Oleh Ummu Syauqi
(Muslimah Peduli Generasi, Anggota Revowriter)
#MuslimahTimes — Kasus bullying(selanjutnya disebut perundungan) di sekolah dari dulu sudah ada, namun sekarang makin mengerikan. Mulai kasus kekerasan ringan sampai kasus penyiksaan, penganiayaan, bahkan pembunuhan.Seakan perundungan menjadi trendgenerasi muda labil akut, kehilangan pegangan, dan visi masa depan. Lebih memilih menyalurkan kelebihan energi melalui kekerasan. Ketimbang memperkuat pikiran, pengetahuan, keterampilan untuk kejayaan peradaban.
Perundungan dalam bahasa Inggris disebut bullying,disamakan dengan penindasan, perundungan, perisakan, atau pengintimidasian.Wikipedia mengartikan perundungan sebagai penggunaan kekerasan, ancaman atau paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain, melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan (Wikipedia.or).
Ahli Barat mendefnisikan perundungan sebagai tindakan intimidasi terhadap korban, secara berulang-ulang, atau terus-menerus melalui kontak fisik, kata-kata, atau cara lain, dimaksudkan untuk menimbulkan rasa takut, tertekan, atau membahayakan korban (Olweus, 1996; Flouri dan Buchanan, 2003).
Dua definisi ini menegaskan, bahwa perilaku kekerasan disebut perundungan jika ada pengulangan, atau kekerasan terus-menerus oleh pelaku terhadap korban. Disebabkan oleh ketidakseimbangan kekuasaan antara pelaku dan korban. Pelaku merasa lebih tinggi, lebih hebat, lebih kuat, punya banyak teman, sedangkan korban diposisikan pelaku lebih rendah, punya kelemahan, dan dikucilkan.
Pemicu perundungan biasanya ras, agama, gender, seksualitas dan kemampuan. Seperti pelaku merasa sukunya lebih mulia dari korban. Pelaku berpersepsi agamanya paling benar dari agama korban. Pelaku beranggapan bahwa laki-laki dimuliakan, dan perempuan bisa diapa-apakan. Bisa juga pelaku menganggap dirinya berkuasa dibandingkan korban. Perundungan dapat terjadi di mana saja, asalkan ada interaksi antara perilaku dan korban.
Ada lima jenis perundungan, yaitu perundungan fisik/badan, perundungan verbal/lisan, perundungan relasional/hubungan, perundungan sosial/pergaulan, dan perundungandunia maya/cyber.Dari lima jenis perundungan, menurut hasil penelitian Jordan (2012) yang paling banyak dan paling sering terjadi di kalangan pelajar adalah perundungan lisan.
Kasus perundungan berkesinambungan terjadi, selama bulan Februari 2020 ini. Diawali kasus seorang siswi CAkelas 8 SMP Muhammadiyah ButuhPurworejo dipukuli berkali-kali, oleh beberapa laki-laki, ternyata temanya sendiri. CA dimintai uang, diejek dan dicaci, digelari kurang normal, dibandingkan, dan berbagai tindakan tidak terpuji lainnya sering dia alami. Kasus ini sedang diselidiki polisi, dan menjadi bahan kajian pemerhati pendidikan di berbagai intansi(Liputan6.com/13/02/2020).
Belum selesai penanganan satu kasus CA, muncul kasus perundungan yang lebih mengerikan. Siswa berinisial MS berumur 13 tahun, kelas 7 SMP Negeri 16 Malang menjadi korban penganiayaan. Penuh luka memar di sekujur badan. Diduga 7 orang kakak tingkatnya yang melakukan. MS dan pihak keluarga harus menerima kenyataan. Diamputasi jari tengah tangan sebelah kanan. MS hanya bisa menangis danmenangisi kejadian. Sangat trauma, dan dia sulit melupakan kejadian (tirto.id).
Perundungan terus terjadi dan mencuat ke permukaan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan, selama 9 tahun, sejak tahun 2011 sampai 2019, tercatat 37.381 kasuspengaduan tentang anak, dan 2.473 laporan perundungan. Jumlah yang cukup signifikan untuk kasus perundungan. Seakan membuktikan bahwa mekanisme penyelesain perundungan di negara ini mengalami kegagalan. Jangankan untuk menghilangkan perundungan, meminimalisir jumlah kasus saja mengalami kebuntuan.
