Pelayanan Kesehatan Mahal, Dukun Bertindak
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Muslimahtimes – Kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Sebab jika jiwa dan raga sehat maka segala kebutuhan manusia itu sendiri akan terpenuhi. Roda kehidupan berputar, segala tujuan dan cita-cita tercapai.
Namun, apa jadinya jika kata sehat kemudian identik dengan mahal, ribet dan tak semua orang bisa mengakses? Inilah yang terjadi hari ini. Dilansir dari Kompas.com, 1 Januari 2020, bahwa per tanggal 1 Januari 2020, iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan resmi naik sebesar 100 persen. Kenaikan iuran tersebut berlaku bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja.
Diperburuk dengan kenaikan harga BBM (Pertalite, Pertamax, Premium, Solar) per 3 Februari 2020. Untuk di Indonesia sendiri, kenaikan BBM telah terjadi beberapa kali pada tahun 2018. Besaran kenaikan harganya diperkirakan antara 10% sampai 30%. Seperti contohnya Pertamax, harga di awal tahun 2018 adalah Rp 8.400 dan kini mencapai Rp 10.400 (naik 23%) ( aturduit. Com, 3/2/202/).
Mengapa kenaikan BBm berkaitan dengan buruknya pelayanan kesehatan? Jelas, sebab hari ini beban masyarakat tidak sekedar menafkahi anak istri dengan harta halal. Namun juga menjadikan beban kepala keluarga semakin berat dengan mengharuskan mereka menjamin kesehatan, pendidikan dan keamanan keluarganya terlaksana. Dan biasanya, kenaikan BBM memicu kenaikan harga di sektor lainnya. Hingga berimbas pada hilangnya kemampuan masyarakat mengakses pelayanan publik termasuk kesehatan. Sebab penghasilan tak cukup untuk membayar semua kebutuhan.
Sakit memang tak diundang. Namun jika sudah terlanjur sakit, pasti membutuhkan pertolongan guna mendapatkan kesehatan. Dengan beban yang sedemikian berat, dikarenakan setiap keluarga tak memiliki kemampuan yang sama, jadilah dukun sebagai alternatif. Ironi!
Indonesia negara yang kaya, berbagai bahan obat-obatan tradisional melimpah. Namun ia hanya menjadi konsumsi rakyat secara mandiri. Memang sudah ada yang diproduksi secara pabrikan, namun belum setenar Tibbun Nabawi atau Shinshe, pengobatan dari China. Lebih dari itu, jenis penyakit yang menyerang manusia beberapa diantaranya butuh penelitian lebih lanjut karena belum ada obat atau penanganan lainnya.
Kemana harus mengadu? Jika sakit sudah sangat parah atau butuh metode penyembuhan yang cepat, referensi rakyat terkait pelayanan kesehatan sangat sedikit, haruskah ke Singapore, Malaysia atau Eropa sebagaimana yang dilakukan selebriti Indonesia? Rakyat banyak yang paling berhak menerima pelayanan terbaik sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UUD 1954 justru harus gigit jari sebab kocek mereka tak cukup meski sudah merogoh sedalam-dalamnya.
Alhasil, jika tak mampu ke luar negeri jadilah rakyat berbondong-bondong berobat ke dukun, lebih jauh dari sekedar luar negeri, ini di luar dimensi manusia. Salah satunya yang sangat viral adalah penyembuhan cara Ningsih Tinampi, Pasuruan, Jawa timur. Canggih? Ironi, inilah kemunduran yang sesungguhnya. Dan Allah telah menjelaskan dalam Al-Quran surat An-Naml 27: 65 yang artinya, “Katakanlah, ‘Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah..” .
Rasulullah SAW juga melarang mendatangi dukun. Beliau bersabda,”Barangsiapa mendatangi ‘arrâf lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, tidak akan diterima darinya shalat 40 hari”. [HR. Muslim, no: 2230].
