Oleh Verawati
(Ibu Rumah Tangga dan Member Akademi Menulis Kreatif)
Muslimahtimes–Bagaikan ikan yang hidup di darat. Barangkali ungkapan tersebut sesuai untuk menggambarkan kondisi kaum muslim saat ini. Hidup dalam ketidaknyamanan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk tidak nyaman dalam melaksanakan hukum-hukum Islam. Baru-baru ini sebuah pernyataan yang melukai Islam dan kaum muslim kembali terjadi. Pernyataan kali ini datang dari Yudian Wahyudi kepala BPIP (badan penyuluhan ideologi pancasila) sekaligus rektor UIN Sunan Kali Jaga. Beliau menyatakan bahwa agama adalah musuh terbesar pancasila. Meski sudah melakukan penjelasan terhadap pernyataannya tersebut. Tetapi kontroversi pernyataan tersebut terus ramai diperbincangkan.
Salah satunya datang dari ketua FPI Munarman. Beliau menyatakan “BPIP ini segera harus dibubarkan. Karena ketuanya saja enggak ngerti sama sekali dengan Pancasila. Malah mejadikan Pancasila sebagai agama,” kata Munarman, Rabu (12/2/2020) malam. (wartaekonomi.co.id 13/02/2020).
“Pernyataan bahwa musuh terbesar Pancasila itu agama dan kemudian konstitusi itu di atas kitab suci, saya katakan ini ada dugaan kuat telah terjadi perbuatan yang memenuhi unsur-unsur Pasal 156 atau Pasal 156 a KUHP tentang penodaan atau penodaan agama,” kata Suteki dalam acara ILC tvOne, bertema Agama Musuh Besar Pancasila pada Selasa malam, 18 Februari 2020.
Meski yang dimaksud oleh ketua BPIP itu adalah kelompok tertentu yang mengatasnamakan agama untuk memusuhi negara. Tetap saja pernyataan itu sesuatu yang munkar dan bagi setiap muslim untuk menentangnya. Sebab, bagi seorang mukmin haruslah meletakan ketaan dan kepatuhannya kepada Allah dan syariah-Nya. Artinya Allah dan syariah-Nya harus diposisikan di atas hukum konstitusi atau negara.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Jatsiah ayat 18 “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”.
Berdasarkan ayat tersebut jelas bahwa Allah telah menetapkan Syariah-Nya untuk di taati di atas hukum-hukum yang lain. Bila melakukannya maka akan mendapatkan pahala yang besar. Sebaliknya bila melanggar akan mendapatkan siksa yang pedih. Inilah konsekuensi dari sebuah keimanan kepada Allah SWT.
Penerapan Islam dalam sebuah kekuasaan atau pemerintahan telah dicontoh kan oleh Rasulallah dan diikuti oleh para khalifah sesudahnya. Mereka para khalifah tatkala menetapkan sebuah hukum atau undang-undang merujuk kepada al-quran dan as-sunah. Artinya hukum yang dipakai saat itu adalah hukum ilahi atau undang-undang Allah.
Berbeda dengan sistem demokrasi yang lahir dari kapitalisme-sekuler. Kedaulatan tertinggi di tangan rakyat. Di tangan rakyat-melalui para wakilnya- hak membuat hukum. Tidak harus merujuk pada hukum ilahi atau al-quran dan as-sunah. Semua diputuskan berdasarkan suara mayoritas, sekalipun bertentangan dengan hukum Allah. Padahal dalam hal ini pun ( penetapan hukum) harus terwujud keimanan kepada keesaan Allah, sebagai zat yang wajib disembah dan ditaati dalam setiap waktu dan tempat. Allah lah yang berhak membuat hukum. Bukan manusia. Manusia memiliki kelemahan dan keterbatasan. Manusia hamba sedangkan Allah yang disembah.
Sebagaimana dalam surat Al-A’rof ayat 54 “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. Semoga kita semua merindukan diterapkannya sistem Ilahi dalam kehidupan ini sekaligus yang ikut memperjuangkannya. Aamiin
Wallahu A’lam Bishowwab