Mencuatnya berbagai kasus perundungan di kalangan pelajar. Menjelaskan ada sesuatu yang tidak wajar. Siswa yang diharapkan jadi pintar, punya daya nalar, suatu saat akan jadi profesional atau pakar, malah semakin kurang ajar, amat kasar, dan terkesan bar-bar.
Berbagai kasus perundungan membuat hati orang tua, pendidik, dan pemerhati remaja dan generasi kian gusar. Pelajar seolah tidak pernah dididik dan diajar. Jika dibiarkan, “generasi emas” ini dikawatirkan ambyar. Untuk itu, perlu dianalisis dan dikaji penyebabnya sampai ke aspek mendasar. Untuk menemukan solusi mengakar. Tidak cukup hanya tawaran solusi sebentar, sebatas kulit luar. Mengapa? Karena fenomena perundungan ibarat puncak gunung es yang mencakar. Terlihat kecil di luar, ternyata di dasar atau di palung laut amat besar.
Perundungan pelajar semakin memprihatinkan. Ketika aksi persekusidi kalangan pelajar divideokan. Diunggah jadi tontonan bahkan tuntunan. Pelajar lain yang bukan pelaku, tetapi menonton video penyiksaan. Berarti sedang belajar tentang perundungan. Hal ini berpotensi semakin merebaknya kasus perilaku perundungan. Demikian juga korban yang tidak bisamemaafkan, akan menyimpan sakit hati, dendam, dan permusuhan. Dikawatirkan suatu saat, jika ada kesempatanmelakukan perundungan balasan. Akhirnya terjadisiklus perundungan yang tidak berkesudahan.
Jika dikaji secara sistematik, penyebab perundungan sangat sistemik. Penangananyan juga harus sistemik. Banyak unsur yang terkait: ada pelaku, korban, siswa lain, sekolah, guru, orang tua, lingkungan, masyarakat, informasi, media, teknologi, peraturan, aturan, dan kebijakan politik. Secara makro, perundungan terkait dengan sistem sosial/pergaulan, sistem pendidikan, sistem ekonomi, sistem peradilan dan sanksi, serta sistem politik. Semua sistem terhubung secara integralistik.
Penyebab perundungan paling fundamental adalah liberalisme.Para pengusung liberalisme tidak pernah berhenti mempropagandakan kebebasan. Sasarannya adalah generasi muda. Mereka mengklaim bahwa liberaliseme sangat dibutuhkan generasi. Liberalisme mereka klaim menjanjikan kemakmuran, dan berkemajuan. Ironis sekali, kebebasan menawarkan kemakmuran. Padahal kebebasan yang mereka usung memiki cacat bawaan. Di mana agama dipisahkan dengan kehidupan. Agama juga dipisahkan dari sistem pemerintahan, sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial, dan sistem pendidikan.
Kasus perundungan berkaitan dengan pelaku, yang rapuh pemikiran, perasaan, dan kerpribadian. Korban perundungan juga rapuh, tidak mampu menolak, kaku, kurang asertif, dan tidak mampu melawan. Orang tua tidak maksimal dalam pengasuhan dan pendidikan. Guru-guru juga sibuk dengan beban tugas 24 jam pembelajaran. Ditambah dengan beban lain bersifat administratif tidak berkesudahan. Keberhasilan belajar hanya diukur dari deretan angka-angka, tanpa melihat keagungan kepribadian. Kadang mati-matian mempersiapkan ujian untuk tujuan keduniawian. Agar siswa bisa masuk sekolah pilihan, atau kuliah di perguruan tinggi unggulan. Cepat dapat pekerjaan. Kumpulkan kekayaan. Nikmati kesenangan.
Perundungan juga dipicu oleh perkembangan teknologi atau media informasi. Smartphone, gadget yang diakses remaja tanpa seleksi. Tontonan dan tuntunan kekerasan menjadi-jadi. Kondisi remaja yang kelebihan energi, menyalurkannya dalam bentuk persekusi dan agresi. Seolah tidak punya hati. Jika dinasehati marah-marah, menangis, lalu pergi. Video porno, porno grafi, porno aksi, iklan, dan propaganda liberalisasi terus terjadi hingga saat ini. Hingga umat diambang kehancuran generasi.
