Wajah Polos itu Tak Berhati Nurani
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Muslimahtimes – Dunia semakin gila, manusianya sakit parah! Ungkapan itu kiranya cocok untuk menggambarkan keadaan hari ini. Seorang siswi SMP diberitakan menyerahkan diri ke Polsek karena mengaku selesai membunuh teman adiknya yang berusia 6 tahun. Gadis berwajah polos ini, berusia 15 tahun.
Dari hasil penyelidikan dan olah TKP diketahui bahwa aksi membunuhnya ini dilakukan dengan sadar. Karena terinspirasi film horor Slender man dan Chucky. Ia yang terkenal sebagai siswi cerdas, pandai menggambar dan terampil berbahasa Inggris, menggambarkan rencana pembunuhannya dalam sebuah coretan di atas kertas yang kini menjadi barang bukti.
Wajah polosnya sungguh tak menggambarkan ia punya hati yang bengis, gadis cilik teman adiknya bermain ia minta untuk mengambil mainan di dalam bak kamar mandi yang kemudian badannya ia dorong hingga masuk ke dalam bak. Ketika badan korban sudah lemas, mulutnya ia colok dengan benda tajam hingga benar-benar mati. Mayatnya ia sembunyikan di dalam lemari pakaiannya, karena mulutnya mengeluarkan darah maka disumpal tisu.
Semua ia lakukan di rumah dalam keadaan kosong, seorang diri. Dan rencananya pagi sebelum berangkat sekolah korban akan dibuang, namun ternyata ia kerepotan dan bingung. Gadis ini memutuskan untuk ke kantor polisi dan menyerahkan diri (pojoksatu.id , 7/3/2020).
Persis seperti cerita dalam sebuah film. Miris! Memang sekarang banyak tontonan yang tak patut menjadi tuntunan sebab menyajikan kekerasan, percintaan, hedonisme, dan kemaksiatan lainnya. Tak ada acara imbangan yang lebih edukatif dan normatif, wajar jika kemudian menimbulkan persoalan.
Sebab paparan tontonan tak baik itu tak hanya bisa diakses dilayar televisi, namun sudah merambah pada perangkat handphone dan lain sebagainya. Faktanya tak bisa dipungkiri, kemajuan teknologi memang bak pedang bermata dua, disisi lain memudahkan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya, yang membutuhkan akses serba cepat. Di sisi lain, menjadi bumerang pada pemakainya sendiri.
Banyak kriminalitas dan kemalasan berpikir disebabkan karena media sosial. Apalagi, di Indonesia pengakses terbesar media sosial adalah generasi muda. Total pengguna mencapai 150 juta pengguna, ini berarti mayoritas penggunaan internet untuk bersosialisasi melalui media sosial.
Jumlah pengguna media sosial ini mencapai 56% dari jumlah total penduduk Indonesia, dengan pengguna berbasis mobilenya mencapai 130juta. Tidak heran jika semua platform media sosial akhirnya fokus untuk optimalisasi aplikasinya di mobile.
Dan jika ditinjau dari sisi gender dan umur, terlihat pengguna media sosial paling banyak dari usia 18-34 tahun, baik Pria maupun Wanita. Ini masa-masa usia sangat produktif (websindo.com, 1999).
Muara seluruh persoalan yang melibatkan pelaku anak hampir semuanya berasal dari keretakan rumah tangga, ekonomi keluarga dan tontotan yang tak patut. Meskipun banyak faktor lain yang menjadi pemicunya namun ketiga masalah tersebut menjadi semacam lingkaran setan yang belum juga terurai hingga saat ini, meskipun pemerintah sudah melakukan berbagai upaya. Butuh aturan yang lebih memuaskan akal, menentramkan hati dan sesuai dengan fitrah manusia( manusiawi).
Keluarga yang seharusnya menjadi benteng utama menjaga ketahanan keluarga kini kehilangan fungsinya. Porak poranda sebab sistem yang melingkupinya, yaitu liberalisme. Yang akarnya adalah adanya upaya pemisahan agama dari kehidupan, berikut dari negara.
