Oleh:Ayu Chandra KF
(Dosen PTS)
#MuslimahTimes — Setelah runtuhnya kekhilafahan Islam pada tahun 1924 M, zaman dikendalikan oleh sebuah peradaban baru yang lebih kelam. Pandangan akan peran seorang wanita mulai terkikis dan bergeser seiring dengan hilangnya Ideologi Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Lalu, ideologi dunia diambil alih oleh peradaban Barat yang notabenenya muncul sebagai pemenang pada masa perang tersebut. Tidak ketinggalan pula kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang serba cepat dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan yang baru (Barat) dalam masyarakat, seperti sekularisme, kapitalisme dan liberalisme juga berperan penting dalam mengikis dan menggeser kemulian Islam dalam meletakkan harkat dan martabat seorang wanita. Rasa bangga yang dahulunya tertanam dalam diri seorang muslimah dalam mengemban amanah sebagai seorang ibu, kini menjadi suatu tugas yang dianggap hina. Ideologi kapitalisme telah mendorong seorang wanita untuk berpandangan materialistis, sehingga mereka lebih gandrung untuk menjalani hidup sebagai wanita karir dan tenggelam dalam kenikmatan materi.
Dalam pergaulannya, liberalisme mendorong seorang wanita cenderung mengikuti lifestyle dan fashion Barat, yang melahirkan wanita-wanita yang tidak memiliki pendirian, wanita labil yang bergerak mengikuti hawa nafsunya. Sekularisme berpandangan bahwa aturan agama harus dipisahkan dari kehidupan, sebagai pemikiran mendasar dari kapitalisme. Sementara, liberalisme menjadi penguat dan penopang agar wanita semakin jauh dari risalah Islam.
Alhasil, ideologi baru tersebut (kapitalisme) laksana racun yang dibalut madu. Alih-alihmemberi harapan mampu menstabilkan kondisi kehidupan dengan membawa kemulian dan rasa kemanusian, justru mendorong wanita semakin masuk ke dalam jurang kehinaan.
Semua permufakatan internasional di atas tentang gender-baik CEDAW, BPfA, ICPD, MDGS,SDGs-sebagaimana UUinternasional yang digagas Barat adalahsumber malapetaka. “Kemajuan’ gender yang dipropagandakan hanyalah mantra sihir yang menyuburkan mimpi perempuan dan keluarganya untuk meraih kebahagiaan semu.Karenafaktanya, sampaidetikinisuara sumbang wanita Barat yang menuntut kesetaraan gender agar mereka bebas dari perbudakanmasihterdengar. Jika mereka merasa tentram dengan kondisi sosial yang mereka lewati, tentunya wanita-wanita Barat tidak akan menuntut pembebasan karena selalu merasa terdiksriminasi. Hingga pada tanggal 17 Desember 1999 PBB mengeluarkan keputusan bahwa tanggal 25 November merupakan hari anti kekerasan pada wanita.
Kapitalis yang serakah terus mengeksploitasi perempuan demi mewujudkan totalitas hegemoni atas dunia. Dunia yang disetir oligarki pengendali Multi National Corporation telah menguasai SDA vital dan bisnis global. Tentu mereka membutuhkan SDM untuk mengelola produksi barang dan jasa di korporasi miliknya. Tenaga kerja perempuan memiliki keunggulan komparatif. Karena itu ditebarkanlah propaganda demi memobilisasi keterlibatan mereka yang akan menjadi sumbangsih bagi kesejahteraan keluarga dan bangsanya.
Selain menggerakkan roda ekonomi, perempuan adalah pasar potensial produksi barang dan jasa. Karena itu perempuan yang mandiri secara finansial akan mengalirkan keuntungan bagi brankas bos-bos MNC. Karena itu pula Barat menciptakan ukuran untuk menilai keseriusan setiap negara menderaskan kesetaraan gender. UNDP (United Nations Development Programme) didapuk untuk mengawal capaian tersebut demi mengesankannya sebagai target pembangunan. Lalu dibuatlah Gender Inequality Index (GI) sejak 2010 untuk memperbaiki kekurangan indicator sebelumnya, Gender Development Index (GDI) dan Gender Empowerment Measure (GEM) yang diperkenalkan sejak 1995.
