Oleh : Wulandari Rahayu, S.Pd
(Penulis, Pemerhati Masalah Sosial)
Muslimahtimes– Saat ini pemerintah sedang gencar melakukan reformasi di berbagai bidang kebijakan. Salah satunya untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi Indonesia pemerintah melakukan omnibus law. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Ini berfungsi untuk menyederhanakan sekelumit aturan yang memperlambat proses ekonomi.
“Kita ini kan semuanya ingin mempercepat, semuanya ingin kebijakan bisa diputuskan secara cepat,” kata Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (nasional.okezone.com,5/2/2020).Â
Omnibus law sendiri menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil pernah melontarkan tentang konsep omnibus law. Konsep ini juga dikenal dengan omnibus bill yang sering digunakan di Negara yang menganut sistem common law seperti Amerika Serikat dalam membuat regulasi. Regulasi dalam konsep ini adalah membuat satu UU baru untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus. (www.hukumonline.com,02/2017).
Salah satu UU Jaminan produk halal di usulkan masuk dalam draf omnibus law cipta lapangan kerja yang di usulkan presiden ke DPR. Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki menyatakan Kementeriannya pun mengusulkan agar sertifikasi bukan lagi pada produk jadi, namun pada bahan bakunya. Dengan demikian, sertifikasi tidak dibebankan kepada pelaku UMKM, namun kepada produsen bahan baku. (nasional.kompas.com, 01/02/2020).
Begitupun pernyataan dari Ketua PBNU Robikin Emhas yang menjelaskan saat di Tanya apakah pihaknya setuju dengan kewajiban makanan bersertifikat halal dihapus di omnibus law? Bahwa JPH tetap perlu, dengan tetap berlandaskan pada asas hukum yang berlaku. Sehingga penilaian kehalalan suatu proses produksi dan hasil produksi (barang olahan) tetap mengindahkan asas hukum dan mempertimbangkan aspek sosiologis (lokal wisdom). Supaya tidak mematikan usaha kecil dan memperlemah daya saing Indonesia di mata dunia. Output JPH bukan lagi stempel ‘halal’, namun bisa berupa label ‘tidak direkomendasikan bagi muslim’ (untuk tidak mengatakan label ‘tidak halal’),” (news.detik.com, 21/01/2020).
RUU penghapusan jaminan produk halal ini tentu saja menjadi pro kontra di kalangan masyarakat. Selain pemahaman masyarakat yang meningkat akan produk-produk halal juga masyarakat menjadi was-was akan produk-produk dan makanan yang beredar. Karena jaminan produk halal akan di bebankan pada pelaku bahan baku saja bukan ke produksi, pengolahan dan distribusi.
Melihat dari berbelitnya aturan tentang Jaminan Produk Halal ini karena selama ini jaminan produk halal di bebankan ke MUI sebagai penjamin kehalalan sehingga biaya menjadi sangat mahal bukan di jamin oleh negara atau di tanggung oleh Negara.
Sebenarnya islam telah mengajarkan kepada kita tentang Jaminan produk Halal ini.
âDan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nyaâ. (Q.S Al-Maidah :88).
Di mana islam mewajibkan memilih makanan yang halal dan toyyib karena ini sebuah kewajiban maka negara wajib menjamin semua produk yang beredar adalah memenuhi ketentuan halal dan toyyib. Kewajiban jaminan produk halal ini bukan semata memenuhi target produksi dan menggenjot ekonomi namun bentuk ketundukan negara dan individu terhadap syariat Allah SWT.
Namun berbeda di negara sekuler yang Jaminan Produk Halal adalah regulasi yang hanya memenuhi desakan public semata, bukan kebutuhan negara. Sehingga di sini nantinya akan banyak manipulasi. Bahwa di dalam Islam Allah menyeru untuk memilih makanan yang halal dengan sangat jelas yaitu dalam Q.S Al-Maidah ;88 Allah menggunan kata âhalalâ bukan kata âdi Rekomendasikanâ. Dan kata di rekomendasikan akan sangat ambigu dalam syariat. Kata âdi rekomendasikanâ saat di pakai menjadi acuan seperti yang di usulkan ketua PBNU akan menabrak syariat halal dan toyyib yang mana nantinya akan muncul pernyataan-pernyataan toleransi terhadap produk yang syubhat (ragu-ragu) artinya produk yang di ragukan halal dan toyyib nya karena tidak jelas proses pengolahan, produksi dan distribusinya.
Bukan sesuatu yang sulit dalam penentuan Jaminan Produk Halal ini jika standarnya adalah ketentuan Allah bukan ketentuan pasar dan para investor yang hanya mempertimbangkan untung dan rugi. Karena dalam islam ketentuan untung-rugi di dasarkan pada halal dan haram.
Karena di dalam sistem islam yang halal dan haram sangat jelas. Maka untuk jaminan produk halal bukanlah sesuatu masalah besar. Negara hanya memperbolehkan masyarakat untuk menjual dan memproduksi bahan yang halal, dengan pengolahan yang halal tanpa bahan-bahan yang dapat merusak kesehatan dan pendistribusian yang halal pula. Dan negara akan menindak secara tegas masyarakat yang melanggar ketentuan ini.
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu âanhu, Rasulullah shallallahu âalaihi wa sallam berkhutbah ketika Fathu Mekah,
Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi, dan berhalaâ. Para sahabat bertanya, âYa Rasulullah, bagaimana dengan lemak bangkai yang bisa digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit hewan, dan digunakan untuk bahan bakar lampu?
Jawab Nabi shallallahu âalaihi wa sallam,
âTidak boleh, itu haram.â (HR. Muslim 1581, Ahmad 14472 dan yang lainnya).
Maka seharusnya beginilah pengaturan Jaminan Produk Halal bahwa menentukan standar kepada Allah saja bukan kepentingan para kapitalis.
Wallahuaâlam bishowab.