Oleh: Sherly Agustina M.Ag
(Revowriter Cilegon)
#MuslimahTimes — Dilansir oleh Katadata.co.id, Bank Dunia merilis laporan bertajuk “Aspiring Indonesia, Expanding the Middle Class” (30/1). Dalam riset itu, 115 juta masyarakat Indonesia dinilai rentan miskin. (02/02/20).
Tingkat kemiskinan di Indonesia saat ini di bawah 10% dari total penduduk. Rerata pertumbuhan ekonomi pun diprediksi 5,6% per tahun selama 50 tahun ke depan. Produk Domestik Bruto (PDB) per kapitanya diperkirakan tumbuh enam kali lipat menjadi hampir US$ 4 ribu. Namun, 115 juta orang atau 45% penduduk Indonesia belum mencapai pendapatan yang aman.
Alhasil, mereka rentan kembali miskin. “Mereka belum mencapai keamanan ekonomi dan gaya hidup kelas menengah,” demikian dikutip dari laporan Bank Dunia (30/1). Di satu sisi, 52 juta masyarakat Indonesia tergolong kelas menengah. Mereka memiliki pendapatan Rp 1,2 juta dan Rp 6 juta per bulan. (Baca: Jumlah Penduduk Miskin RI Berkurang jadi 24,79 Juta per September 2019) Berdasarkan catatan Bank Dunia, pertumbuhan kelas menengah di Indonesia merupakan yang tercepat, yakni sekitar 10% per tahun. “Saat ini, mereka menyumbang hampir setengah dari konsumsi nasional.”
Untuk meningkatkan jumlah kelas menengah dan mengurangi penduduk rentan miskin, Bank Dunia merekomendasikan empat hal. Pertama,meningkatkan gaji dan tunjangan guru. Di satu sisi, sistem manajemen kinerja guru juga perlu diperbarui. Memulai sertifikasi ulang guru dan dilakukan secara berkala.
Kedua, meningkatkan anggaran kesehatan. Salah satu caranya dengan mengejar sumber pendapatan baru dari peningkatan pajak tembakau dan alkohol. (Baca: Pemerintah Targetkan Pertumbuhan Ekonomi 5,6-6% dalam RPJMN 2020-2024) Banyak fasilitas kesehatan setempat tidak memiliki peralatan yang cukup untuk memberikan perawatan dasar atau layanan utama, bahkan di perkotaan. Kurang dari sepertiga warga miskin, rentan dan menengah yang mengandalkan rumah sakit milik pemerintah.
Ketiga, memperluas basis pajak. Caranya, bisa dengan menurunkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), menaikkan tarif pajak tertentu seperti alkohol, tembakau dan kendaraan, dan lainnya. Terakhir, menyeimbangkan kembali (re-balancing) transfer fiskal seperti meningkatkan propori dana desa dan mengembangkan peraturan baru untuk mengoperasionalkan penyediaan layanan lintas daerah, termasuk mengatasi tantangan pembiayaan. Selain itu, perlu membangun kapasitas pemerintah provinsi.
Penyebab Mendasar Kemiskinan
Menurut versi Bank Dunia, kemiskinan adalah mereka yang hanya mampu mengeluarkan anggaran rumah tangga kurang dari 2,0 dolar AS per hari. Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat angka kemiskinan pada September 2019 mencapai 9,22 persen. Angka ini turun 0,19 persen poin terhadap Maret 2019 dan menurun 0,44 persen poin terhadap September 2019. Sementara jumlah penduduk miskin pada September 2019 tercatat 24,79 juta orang. (Tempo.co, 15 Jan 2020).
Menurut ekonomi kapitalisme problem yang paling mendasar yaitu terbatasnya sarana pemenuhan kebutuhan manusia yang disediakan oleh alam ini. Hal tersebut dikarenakan ilmuan ekonomi kapitalisme memiliki pandangan bahwa manusia dan masyarakat itu senantiasa memiliki kebutuhan, baik kebutuhan berupa barang (goods) maupun jasa (services). Walhasil problem utama dari sistem ekonomi kapitalisme ialah kelangkaan.
Untuk menjawab problem dasar tersebut, maka ekonomi kapitalisme akan menjawab dengan memaksimalkan peran produksi setiap barang dan jasa guna memenuhi semua kebutuhan yang ada. Karena bagi mereka, meningkatkan produksi merupakan asas persoalan ekonomi. Sedangkan pada distribusi, maka struktur harga atau mekanisme pasar bebaslah yang memiliki andil paling besar. Karena bagi mereka, dengan adanya permintaan dan penawaran pada barang dan jasa sekaligus strukur harga yang menyertainya, akan membuat distribusi barang dan jasa berjalan secara alami ke setiap individu masyarakat. Di sini peran negara amat sangat minim, karena negara dianggap hanya sebagai regulator bukan sebagai eksekutor.