Dimensi yang digunakan untuk mengukur capaian target sungguh kapitalistik, yakni kesehatan reproduksi (kespro), pemberdayaan dan partisipasi pasar tenaga kerja. Laporan yang dirilis WEF, yakni Global Gender Gap Report, memberi tolok ukur pada 153 negara terhadap partisipasi ekonomi, capaian pendidikan, kesehatan dan kelangsungan hidup, pemberdayaan politik serta profesi masa depan.
Target kapitalistik itu tercermin pada ‘pengakuan’ WEF yang membutuhkan 257 tahun untuk menutup kesenjangan gender terkait capaian ekonomi. Karena itu faktor kespro, kesehatan dan kelangsungan hidup menjadi perhatian. Semua itu terkait dengan seberapa besar manfaat yang akan diberikan para pekerja perempuan dalam proses produksi. Bukan semata-mata keinginan untuk menyehatkan perempuan atau meminimalisir AKI (Angka Kematian Ibu, akibat proses kelahiran) sebagai bentuk tanggung jawab sebuah negara.
Watak liberal yang disandang Kapitalisme turut memberi andil terhadap penghancuran peran sentral setiap anggota keluarga. Persaingan ekonomi yang keras menekan perempuan untuk memasuki dunia kerja. Mereka dipaksa mengadopsi peran laki-laki sebagai pencari nafkah sekalipun jika mereka ingin tinggal di rumah dan merawat anak-anak. Peradaban kapitalis juga telah mereduksi nilai perempuan; hanya dianggap berharga bila mandiri secara finansial. Apalagi ketika perempuan memiliki penghasilan. Hal itu cukup menjadi pembuktian bahwa dia bisa hidup tanpa laki-laki. Belum lagi masalah terkait pengasuhan anak. Suka tak suka, perempuan pekerja memilih membayar orang lain untuk memelihara dan membesarkan anak-anak.
Perempuan dalam Naungan Khilafah Islam
Adalah Sistem Islam yang mampu memberikan jaminan kepada seluruh rakyat tanpa membedakan, apakah mereka laki-laki atau perempuan, anak kecil atau orang dewasa, beragama Islam atau bukan, kaya atau miskin, berpendidikan tinggi atau rendah. Semuanya mendapatkan jaminan kesehatan, pendidikan, dan keamanan secara adil serta diakui sebagai warga negara.
Perempuan dalam naungan Khilafah mendapat support dari supra sistem untuk melangsungkan berbagai fungsinya. Semua dapat berjalan ideal dengan adanya peran negara secara benar dan bertanggung jawab penuh. Melalui penerapan sistem ekonomi, pendidikan, aturan sosial, media, dan yang lainnya, mampu memberikan jaminan perlindungan bagi perempuan dan anak. Perempuan dalam Islam dapat menjalankan perbuatan-perbuatan yang mubah, contohnya: dia dapat mewakili dirinya dan mewakilkan kepada orang lain dalam masalah wakalah, dia boleh mengembangkan hartanya dalam perdagangan, industri dan pertanian. Dia boleh menjalankan profesionalisme, dia boleh mengeluarkan fatwa, menyelesaikan konflik di tengah masyarakat..
