Oleh: Yulweri Vovi Safitria
Ketegasanmu umpama benteng negara dan agama
Dari dirobohkan dan jua dari dibinasakannya
Wahai putriku sayang kau bunga terpelihara
Mahligai surga itulah tempatnya…
(Hijazz: Putriku Sayang)
Sepenggal syair diatas mungkin tidak asing bagi kita, sederhana namun terkandung makna yang luar biasa. Dalam syair tersebut menasihati sekaligus mengingatkan kita baik laki-laki ataupun perempuan, bahwa pentingnya peran perempuan dalam membentengi karakter bangsa. Karakter yang kokoh dan kuat. Jauh dari kebodohan dan keterbelakangan serta jauh dari kebobrokan moral dan akhlak.
Dari rahimnya lahir generasi-generasi emas penerus bangsa. Lewat didikan dan pengasuhannya anak-anak menjadi beradab dan berakhlak mulia.
Perempuan menjadi tolak ukur kemajuan sebuah bangsa, apabila perempuannya baik maka baik juga sebuah bangsa namun jika perempuan rusak maka rusaklah bangsa. Sebab perempuan merupakan sekolah pertama bagi putra-putri mereka. Apalagi bila perempuan menyandang status seorang muslimah. Maka peran dasarnya adalah sebagai fondasi umat, madrasatul ula.
Peran Perempuan Di Era Milenial
Hari ini peran ibu yang mempersiapkan generasi hebat mulai langka. Tanpa sadar mereka dijauhkan dari peran sesungguhnya. Mereka lebih senang berada di luar rumah, sibuk dengan urusan dunia. Merasa bangga menjadi wanita karir yang sukses. Ditambah lagi dengan dalih emansipasi wanita, menganggap laki-laki dan perempuan sama, tanpa rasa malu mereka bersaing dengan laki-laki. Dan tak jarang ditemui seorang wanita menjadi pemimpin bagi laki-laki.
Bahkan beberapa perempuan yang sudah berperan sebagai seorang ibu, ikut bekerja demi karir atau hanya sekedar membantu keuangan keluarga. Bercampur-baur antara laki-laki dan perempuan menjadi hal yang biasa. Akhirnya pengasuhan anak-anak diberikan kepada orang lain, nenek atau baby sitter. Tak ada lagi peran Ibu sebagai sekolah pertama bagi anak. Sehingga anak pun jauh dari belaian dan kasih sayang orang tua terutama ibu.Tak heran jika kemudian hari mereka minim akhlak dan tumbuh menjadi anak yang susah diatur.
Tak hanya itu, dengan menjamurnya telepon pintar seseorang dengan mudah mengakses informasi dari media sosial. Misalnya dengan satu aplikasi, seseorang bisa terhubung dengan siapapun. Hal ini memudahkan hubungan jarak jauh, jika tidak berhati-hati akan memberi dampak negatif. Tak sedikit perceraian terjadi akibat salah dalam menggunakan media sosial. Dan beberapa kasus kriminal terhadap perempuan juga dimulai dari media sosial.
Di satu sisi, media sosial bisa memberikan pengaruh positif jika bijak dalam menggunakannya. Dalam hal ini sebagai perempuan yang bergelar muslimah hendaklah memperhatikan adab-adab. Sebab adab di dunia maya tak jauh berbeda dari dunia nyata. Untuk itu sangat penting menjaga izzah sebagai perempuan walaupun di dunia maya.
Peran Perempuan Dalam Islam
Islam memandang bahwa keberhasilan perempuan bukan karena ia mampu bersaing dengan laki-laki atau berkarir di luar rumah. Melainkan berhasil membersamai suami dan anak-anaknya.
Perempuan diciptakan oleh Allah dengan kemampuan reproduksi yang tidak bisa digantikan oleh laki-laki. Perempuan juga diberi kemampuan untuk mengerjakan tugas rumah tangga (multi tasking ), dimana seorang laki-laki tak kan mampu mengerjakannya. Perempuan mencetak generasi emas, penerus agama dan bangsa, generasi yang akan menjadi pemimpin di masa depan. Karena itulah Islam menetapkan perempuan sebagai ibu pengatur rumah tangga. Sebagai Madrasahtul Ula bagi anak-anaknya. Amanah yang paling mulia, sebab kemajuan suatu bangsa karena berhasilnya organisasi kecil yaitu keluarga.
Seorang perempuan ibarat fondasi dalam sebuah keluarga. Kasih sayang dan perhatiannya adalah nutrisi bagi anak-anak. Mempersiapkannya berarti mempersiapkan bangsa yang mulia. Tidak bisa dimungkiri, ketika ibunya rusak maka rusak juga anak-anaknya. Perempuan juga ibarat tiang rumah yang kokoh. Sebagai pendamping suami sekaligus sebagai mitra, menenangkan saat suami sedang gundah, menyemangati saat terpuruk dan menghibur saat sedih.