Sebagai contoh: apabila masyarakat menghendaki barang (beras, misalnya) maka permintaan beras kan naik. Hal itu akan mengakibatkan harga beras akan naik, sehingga penjual beras akan memperoleh keuntungan lebih banyak. Naiknya keuntungan dari penjualan beras tersebut akan mendorong para petani untuk meningkatkan produksi berasnya dengan cara lebih banyak menanam padi. Bahkan, hal itu juga akan mendorong petani-petani lain untuk mengalihkan produksinya dengan menanam padi, sehingga akan muncul produsen beras baru. Fenomena ini akan membuat produksi total beras akan terus bertambah dengan sendirinya, tanpa harus ada campur tangan dari pemerintah. (Warta pilihan.com, 04/09/17).
Jadi penyebab mendasar kemiskinan adalah teori ekonomi kapitalisme yang selama ini keliru dan dipaksakan untuk diterapkan di semua negara yang ada di dunia. Karena masalah ekonomi bukanlah pada kelangkaan barang dan jasa yang ada di alam. Allah Swt sudah menciptakan alam dan isinya lengkap untuk digunakan oleh hambaNya.
Pandangan Ekonomi Islam
Dalam sistem ekonomi Islam, masalah ekonomi yang ada akan terus berkisar pada: kebutuhan-kebutuhan manusia, alat-alat pemuasnya, dan pemanfaatan alat-alat pemuas kebutuhan tersebut. Karena alat-alat pemuas kebutuhan tersebut telah ada di alam, maka upaya memproduksinya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia tidak akan sampai menimbulkan masalah yang mendasar. Bahkan upaya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut bisa mendorong manusia untuk menghasilkan alat-alat pemuas atau mengusahakannya.
Problem yang terjadi dalam interaksi antarmanusia, atau dalam masyarakat, sesungguhnya muncul dari ada-tidaknya peluang/kemungkinan bagi manusia memanfaatkan alat-alat pemuas tersebut. Artinya masalah sebenarnya muncul dari persoalan bagaimana manusia memperoleh alat-alat pemuas kebutuhannya. Karena itu, inilah akar masalah utama ekonomi, dan ini pula yang seharusnya dipecahkan (Sistem Ekonomi Islam).
Kemudian ada istilah faqir dan miskin, pengertian faqir dan miskin berbeda. Faqir adalah orang yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan primernya, adapun miskin adalah orang yang sama sekali tidak memiliki harta untuk memenuhi kebutuhan primernya.
Dalam Islam, kemiskinan tidak dinilai dari besar pengeluaran atau pendapatan, tetapi dari pemenuhan kebutuhan asasiyah (pokok) secara perorangan. Kebutuhan pokok itu mencakup sandang, pangan, perumahan, kesehatan dan pendidikan secara layak. Misalnya Q.S. ath-Thalaq: 6. Dan firman Allah Swt:“Kewajiban para ayah memberikan makanan dan pakaian kepada keluarga secara layak.” (TQS al-Baqarah [2]: 233).
Bahkan dalam Islam, orang baru dikatakan kaya atau sejahtera jika memiliki kelebihan harta di atas 50 dirham. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:“Tidaklah seseorang meminta-minta, sementara ia kaya, kecuali pada Hari Kiamat nanti ia akan memiliki cacat di wajahnya.” Ditanyakan kepada beliau, “Ya Rasulullah, apa yang menjadikan ia termasuk orang kaya?” Beliau menjawab, “Harta sebesar 50 dirham…” (HR an-Nasa’I dan Ahmad).
Mengomentari hadis di atas. Syaikh Abdul Qadim Zallum menyatakan, “Siapa saja yang memiliki harta sebesar 50 dirham—atau setara dengan 148,75 gram perak, atau senilai dengan emas seharga itu—yang merupakan kelebihan (sisa) dari pemenuhan kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal; juga pemenuhan nafkah istri dan anak-anaknya serta pembantunya—maka ia dipandang orang kaya. Ia tidak boleh menerima bagian dari zakat (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî ad-Dawalah al-Khilâfah, hlm. 173).
Jika satu dirham hari ini setara dengan Rp 50 ribu saja, maka 50 dirham sama dengan Rp 2,5 juta. Kelebihan harta di atas 2,5 juta itu tentu merupakan sisa dari pemenuhan kebutuhan pokoknya (makanan, pakaian, perumahan; juga nafkah untuk anak, istri dan gaji pembantunya).
Solusi Syariah Dalam Mengentaskan Kemiskinan
Pertama: Secara individual, Allah SWT memerintahkan setiap Muslim yang mampu untuk bekerja mencari nafkah untuk dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233). Rasulullah saw. juga bersabda: “Mencari rezeki yang halal adalah salah satu kewajiban di antara kewajiban yang lain.” (HR ath-Thabarani).