Sebagai contoh, Umar bin Khaththab sebagai Khalifah yang bijak telah mengangkat Syifa binti Sulaiman sebagai qadhi hisbah (salah satu jenis hakim dalam Islam). Ini membuktikan kalau perempuan boleh terlibat dalam aktivitas politik. Kesaksian perempuan dapat diterima dalam berbagai masalah. Kesaksian perempuan secara individu dapat diterima untuk perkara yang berkaitan dengan perempuan, seperti balighnya perempuan, haidnya perempuan, penyusuan, kehamilan dan lain-lain. Kesimpulannya, perempuan menikmati dan mendapatkan seluruh hak-haknya sebagaimana laki-laki.Selain itu ada pula hak-hak yang dikhususkan bagi perempuan tapi tidak untuk laki-laki, semisal hadhonah (pengasuhan anak.) Ada juga hak-hak khusus untuk laki-laki yang tidak untuk perempuan, seperti kewajiban jihad. Perempuan diperbolehkan duduk di majelis ummah, juga boleh menjadi qadhi hisbah dan qadhi khusumat sebagaimana kalangan laki-laki.
Dalam sejarah peradaban Islam, banyak rumah sakit yang didirikan oleh kaum perempuan. Para perempuan pendiri rumah sakit di era kekhalifahan itu, biasanya adalah istri, anak perempuan, atau ibu dari para sultan. Meski demikian, biasanya seluruh tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit adalah laki-laki.Namun, pada masa Kesultanan Turki Utsmani, banyak wanita yang mendalami ilmu kedokteran dan terjun langsung menangani pasien. Kemudian, bermunculanlah dokter-dokter wanita di Turki.
Para dokter perempuan Muslim di era keemasan Turki Utsmani mempelajari ilmu kedokteran dari ibu mereka, yang juga dokter. Para perempuan pada era itu juga sudah banyak yang bisa meracik obat-obatan. Keberadaan dokter wanita di Turki terekam dalam manuskrip abad ke-15 tentang pembedahan. Dalam naskah tersebut dijelaskan, tabib sudah mampu melakukan operasi ginekologi seperti kelainan alat reproduksi wanita, hermaprodit, wasir, penyakit papilloma, dan penyakit kelamin lainnya. Manuskrip itu juga menyebut-nyebut profesi bidan. Pada masa itu, bidan disebut kabile. Ia bertugas menolong wanita melahirkan, membantu mengeluarkan janin ketika si ibu tidak melahirkan secara normal, menangani kelainan pada anus, dan menolong wanita yang mengalami keguguran.
Perempuan jugaberhak memilih penguasa dan mengoreksinya. Namun, dia tidak dibenarkan melakukan pekerjaan yang mengeksploitasi keperempuanannya, seperti menjadi Sales Promotion Girl, model iklan, atau peragawati. Semua itu demi menjaga kehormatan dan mengangkat martabatnya.
Islam memuliakan perempuan dan menjaganya dari segala sesuatu yang buruk dengan menetapkan kehidupan khusus (hidup bersama mahram dan perempuan) seperti dalam surat An-Nur: 31. Begitu juga, Islam menjadikan kehidupan umum bagi perempuan disertai dengan perlindungan dari syara’ sebagai rambu-rambu yang menjaganya. Yaitu, boleh keluar rumah asalkan dengan menggunakan khimar dan jilbab (an-Nur: 31; al-Ahzab: 59). Islam mengharamkan bagi mereka bertabarruj (al:ahzab 33); Islam melarang perempuan berkhalwat tanpa mahram dan tidak boleh campur-baur dengan laki-laki tanpa mahram kecuali ada kebutuhan yang telah ditetapkan oleh syara’.
Inilah model cemerlang kehidupan kaum muslimin bagi penjagaan mereka terhadap perempuan dengan memposisikan mereka sebagai kehormatan yang wajib dijaga. Maka, tidak mungkin bagi perempuan bisa menikmati kebahagiaan, ketenangan dan memperoleh hak-haknya secara menyeluruh kecuali dengan penerapan syariah Islam secara kafaah. Syari’ah kaffah tidak akan tegak kecuali dengan negara Khilafah Islam. Negara yang memiliki wibawa untuk menolak ketundukan pada undang-undang kufur internasional dan memiliki kemandirian untuk melaksanakan hukum Islam kaffah. Hanya Khilafah yang mampu melaksanakan semua ketentuan Allah sekaligus menjamin keberkahan kehidupan.
Wallahu ‘alambish-showab.[]