Oleh: Sri Wahyu Indawati, M.Pd
Muslimahtimes– Bullying. Tentu tidak asing di zaman ini. Nyiyiran hingga kekerasan fisik. Di dunia nyata sampai dunia maya. Korban maupun pelaku tak hanya anak muda, yang tua pun tak ketinggalan. Bagaimana ayah bunda? Resah? Iya, pun khawatir terhadap anak sendiri.
Ayah bunda, KPAI mencatat dalam kurun waktu 9 tahun dari 2011 sampai 2019, ada 37.381 pengaduan. Hmm, tentu bukan angka yang sedikit di negara yang mayoritas muslim.
Untuk Bullying, baik di pendidikan maupun sosial media mencapai 2.473 laporan. Ini yang dilaporkan, yang ‘tidak’ tentu banyak. Ibarat fenomena gunung es.
Bahkan Januari sampai Februari 2020, setiap hari publik kerap disuguhi berita fenomena kekerasan anak. Seperti siswa yang jarinya harus diamputasi, kemudian siswa yang ditemukan meninggal di gorong gorong sekolah, serta siswa yang ditendang lalu meninggal.
Nah, ayah bunda, tambah khawatir ya. Bukan maksud menakut-nakuti. Tetapi inilah fakta hari ini. Bullying tidak pernah berhenti. Selalu ada pelaku dan korban baru.
Pemicu bullying pun sangat banyak. Seperti tontonan kekerasan, dampak negatif gawai, penghakiman media sosial.
Teknologi semakin pesat. Liberalisme media kian kuat. Tapi tidak mungkin kita seperti memenjarakan anak anak. Tidak boleh bersosialisasi, gaptek, kudet, no TV, no smartphone. Ini eranya dimana teknologi sudah menghiasi setiap rumah.
Pribadi anak kian rusak. Sulit dikendalikan, anarkis, melawan orangtua, menyakiti orang lain. Jauh dari ajaran Islam yang mewajibkan berbuat baik pada orangtua dan sesama manusia.
Pada kenyataannya akidah sekulerisme-lah yang menjadi virus menular di sistem kapitalisme saat ini, yaitu memisahkan agama dari segala aktivitas kehidupan. Phobia dengan kajian-kajian dan sekolah-sekolah Islam. Mencurigainya sebagai cikal bakal radikalisme.
Prioritas pendidikan hanya cerdas akademik, tapi nol agama. Walaupun yang dielu-elukan dari dulu pendidikan karakter. Bagaimana mungkin karakter akan baik jika pendidikan berjalan dengan kurikulum berbasis sekularisme. Berlomba mengejar revolusi industri 4.0, tapi minim pembekalan keimanan agama.
Jadi, tidak dapat dipungkiri bahwa bullying sebagai problem massif bangsa ini. Ayah Bunda, seharusnya hal ini menyadarkan kita semua akan kegagalan pembangunan sumber daya manusia dengan landasan sekularisme.
Peningkatan prestasi akademik siswa di sekolah tidak menjadi jaminan kemampuan mereka mengatasi masalah pribadi dan interaksi dengan lingkungan. Moral generasi kian rapuh. Yang lemah akan ditindas yang kuat. Tiada beda kehidupan generasi saat ini seperti penghuni rimba.
Kerapuhan jiwa mengantarkan generasi pada penyaluran yang salah. Mencari ketenangan dan kebahagiaan dengan narkoba. Bahkan tak jarang menyudahi hidup dengan pilihan bunuh diri. Kebebasan bicara yang diagungkan dalam sistem demokrasi ini, menjadikan banyak orang ringan lidah untuk mengucapkan perkataan kasar yang memicu emosi. Juga kebebasan berperilaku, bebas berbuat sesuka hati, seolah tiada berharganya tubuh orang lain sehingga mudah untuk disakiti dan diciderai. Padahal semua perbuatan semacam itu diharamkan oleh Allah SWT.
Islam mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang mulia bertakwa. Dalam diri generasi Muslim seharusnya terpatri pola pikir Islam (aqliyah islamiyah) dan pola sikap Islam (nafsiyah islamiyah). Inilah yang disebut kepribadian Islam (syakhsiyah islamiyah). Untuk mewujudkannya ditempuh melalui sistem pendidikan Islam, penataan media dan pendidikan keluarga.