Jika seseorang miskin, ia diperintahkan untuk bersabar dan bertawakal seraya tetap berprasangka baik kepada Allah sebagai Zat Pemberi rezeki. Haram bagi dia berputus asa dari rezeki dan rahmat Allah SWT. Nabi saw. bersabda:“Janganlah kamu berdua berputus asa dari rezeki selama kepala kamu berdua masih bisa bergerak. Sungguh manusia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merah tanpa mempunyai baju, kemudian Allah ‘Azza wa Jalla memberi dia rezeki.” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).
Kedua: Secara jama’i (kolektif) Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk saling memperhatikan saudaranya yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan. Rasulullah saw. bersabda:“Tidaklah beriman kepadaku siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan, padahal ia tahu.” (HR ath-Thabrani dan al-Bazzar).
“Penduduk negeri mana saja yang di tengah-tengah mereka ada seseorang yang kelaparan (yang mereka biarkan) maka jaminan (perlindungan) Allah terlepas dari diri mereka”. ( HR. Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah).
Ketiga: Allah SWT memerintahkan penguasa untuk bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya, termasuk tentu menjamin kebutuhan pokok mereka. Rasulullah saw. bersabda:“Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Di Madinah, sebagai kepala negara, Rasulullah saw. menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya dan menjamin kehidupan mereka. Pada zaman beliau ada ahlus-shuffah. Mereka adalah para sahabat tergolong dhuafa. Mereka diizinkan tinggal di Masjid Nabawi dengan mendapatkan santunan dari kas negara. Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah dibangun rumah sakit-rumah sakit lengkap dan canggih pada masanya yang melayani rakyat dengan cuma-cuma. (Media Umat, 29/07/18).
Hal di atas hanyalah sekelumit peran penguasa sesuai dengan tuntunan syariah Islam untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Karena kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab negara. Saat ini kemiskinan yang menimpa umat lebih merupakan kemiskinan struktural/sistemik, yakni kemiskinan yang diciptakan oleh sistem yang diberlakukan oleh negara/penguasa. Itulah sistem kapitalisme-liberalisme-sekularisme.
Sistem inilah yang telah membuat kekayaan milik rakyat dikuasai dan dinikmati oleh segelintir orang. Di negeri ini telah lama terjadi privatisasi sektor publik seperti jalan tol, air, pertambangan gas, minyak bumi dan mineral. Akibatnya, jutaan rakyat terhalang untuk menikmati hak mereka atas sumber-sumber kekayaan tersebut yang sejatinya adalah milik mereka. Akibat lanjutannya, menurut laporan tahunan Global Wealth Report 2016, Indonesia menempati negara keempat dengan kesenjangan sosial tertinggi di dunia. Diperkirakan satu persen orang kaya di Tanah Air menguasai 49 persen total kekayaan nasional.
Di sisi lain rakyat seolah dibiarkan untuk hidup mandiri. Penguasa/negara lebih banyak berlepas tangan ketimbang menjamin kebutuhan hidup rakyatnya. Di bidang kesehatan, misalnya, rakyat diwajibkan membayar iuran BPJS setiap bulan. Artinya, warga sendiri yang menjamin biaya kesehatan mereka, bukan negara.
Dalam konteks global, di semua negara yang menganut kapitalisme-liberalisme-sekularisme telah tercipta kemiskinan dan kesenjangan sosial. Hari ini ada 61 orang terkaya telah menguasai 82 persen kekayaan dunia. Di sisi lain sebanyak 3.5 miliar orang miskin di dunia hanya memiliki aset kurang dari US$ 10 ribu. Karena itu mustahil kemiskinan bisa dientaskan bila dunia, termasuk negeri ini, masih menerapkan sistem yang rusak ini. Bahkan Oxfam International yang meriset data ini menyebut fenomena ini sebagai “gejala sistem ekonomi yang gagal!” (Tirto.id, 22/01/2018).
Solusi dari World Bank hanya menambah masalah karena sudah diketahui umum siapa yang berada di balik World Bank. Bisa jadi jebakan-jebakan untuk menjerat kaum Muslim agar bisa dikuasai. Karena itu saatnya kita mencampakkan sistem selain Islam yang telah terbukti mendatangkan musibah demi musibah kepada kita. Sudah saatnya kita kembali pada syariah Islam yang berasal dari Allah SWT. Hanya syariah-Nya yang bisa menjamin keberkahan hidup manusia. Syariah akan menjadi rahmat bagi mereka (Lihat: QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Allahu A’lam bi Ash Shawab
Sumber Foto : Liputan6.com