Terjadinya kasus perundungan juga karena masyarakat tidak melakukan kontrol atau pengawasan. Membiarkan remaja mengisap lem, nonton video porno, menyediakan play station, dan tawuran. Lingkungan tidak steril dari perilaku kekerasan dan pelecehan. Masyarakat mungkin berpikir pelaku dan korban kekerasan dengan dirinya tidak ada hubungan kekeluargaan. Ya sudah dibiarkan.
Belum lagi berbagai peraturan untuk mengantisipasi perundungan juga bercorak liberalisme. Berasal dari akal, logika terbatas, dan membuang aturan Ilahi. Banyak cacat dan kadang sulit dimengerti. Kadang kebijakan tentang perundungan bersifat tentatif dan terkesan basa-basi. Lebih aneh lagi mengkambinghitamkan sekolah, guru, dan orang tua sebagai sumber agresi dan persekusi. Padahal negara dan menyelenggaraan bercorak liberalisme sebagai lahan subur beseminya perundungan dan agresi.
Jadi, semua kasus perundungan dan kaitan antar unsur perundungan adalah bukti kongkrit liberalisme memiliki cacat bawaan. Remaja yang terjangkit virus liberalisme harus segera disembuhkan. Tidak satu pun sistem di dunia ini selain Islam yang mampu mengatasi perundungan. Islam adalah aturan yang sempurna dan paripurna untuk kehidupan. Jadikan Islam satu-satunya solusi perundungan.
Islam amat sangat memperhatikan generasi, sejak dini secara jeli dan teliti. Remaja adalah aset negeri. Remaja mesti dididik taat sejak dini oleh keluarga inti. Keluarga bagi Islam merupakan basis utama pembentukan generasi. Keluarga menjadi madrasah pertama dan utama bagi pembentukan pribadi. Pembentukkan habit Islami, membaca dan menghafalkan kitab suci, memperdengarkan bacaan al-Qur’an setiap hari. Lewat umur tujuh tahun putra-putri bisa diupgrade memahami materi lebih tinggi. Seperti menghafal kitab hadits dan kitab fiqih hingga ada ada di usia belia mampu menjadi mufti.
Generasi muda benar-benar dididik, digamblengi. Dilatih berbagai ketangkasan yang diperlukan untuk dakwah dan berjuang menegakkan Islam di muka bumi. Hanya di negara Islam prestasi remaja tak tertandingi. Produktivitas remaja benar-benar tinggi.
Muncul karya-karya, buku-buku dan prestasi di berbagai segi. Kemampuan riset, penelitian, dan penemuan dibina sejak usia dini. Kehidupan Islami benar-benar menjamin dan kondusif untuk berkarya dan berprestasi. Ketika peran negara benar-benar melindungi dan memfasilitasi. Antara negara, keluarga, dan masyarakat benar-benar bersinergi. Berkolaborasi untuk mewujudkan remaja yang berkepribadian Islami. Didorong oleh kesadaran sendiri, niat suci, cinta Ilahi, kondusifitas tradisi ilmiah terinstitusi.
Belum lagi tontonan dan tuntunan kepribadian Islam benar-benar dijaga. Negara melarang penyebaran semua kerusakan yang ditimbulkan oleh konten-konten media. Negara benar-benar menutup semua pintu kemaksiatan dan dosa. Kebijkan media di negara Islam benar-benar melindungi anak dan remaja, dari berbagai tontonan tak berguna, sampah, dan tak berguna.
Jadi, mencuatnya perundungan bukti liberalisme itu cacat. Oleh karena itu menghilangkan perundungan terlaknat, butuh kolaborasi yang kuat. Antara negara, keluarga dan masyarakat. Remaja difasiltasi untuk taat syariat. Kondisifitas suasana keimanan remaja harus meningkat. Remaja berlatih untuk membaca, mendengar, memuraja’ah hafalan al-Qur’an, kitab hadits, kitab tafsir, hingga tsaqafah mereka meningkat.
Remaja dididik kemampuan dakwah dan keberaniannya untuk mencerdaskan umat. Hal ini membuat remaja terhalang melakukan maksiat. Hanya menyibukkan diri untuk taat syariat. Sampai mereka menikah, punya anak sholih dan sholihat. Dididik lagi seperti mereka dididik untuk taat, bahkan harus meningkat dari yang mereka dapat. Hingga generasi taat syariat menjadi siklus kehidupan umat, dan segala bentuk perundungan minggat atau mangkat. Allahu A’lam Bisshawab.