Penjagaan Kerukunan Beragama oleh Sistem Islam Kafah
Oleh: Ummu Naira (Forum Muslimah Indonesia/ ForMind)
Muslimahtimes – Suhu kerukunan antarumat beragama di Sulawesi memanas. Pasalnya, telah terjadi aksi perusakan terhadap Masjid Al Hidayah yang berada di Perum Agape, Kelurahan Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut). Hal ini memicu reaksi keras umat Islam tak hanya di Sulut, tapi juga umat Islam di Poso Sulawesi Tengah dan beberapa kota lainnya di Sulawesi. Ribuan umat Islam berdatangan ke Masjid Al Hidayah (indopolitica.com, 30/01/2020).
Anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat Brigjen Pol (Purn) Anton Tabah Digdoyo menilai aksi perusakan tersebut sebagai “the real radicalism”. Itu adalah percikan api radikal intoleran yang harus dipadamkan (rmol.id, 01/02/2020).
Demokrasi Intoleran Koordinator Program Imparsial Ardimanto Adiputra mengemukakan ada 31 kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia dalam kurun satu tahun terakhir, sejak November 2018-2019. Dari 31 kasus itu, 12 kasusnya atau yang paling banyak terjadi adalah pelarangan atau pembubaran atas ritual, acara, ceramah dan sebagainya terhadap pelaksanaan agama.
Jumlah kasus itu disusul oleh 11 kasus atas pelarangan mendirikan tempat atau rumah ibadah, tiga kasus perusakan tempat ibadah, baik gedung maupun properti, dua kasus pelarangan terhadap perayaan budaya atau etnis tertentu (Tempo.co, 17/11/2019).
Aksi perusakan masjid adalah aksi vandalisme yang jelas-jelas merugikan umat Islam. Hukum harus ditegakkan dan kasus ini harus diusut tuntas. Kejadian ini menjadi bukti konkrit bagaimana negara gagal menegakkan prinsip toleransi, salah satu komponen mendasar dalam penegakan HAM yang menjadi pilar utama demokrasi. HAM hanya menjadi lip service yang dipropagandakan untuk melanggengkan demokrasi, padahal implementasinya nol. Pada kenyataannya, tidak ada HAM dalam konsep demokrasi yang diterapkan secara benar.
//Sistem Islam Kaffah Sangat Toleran//
Masih banyak yang menanyakan, bagaimana jika sistem Islam kaffah diterapkan oleh sebuah negara? Apakah kemudian akan intoleran terhadap warga negaranya yang nonmuslim? Apakah sistem Islam itu kejam dan radikal seperti yang diopinikan negatif? Apakah jika syariat Islam diterapkan akan berujung pada kerusuhan, perpecahan, hingga terjadi pertumpahan darah?
Kekhawatiran tersebut yang harus kita luruskan. Islam tidak semengerikan yang dituduhkan. Cahaya Islam yang mengayomi kehidupan manusia semua agama harus kita sampaikan ke seluruh penjuru dunia. Islam itu rahmat bagi seluruh umat manusia, tanpa membedakan SARA. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (TQS. al-Anbiya [21]: 107)
Dalam sistem perintahan Islam (Khilafah), warganegara Khilafah yang nonmuslim disebut sebagai dzimmi. Istilah dzimmi berasal dari kata dzimmah, yang berarti “kewajiban untuk memenuhi perjanjian”. Islam menganggap semua orang yang tinggal di Negara Khilafah sebagai warganegara dan mereka semua berhak memperoleh perlakuan yang sama. Muslim dan dzimmi tidak didiskriminasi. Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan, dan harta benda mereka.
Kedudukan ahlu dzimmah diterangkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya: “Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun”. (HR. Ahmad)
Imam Qarafi menyinggung masalah tanggung jawab negara terhadap ahlu dzimmah. Ia menyatakan, “Kaum Muslim memiliki tanggung jawab terhadap para ahlu dzimmah untuk menyantuni, memenuhi kebutuhan kaum miskin mereka, memberi makan mereka yang kelaparan, menyediakan pakaian, memperlakukan mereka dengan baik, bahkan memaafkan kesalahan mereka dalam kehidupan bertetangga, sekalipun kaum Muslim memang memiliki posisi yang lebih tinggi dari mereka. Umat Islam juga harus memberikan masukan-masukan pada mereka berkenaan dengan masalah yang mereka hadapi dan melindungi mereka dari siapa pun yang bermaksud menyakiti mereka, mencuri dari mereka, atau merampas hak-hak mereka.”
T.W. Arnold, dalam bukunya The Preaching of Islam, menuliskan bagaimana perlakuan yang diterima oleh non-Muslim yang hidup di bawah pemerintahan Daulah Utsmaniyah. Dia menyatakan, “Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan pada mereka, dan perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen”.
Arnold kemudian menjelaskan; “Perlakuan pada warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman -selama kurang lebih dua abad setelah penaklukkan Yunani- telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa. Kaum Kalvinis Hungaria dan Transilvania, serta negara Unitaris (kesatuan) yang kemudian menggantikan kedua negara tersebut juga lebih suka tunduk pada pemerintahan Turki daripada berada di bawah pemerintahan Hapsburg yang fanatik; kaum protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintah Turki, dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam… kaum Cossack yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.”
Arnold juga menyatakan: “Kala Konstantinopel kemudian dibuka oleh keadilan Islam pada 1453, Sultan Muhammad II menyatakan dirinya sebagai pelindung Gereja Yunani. Penindasan pada kaum Kristen dilarang keras, dan untuk itu dikeluarkan sebuah Dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada Uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan para penerusnya. Hal yang tak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya. Gennadios diberi staf keuskupan oleh Sultan sendiri. Sang Uskup juga berhak meminta perhatian pemerintah dan keputusan Sultan untuk menyikapi para gubernur yang tidak adil.” (tsaqofah.id, 20/08/2017).
Demikianlah gambaran umum bagaimana Islam sebenarnya memiliki konsep toleransi yang sangat dijunjung tinggi. Penerapannya betul-betul terjaga selama kurang lebih 13 abad dalam sistem Islam Kafah dalam bentuk Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam bish-shawwab.[]