Setiap persoalan manusia diselesaikan dengan aturan asal. Dari benak dan kecerdasan manusia. Sehingga meskipun ada UU yang mengatur tentang sanksi pembunuhan, namun anak ini tak terjerat sebab usianya yang masih dianggap di bawah umur.
Padahal, kepolosan ” anak-anak”nya telah mampu merusak jiwa dan pikirannya mengalahkan hewan liar. Rasa kemanusiaan tercabut begitu saja berganti dengan kepuasaan. Ya, gadis lugu itu mengaku puas sudah melakukan pembunuhan. Sungguh parah! Nyawa tak ada harganya dan kesenangan bergeser menjadi sesuatu yang tak masuk nalar, bukan lagi di hati dengan rasa tentramnya.
Apakah keadaan ini akan dibiarkan begitu saja? Tak bisa dinafikan, karena sistem rusak ini telah berjalan sekian lam, bisa dipastikan angka pembunuh dibawah umur bukan kali ini saja. Banyak yang tak terungkap atau malah terungkap tapi tak terselesaikan. Banyak yang menempuh cara kekeluargaan sehingga tak mewujudkan rasa adil.
Ada persoalan besar hari ini. Tak hanya masalah interaksi antar individu masyarakat, namun juga ekonomi, pendidikan, keamanan, kesehatan dan terutama rusaknya suasana ketakwaan. Mayoritas penduduknya muslim pun tak berpengaruh, sebab Islam hanya berhenti sebagai identitas formalitas semata.
Arti kebahagiaan berubah menjadi sesuatu yang nisbi. Yang seharusnya sebagai muslim bahagia adalah jika sudah melakukan ketaatan kepada Allah, yang menciptakannya.
Adakah hukum yang lebih adil? Jelas ada, yaitu sistem sanksi dan hukum Islam. Bahkan aturan ekonomi, interaksi sosial, pendidikan , keamanan dan seluruh persoalan manusia yaitu Islam.
Mengapa harus Islam? Sebab Islam tak hanya berupa ajaran akidah dan ibadah, namun juga syariat yang berisi tentang peraturan. Hukum yang langsung turun dari Yang Maha Adil dan Bijaksana , Allah SWT yang juga pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Maka demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman sampai mereka menjadikanmu sebagai hakim di dalam perkara yang mereka perselisihkan” (QS. An-Nisaa: 65)
Artinya, dalam kasus pembunuhan anak” di bawah umur” ini jika diselesaikan dengan syariat Islam, jelas akan selesai dengan tidak menimbulkan masalah baru. Yaitu dengan tindakan kuratif dan preventif. Pertama, usia anak yang sudah baligh sudah menjadikan ia berhak ditindak secara hukum. Sebab taklif syara telah jatuh kepadanya sejak ia baligh. Maka ia bisa diadili sebagaimana manusia yang lain sesuai dengan hukum syara.
Kedua, adalah tindakan preventif, yaitu perubahan kurikulum pendidikan yang berdasarkan kepada pembentukan akidah yang kuat. Sekaligus juga pembentukan syaksiyahnya ( kepribadian) yang berdasar syariat.
Kemudian secara bersamaan perbaikan ekonomi, jaminan keamanan dan kesehatan yang berbasis periayahan ( tanggung jawab dan jaminan) negara. Sehingga setiap keluarga bisa membangun ketahanan kehidupan berkeluarga ya dengan baik. Sebab tersuasanakan iklim ruhiyah yang tinggi, yaitu dalam rangka menjalankan ibadah kepada Allah SWT.
Jika hari ini belum terwujud sistem yang demikian maka akan tetap menjadi kewajiban setiap kaum Muslim untuk mewujudkannya. Qaedah fiqihnya jika ada kewajiban yang harus ditegakkan dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib. Fardhu kifayah belum terlaksana hingga tuntas otomatis akan menjadi fardhu ain, artinya menjadi kewajiban setiap satu muslim di manapun berada, untuk mengubah keadaan tidak syar’i ini menjadi syar’i. Wallahu a’ lam bish showab.