah umat Islam yang bisa memerankan ketiga-tiganya seperti Nabi Muhammad? Menurut dia, umat Islam tidak mungkin lagi ada yang menyamainya. Oleh karena itulah, menurut dia, dilarang mendirikan negara seperti yang didirikan Nabi Muhammad.
Guru Besar Tata Negara Universitas Islam Indonesia ini menawarkan konsep negara islami, bukan negara Islam. Di dalam negara islami, yang ditekankan adalah nilai-nilai Islam dipraktikkan oleh pemerintah dan masyarakatnya. Sementara bentuknya bermacam-macam; seperti Malaysia berbentuk kerajaan, dan Indonesia republik. “Kita tak perlu negara Islam, tapi negara islami,” katanya.
Negara di dalam negara islami penduduknya taat hukum, sportif, tepat waktu, antikorupsi, dan sifat-sifat lainnya yang diajarkan ajaran Islam. “New Zealand islami, Jepang islami.”. “Keduanya, Malaysia dan Indonesia ingin membangun masyarakat islami, tapi bukan teokrasi islam.” Menurut dia apa yang dilakukan negara-negara Islam dengan bentuk negara berbeda-beda, tidak melanggar ajaran Islam. Pasalnya di dalam Al-Qur’an tidak menetapkan sama sekali bentuk negara yang harus dijalankan. (25/01/20).
Mencermati pernyataan Prof Mahfudz MD, ada beberapa hal yang harus dikritisi:
1. Ketika membandingkan sistem pemerintahan Islam dengan yang lain, demokrasi misalnya. Maka jangan menggunakan kaca mata demokrasi, tapi kaca mata Islam saja. Jika menggunakan kaca mata demokrasi maka menjadi tidak tepat. Trias politika adalah bagian dari demokrasi, dimana kekuasaan dibagi menjadi 3 bagian: eksekutif, legislatif dan yudikatif. Istilah ini pertama kali digunakan oleh John Locke kemudian dikembangkan oleh Montesque seorang filosof.
Bermula dari abad kegelapan di mana jalan tengah menjadi solusi antara pihak gerejawan dengan kaum intelektual. Dengan kata lain sekulerisme (Fashlu ad diin ‘an Al hayat), memisahkan agama dari kehidupan atau negara.
Hal ini jelas bertentangan dengan Islam, di dalam Islam tidak mengenal istilah Trias politika. Namun sistem pemerintahan Islam, daulah/negara Islam, khilafah. Dan memikiki struktur negara tersendiri dengan khas, digali dari nash-nash Syara’.
2. Nabi Saw melaksanakan langsung sendiri segala hal di dalam pemerintahan. Ini tidak sesuai dengan fakta sejarah. Faktanya Nabi Saw adalah kepala negara dibantu oleh dua Mu’awin, yaitu mu’awin tanfidz dan mu’awin taffwidh. Mu’awin tanfidz adalah Wazir yang ditunjuk oleh Khalifah sebagai pembantunya dalam implementasi kebijakan, dalam menyertai Khalifah, dan dalam menunaikan kebijakan Khalifah. (Struktur Negara Khilafah, hlm.105).
Sementara mu’awin tafwidh adalah wazir yang ditunjuk Khalifah untuk bersama-sama mengembn tanggung jawab pemerintahan dan kekuasaan. (Struktur Negara Khilafah, hlm. 90)
Struktur daulah di masa Nabi saw masih sederhana kemudian disempurnakan di masa setelah Nabi Saw wafat. Adapun struktur daulah/khilafah yang disempurnakan: Khalifah, Mu’awin Tanfidz, Mu’awin tafwidh, para Wali, Al Jihad (pasukan, keamanan dalam negeri, perindustrian, hubungan internasional), Amirul jihad (departemen perang-pasukan), keamanan dalam negeri, urusan luar negeri, perindustrian, peradilan, struktur administratif (kemaslahatan umum), Baitul mal, penerangan/lembaga informasi, majelis umat (musyawarah dan kontrol). (Struktur Negara Khilafah).
3. Hanya Syara’ sajalah yang menentukan halal dan haram. Bukan logika dan hawa nafsu karena kepentingan tertentu. Penunjukkan halal-haram hanya dilakukan oleh seorang mujtahid dengan istinbath atau menggali dari dalil-dalil syara. Untuk menjadi seorang mujtahid bukan hal yang mudah karena harus memiliki syarat-syarat yang ditentukan oleh para ulama Mujtahid. Harus mengetahui seluk beluk bahasa Arab dan juga yang berkaitan dengan bahasa Arab, memahami tsaqofah Islam yang begitu luas dan yang berkaitan dengan tsaqofah Islam dan mengetahui serta memahami fakta secara detil.