Berkaca dari awal Islam datang, Khadijah RA Binti Khuwailid adalah perempuan pertama yang menerima dakwah Rasulullah SAW. Perempuan cantik yang kaya raya ini banyak dilirik oleh para pemuka Quraisy. Namun Beliau menjatuhkan pilihannya kepada pemuda biasa tetapi berakhalak mulia yaitu Muhammad Bin Abdullah Bin Abdul Muthalib. Yang kemudian membersamai Rasulullah SAW dalam mendakwahkan Islam. Menjadi ibu bagi anak-anak, menjadi sahabat sekaligus mitra bagi Rasulullah SAW. Dengan pengorbanannya yang sangat luar biasa menjadi sumber kekuatan bagi Rasulullah SAW dalam suka maupun duka.
Keberhasilan Al Khansa’ adalah contoh ibu sebagai Madrasah bagi anak-anaknya. Setelah mengenal Islam, dengan kepiawaiannya menulis syair, ia mengobarkan semangat anak-anaknya untuk membela agama Allah.
“Wahai anak-anakku, sesungguhnya kalian telah masuk Islam dengan ketaatan. Kalian telah berhijrah dengan sukarela. Demi Allah yang tiada ilah kecuali Dia, sesungguhnya kalian adalah putra-putra dari seorang wanita yang tidak pernah berkhianat kepada ayah kalian. Kalian juga tidak pernah memerlukan paman kalian, tidak pernah merusak kehormatan kalian dan tidak pula berubah nasab kalian. Kalian mengetahui apa yang telah Allah janjikan bagi kaum muslimin berupa pahala yang agung bagi yang memerangi orang-orang kafir. Dan ketahuilah, negeri yang kekal lebih baik dari negeri yang fana’.
Ketika datang waktu esok, dan Allah menghendaki kalian masih selamat, persiapkanlah diri kalian untuk memerangi musuh dengan penuh semangat. Memohonlah kepada Allah untuk kemenangan kaum muslimin. Jika kalian melihat perang berkecamuk, api telah berkobar, maka terjunkanlah kalian di medan laga. Bersabarlah kalian menghadapi panasnya perjuangan, niscaya kalian akan berjaya dengan ghanimah dan kemuliaan atau syahid di negeri yang kekal.”
Semangat yang diberikannya menghujam dalam dada ke empat putranya. Semangat yang tidak bisa ditawar oleh siapapun. Semangat untuk membela agama Allah SWT sampai akhirnya mereka terbunuh di medan perang. Saat mendapatkan kabar kematian anak-anaknya, Khansa’ berucap, “Segala puji bagi Allah yang memuliakan diriku dengan syahidnya mereka, dan aku berharap kepada Rabb-ku agar Dia mengumpulkan diriku dengan mereka dalam rahmat-Nya.”Ucapan tersebut masyhur dan tercatat dalam tinta sejarah umat Islam.
Semua itu terjadi saat Islam diterapkan secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Saat Islam datang, perempuan diposisikan sesuai fitrahnya. Diperlakukan secara mulia dan terhormat. Sayangnya ketika hukum Islam dicampakkan dan hukum sekuler diadopsi, kaum perempuan tak hentinya mengalami kekerasan dan pelecehan. Terjajajah dan jadi budak kapitalis. Perempuan tak lagi mulia dan terhormat. Aurat diumbar atas nama kebebasan dan hak asasi. Penyiksaan, penganiayaan yang berujung kematian menjadi tontonan sehari-hari.Perempuan tak lagi menjadi pilar peradaban tetapi menjadi budak peradaban.
Hal tersebut menjadi alasan bagi kaum feminisme untuk mengajak perempuan bangkit dari keterpurukan. Namun sayang tidak sesuai dengan tuntutan Islam. Islam begitu mulia, mengatur tata cara berpakaian dan pergaulan. Mereka kaum feminisme menganggap hal tersebut mengukung kebebasan dan tak sesuai perkembangan zaman. Semua hukum yang diambil dari Islam dicampakkan dan mereka gugat.
Padahal ketertindasan terhadap perempuan yang berkepanjangan bermula dari diterapkannya hukum kapitalis-sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Urusan agama menjadi urusan perorangan dan tak ada hubungannya dengan hukum ataupun pemerintah.
Maka, tidak sepatutnya ide feminisme menjadi jalan kebangkitan umat. Karena fakta historis, Islamlah yang terbukti memuliakan perempuan. Menggangap laki-laki dan perempuan setara sesuai kodratnya masing-masing. Hanya keimanan dan ketakwaan yang membedakan antara manusia yang satu dengan yang lainnya.“Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita, sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.” (QS. An-Nisa [4]: 124
Sejatinya laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling melengkapi bukan saling menyaingi. Saling beriringan bukan bertentangan. Hanya dengan aturan Islam, mereka terpelihara kodratnya sebagai perempuan dan hamba Allah Ta’ala
Wallahua’lam Bissawab