Pipit Agustin
(AMK Indonesia)
#MuslimahTimes — New Delhi bersimbah darah sejak kerusuhan meletus tanggal 23 Februari 2020 lalu. Hingga tulisan ini dibuat, terdapat sekitar 32 orang telah meninggal dunia dan ratusan lainnya terluka. Mayoritas korbannya adalah muslim India.
Selain korban jiwa, massa juga menghanguskan masjid. Alquran di dalam masjid ikut dibakar. Belum lagi fasilitas umum yang menyisakan puing-puingnya saja berserakan merata sepanjang jalan. New Delhi porak-poranda.
Kerusuhan dipicu atas pemberlakuan Undang-undang Kewarganegaraan India yang dinilai diskriminatif terhadap muslim India. Perdana Menteri Narendra Modi dari BJP, Partai Barathiya Janata, berafiliasi dengan kelompok Hindutva hendak mewujudkan mimpi mereka yaitu menjadikan India sebagai “Negara Hindu”. Dari sini dapat dimengerti bahwa diskriminasi atas Muslim India dilegalkan oleh negara.
UU Kewarganegaraan India yang disahkan pada Desember 2019 adalah estafet dari kebijakan Britania Raya semasa menduduki daratan Hindustan sejak abad ke-19 lalu. Melihat isinya, UU kewarganegaraan India tersebut bertentangan dengan Konstitusi India yang menegaskan India itu negara sekuler. Disebutkan bahwa para emigran dari Pakistan dan Bangladesh yang non-Muslim akan diakui kewarganegaraannya. Sedangkan Muslim India sendiri harus membuktikan kewarganegaraannya di India.
Betapa jelas tersirat rasa kebencian terhadap Muslim. Muslim India melawan apa yang mereka anggap sebagai invasi inkonstitusional terhadap kebebasan beragama mereka. Sebab India merupakan negara penganut Demokrasi sekuler. Jadi, menurut paham ini, seharusnya agama apapun berhak hidup di India, termasuk Islam.
Akan tetapi bisa dipahami dari sini bahwa sekulerisme itu menjadi alat politik untuk memukul Islam dalam mengatur negara. Jika konsisten, seharusnya dunia termasuk PBB bereaksi ketika kelompok Hindutva sudah menerobos asas-asas sebuah negara sekuler. Jangankan berkomitmen mempertahankan sekularisme, gerakan Hindutva justru mendiskriminasi Muslim India. Â
Presiden AS Trump memberikan dukungan terhadap Negara Hindu dalam perang terhadap kaum Muslim, serta mengumumkan dukungan penuh untuk permusuhan terhadap Islam. Hal ini ia nyatakan dalam kunjungan pertamanya ke India yang dimulai pada 24 Februari 2020. Secara lugas hal ini mengonfirmasi kejahatan yang dibawa oleh Aliansi dengan Barat di India. Tentu tidak mengherankan sebab Trump sendiri dalam kebijakannya di awal pemerintahan, melarang adanya migrasi muslim ke Amerika. Alasannya demi stabilitas keamanan. Dari sini dapat diprediksi potensi konflik akan terus bermunculan di dalam sebuah pemerintahan sekuler.
Sikap psikopat Modi dan kelompok Hindutva terhadap Muslim dilandasi oleh pengalaman sejarah masa silam. Pada abad ke-7 M kekuatan akidah Islam telah menggeser pengaruh dan hegemoni sistem kasta baik Budha maupun Hindu di India. Di bawah komando Panglima belia Muhammad bin Qosim (17 tahun) dari Kekhilafahan Bani Umayyah, Islam menyebar dengan cepat mempengaruhi masyarakat Sindh sehingga mereka berbondong-bondong masuk Islam secara sukarela. Tidak ada bukti yang menyebut bahwa penduduk masuk Islam dengan cara paksa dan kekerasan. Justru mereka menemukan Islam sebagai agama yang “menarik” dalam hal aturan sosial masyarakat.
Toleransi dan jaminan keamanan yang tinggi diberikan bagi pemeluk agama lama beserta ritual peribadatannya. Shah Jahan menjadi figur teladan dan popular dalam hal ini. Maka tak heran, India mengalami masa kegemilangan dan kejayaan bahkan menjadi adikuasa pada masa kepemimpinan Islam, yaitu Kesultanan Mughal. Hampir dua abad lamanya kejayaan itu berlangsung, sebelum akhirnya kolonialisme Inggris melenyapkan institusi politik Islam di India pada abad ke-19 M. Hingga hari ini, belum genap satu abad, India dirundung konflik yang tak berkesudahan di bawah kultur demokrasi sekuler yang diwariskan Inggris.
Sejarah itu pun akan kembali berulang. Rezim predator India akan berhadapan dengan pasukan Muhammad bin Qosim kedua di bawah komando jihad Khilafah Islam yang kedua. Panglima yang akan mengembalikan domain politik Islam di Asia Selatan di mana darah, harta dan kehormatan setiap jiwa kaum Muslim akan dijaga dan dilindungi. Khilafahlah satu-satunya negara yang menempatkan nyawa seorang Muslim lebih berharga dari pada seisi dunia. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:“Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang Muslim.” (HR. Nasa’i dan Tirmidzi).