Di masa Nabi sistem pemerintahan Islam disebut Daulah Islam, dan Nabi Saw sebagai kepala negara (ru’uusu ad Daulah). Setelah Nabi Saw wafat digantikan para sahabat, disebutlah khilafah, pemimpinnya disebut Khalifah. Karena kata Khalifah maknanya adalah pengganti nabi Saw.
4. Penyebutan kata islami maksudnya bersifat islami. Artinya bukan hanya nilai-nilai Islam tapi memang ada dalil syara’nya. Dan ini hanya ada di dalam sistem Islam bukan sistem yang lain. Misalnya Indonesia menganut sistem republik, mengambil nilai-nilai Islam sehingga disebut islami.
Jiika dianalogikan dengan baju tidak matching dan tidak pas. Bagaimana bisa sistem yang digunakan bukan dari Islam, tapi nilai-nilai Islam dipakai dan disebut islami. Standar apa yang dipakai? Sistem Islamnya tidak diambil nilai keislamannya diambil, sementara nilai ini pasti berkaitan erat dengan sistemnya. Karena Islam memiliki konsep yang jelas. Jujur, bukan hanya nilai islami saja, tapi bagian dari hukum syara’ dan perintah Allah. Berprilaku jujur berarti sedang melaksanakan hukum syara, yang jika dikerjakan mendapat pahala, jika tidak berdosa. Karena dalam Islam mengenal konsep ‘ruh’ ketika melakukan aktifitas apapun. Ruh itu adalah idrak sillah Billah (menyadari ada hubungan atau kaitan dengan Allah Swt).
5. Penerapan Islam yang penting esensi atau substansi, ini keliru. Karena subtansi/esensi ini butuh formalisasi oleh sebuah sistem atau negara. Misalnya, mereka memahami salah satu subtansi ajaran Islam adalah jujur. Maka jujur ini butuh sebuah formalisasi, di mana sistem akan menjaga agar jujur ini terlaksana dengan baik atau tidak. Karena di dalam Islam perilaku jujur adalah bagian dari hukum syara’, diatur oleh sistem Islam. Sehingga periaku jujur ini bukan difahami sebagai substansi seperti logika orang-orang sekuler.
6. Sistem di negeri ini Republik mengambil nilai-nilai Islam. Di antaranya, jujur, antikorup, tepat waktu, taat hukum seperti yang disampaikan oleh Prof Mahfudz MD. Nyatanya, dalam sistem ini korupsi tumbuh subur. Kedzaliman hal biasa, kebenaran disalahkan, kesalahan dibenarkan. Hukum bisa dibeli, bahkan tumpul ke atas tajam ke bawah. Di mana letak islami atau ada nilai-nilai Islamnya?
Maka dalam melaksanakan sebuah sistem atau aturan bukan berdasar pada logika manusia semata yang serba lemah dan terbatas. Sunnatullahnya, manusia, alam semesta, dan kehidupan adalah makhluk. Dan Allah Swt yang menciptakan adalah Khaliq. Maka kewajiban makhluk cukup patuh saja pada Sang Khaliq dan menjalankan aturan yang sudah diberi oleh Sang Khaliq.
7. Al Qur’an mujmal bersifat global. Tafshili atau terperincinya ada di dalam hadis. Memang tidak ada secara tekstual bagaimana sistem pemerintahan Islam di dalam Al Quran. Maka realitasnya melihat apa yang pernah dicontohkan oleh Rasul Saw. Yaitu Daulah Islam atau Khilafah setelah Nabi Saw wafat. Bukan teokrasi.
Khilafah (bahasa Arab: الخلافة, Al-Khilāfah) didefinisikan sebagai sebuah sistem kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Orang yang memimpinnya disebut Khalifah, dapat juga disebut Imam atau Amirul Mukminin. (Sistem Pemerintahan Islam, Struktur Daulah Khilafah).
Negara Khilafah Islam bukan negara Teokrasi, sebab Khalifah (kepala negara) diakui sebagai manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan (basyariyah). Sumber hukum Negara Khilafah bukan dari Khalifah, namun bersumber dari Qur’an dan Sunnah.
Khalifah adalah kepala negara bagi kaum Muslimin. Dia bukan seorang diktator, karena pemilihan seorang Khalifah melalui kontrak politik yang khas yaitu bai’at. Tanpa adanya bai’at dari umat, seseorang tidak sah menjabat sebagai Khalifah. Ini berbeda dengan para raja dan diktator yang menguasai negeri negeri Muslim saat ini. Yang mana diktator ini merebut kekuasaan dengan paksa serta merampas sebagian kekayaan umat.
Allahu A’lam bi Ash Shawab.