Kebahagian tertinggi seorang Muslim adalah ketika perbuatannya diridai Allah SWT. Maka dari itu, rida Allah dapat diperoleh jika sesuai dengan ihsanul ‘amal (perbuatan terbaik). Syaratnya hanya dua, yaitu niat ikhlas mengharap ridho Allah SWT dan caranya harus benar sesuai syari’at Islam atau yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Pendidikan Islam yang dicontohkan Rasulullah SAW dan terbukti mampu merubah para sahabat dari jahiliyah menjadi mulia dilakukan dengan dual hal. Pertama, menanamkan akidah Islam. Sehingga para sahabat mengimani Allah SWT tanpa keraguan, taat dengan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, sahabat diajarkan berbagai tsaqofah Islam (pengetahuan Islam). Terkait politik, sosial, budaya, ekonomi, hukum, pendidikan dan kesehatan yang diatur di dalam Islam begitu juga dengan sistem pemerintahannya, yaitu Khilafah.
Fungsi Khilafah adalah sebagai imarah (memakmurkan) dan ri’ayah (memelihara). Maka visi pendidikan di dalam negara Khilafah adalah untuk menjadikan manusia sebagai hamba Allah (Qs. Adz-Dzariat : 56) yang tugasnya adalah untuk beribadah kepada Allah SWT dan menjadi Khalifah di muka bumi. Sehingga rakyatnya makmur, buminya terpelihara. Semua itu karena penerapan syari’at Islam secara kaffah (total) pada diri individu, masyarakat dan institusi negara Khilafah. Allah ridho dan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Kemudian media. Ini merupakan sarana pendukung pendidikan Islam yang diterapkan oleh Khilafah. Penataan media berpedoman dengan halal dan haram yang sudah ditetapkan oleh Syara’. Sehingga tayangan yang mengandung kekerasan dan zalim atau mengandung pornografi dilarang untuk disiarkan. Media akan menjadi sarana dakwah dan memperkuat edukasi pembentukan kepribadian Islam generasi.
Pendidikan di dalam keluarga juga menerapkan pendidikan Islam yang dicontohkan Rasulullah SAW. Orangtua tidak disibukkan bekerja untuk mengejar materi seperti dalam sistem kapitalisme saat ini. Dalam Islam ibu akan berperan maksimal sebagai ummu wa robbatul bait (ibu sekaligus manajer rumah tangga). Orangtua (ayah bunda) paham bahwa mereka memiliki kewajiban yang sama dalam mendidik anak. Ayah sebagai kepala sekolahnya dan bunda sebagai guru bagi anak.
Khilafah mewajibkan keluarga untuk menggapai tujuan pendidikan Islam melalui misi pendidikannya, yaitu:
“Robbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrota a’yun waj’alna lil muttaqiina imaama”
Maka misi pendidikan Islam, untuk menjadi muttaqin (orang-orang yang bertaqwa). Inilah misi tertinggi, menjadi sebaik-baiknya manusia. Yang diinginkan Allah bukan sekadar bertaqwa, tetapi juga menjadi pemimpin yang bertakwa bagi orang-orang yang bertakwa. Maka Islam bertujuan untuk memunculkan generasi pemimpin.
Karena itulah, sesungguhnya hakikat pendidikan Islam adalah menumbuhkan potensi fitrah manusia, memberdayakan akal fikiran, membentuk akhlak mulia, membina generasi pemimpin bertaqwa, serta menjadi khalifah yang memakmurkan dan memelihara bumi dalam Daulah Khilafah.
MasyaAllah ya ayah bunda, tak ada satu hal pun di dunia ini yang tidak ada aturannya di dalam Islam. Bahkan dengan Islam tidak akan ada lagi bullying. Oleh sebab itu, sungguh Islam layak disebut sebagai ideologi dan haruslah ada negara yang mengemban ideologi Islam ini agar memiliki kedaulatan dan generasi khairu ummah (umat terbaik). Negara yang berideologikan Islam tersebut adalah Khilafah.
Tulisan ini hanya mewakili sebagian dari kesempurnaan pengaturan Islam. Untuk lebih memahami Islam secara kaffah (total), maka diperlukan kajian intensif. Wallahu’alam[]