Seorang Ningsih Tinampi bisa jadi angin segar bagi masyarakat, sebab pengobatannya mudah, murah dan cenderung tidak pilih-pilih pasien. Semua dilayani dengan tangan terbuka, antrean mengular, tak soal menginap di teras rumah asalkan bisa mendapat pelayanan. Semestinya negara merasa tersindir dengan fenomena ini. Padahal negara lebih memiliki kekuatan, sarana dan prasarana jika orientasinya adalah demi rakyat.
Tidak ada data yang jelas yang menunjukkan jumlah pasien yang berhasil sembuh. Namun pengobatannya dari hari ke bulan dan tahun menjadi kian viral. Dan beberapa hari terakhir, tempat pengobatan Ningsih Tinampi didatangi tim lintas instansi dari Pemprov Jatim dan Pemkab Pasuruan. Tim melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap praktik pengobatan Ningsih, di Desa Karangjati, Kecamatan Pandaan, Kabupaten Pasuruan (Tribunnews.com, 6)2/2020)
Inilah potret masyarakat yang tak hanya sakit badan, namun juga bermasalah jiwanya. Jelas-jelas yang dilakukan Ningsih adalah praktik klenik , mengedepankan tahayul dan menciderai akidah umat Islam. Namun, semua itu malah dimaklumi, dianggap sebagai praktik nonmedis biasa. Hal itu jelas menunjukkan kemana haluan penguasa.
Ya, berlepas tangan. Tak ada sanksi ataupun pembinaan dalam artian yang tegas. Membedakan antara pengobatan tabib atau paranormal. Sungguh, sesuatu yang melanggar hukum syara akan membawa kepada kesengsaraan. Makin banyak umat yang percaya pengobatan Ningsih Tinampi, maka maka akan makin sulit rakyat diminta untuk bersikap logis.
Bahwa kesehatan bukan semata berbicara badan sehat, tapi juga lingkungan dan mental yang sehat. Kelak kebodohan akan merajalela dan azab Allah sudah pasti akan menghampiri. Kapitalisme neoliberal benar-benar telah mengkooptasi pemikiran penguasa. Sehingga benar-benar melepaskan tanggungjawabnya sebagai pengurus umat, sebaliknya penguasa sekadar regulator kebijakan.
Jika tidak, mana mungkin negara kembali menaikkan iuran peserta BPJS dengan alasan defisit. Padahal BPJS adalah pihak ketiga, sama seperti Ningsih Tinampi. Tak punyakah negara dana yang cukup untuk membiayai sendiri pelayanan kesehatan rakyatnya?
Solusi hakiki kesulitan ini hanya ada pada Islam. Sebab, Islam tak sekedar agama yang mengajarkan akidah, namun Islam juga sebuah ideologi, sebab dari akidah itu terpancar peraturan yang menjadi solusi bagi seluruh persoalan manusia. Dalam Islam kedudukan pemimpin sangat utama, yaitu sebagai Ra’iin (pengurus) dan Junnah (tameng) bagi rakyatnya.
Maka, siroh perjalanan Nabi Saw dan para sahabat tak sekadar tentang jihad, menumpas kaum kafir dan membebaskan negeri-negeri dari penyembahan kepada berhala. Namun juga mengisahkan bagaimana pelayanan mereka kepada rakyat yang dipimpinnya.
Ruang pelayanan kesehatan benar-benar meraih puncak kemanusiaan. Salah satu buktinya dipaparkan sejarawan berkebangsaan Amerika, Will Durant, rumah sakit Al Manshuri (683 H/1284 M) Kairo, sebagai berikut, “…Pengobatan diberikan secara gratis bagi pria dan wanita, kaya dan miskin, budak dan merdeka; dan sejumlah uang diberikan pada tiap pasien yang sudah bisa pulang, agar tidak perlu segera bekerja…“. [W. Durant: The Age of Faith; op cit; pp 330-1].
Maka, mengapa masih mempertahankan sistem pelayanan kesehatan yang sama sekali tidak berpihak pada rakyat banyak ini? Jika ada pelayanan yang terbaik dan itu berasal dari Allah SWT tentu kita harus sami’na wa Ato’na. Wallahu a’lam bish-showab