Oleh: Ifa Mufida
(Pemerhati Sosial Politik)
Muslimahtimes– Presiden Joko Widodo akhirnya pada Senin (3/3/2020) siang, mengumumkan dua warga negara Indonesia (WNI) terjangkit virus corona (kompas.com). Setelah sebelumnya, beberapa kali pemerintah meng-klaim bahwa Indonesia sebagai negara “zero case virus corona”. Meskipun pernyataan ini dipertanyakan oleh berbagai negara di dunia. Tersebab, ketika dunia dilanda kecemasan wabah corona, Indonesia justru tetap tenang menerima warga negara Tiongkok ke Bali. Ada kecemasan pariwisata negeri ini anjlok sehingga berimbas pada perekonomian negara.
Selama lebih dari dua bulan, Kamis (5/3/2020), ada 94.254 kasus infeksi wabah menular ini. Virus corona SARS-2-CoV (covid-19) juga telah menewaskan 3.220 orang, dengan wilayah penyebaran mencapai 77 negara. Sejak pertama kali mewabah di Wuhan, China, virus corona ini telah menyebar ke nyaris semua benua, kecuali Antartika (kumparan.com). Sedang Indonesia meski dikepung oleh negara tetangga yang terkena wabah corona, baru awal bulan ini menyatakan ada warganya yang terinfeksi virus corona.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia telah berhasil mengevakuasi 238 mahasiswa Indonesia dari Wuhan, China dari pusat penyebaran tiba di Indonesia. Namun mereka dipulangkan ke rumah masing-masing tanpa menjalani pemeriksaan virus corona. Alasannya alat tes yang mahal. Kementerian Kesehatan berdalih pengujian tidak dilakukan lantaran harga alat pengujian yang mahal. Untuk reagen ditaksir dengan harga kisaran Rp.1 miliar. Alasan lainnya pengujian tidak dilakukan lantaran para WNI dinilai dalam kondisi sehat (suara.com).
Padahal, virus corona begitu cepat menyebar tanpa bisa dicegah bahkan banyak riset yang menyatakan bahwa penularan bisa terjadi pada penderita tanpa gejala klinis (asimtomatik). Maka seharusnya segala upaya preventif harus dilakukan untuk mencegah penularan serta mendiagnosanya. Beberapa hal upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah penularannya, antara lain menjaga hygine dengan sering mencuci tangan, tidak berjabat tangan dengan orang lain, memakai masker, menghindari kerumunan, makan makanan yang sehat, dsb. Namun, apalah daya justru alat dan bahan untuk mencegah penularannya seperti masker dan hand sanitizer kini mahal tak terkira.
Semua fakta tersebut adalah kondisi di dalam negeri ketika kapitalisme telah bertahta di atas wabah penyakit. Kita bisa melihat bagaimana, pemerintah sangat hitung-hitungan dana ketika menangani corona, penanganan yang setengah hati. Bahkan karena khawatir pemasukan negara anjlok maka pemerintah masih membuka kran masuknya turis asing ke Indonesia, hingga berupaya mengembalikan tenaga asing China kembali ke Indonesia. Di sisi lain, pemerintah menganggap guyonan ketika ada kekhawatiran yang muncul dari masyarakat. Seperti ketika ada keluhan harga masker yang selangit justru ditanggapi balik mempertanyakan kenapa memakai masker. Dan kini, pasca pengumuman Indonesia positif yang terkena covid-19, masyarakatpun panik hingga memborong bahan pokok untuk persediaan.
Di sisi lain, masih ada tanda tanya besar berkenaan dengan asal mula virus ini. Apakah memang benar virus ini berasal dari kelelawar pasar Wuhan atau justru dari yang lainnya. The Guardian menyebut bahwa Rusia melalui salah satu jaringan TV nasional utama, Channel One, menyampaikan bahwa tersebarnya corona berhubungan erat USA. Amerika Serikat selama ini menjalankan laboratorium di Georgia sebagai tempat mereka menguji senjata biologis pada manusia. Perusahaan farmasi Amerika Serikat atau agennya (CIA) terlibat dalam menciptakan dan menyebarkan virus untuk etnis Asia (bioweapon Etnis).
Bisa ditarik benang merah bahwa USA sangat mungkin memiliki tujuan membuat senjata biologis yakni untuk memukul mundur ekonomi China sebagai pesaing utama geopolitiknya. Kemudian, mereka bisa meraup keuntungan dari penjualan vaksin melawan coronavirus (bbc. com). Untuk obat dan vaksin covid-19, saat ini berbagai perusahaan di dunia sedang berlomba menemukannya. Bisa dipastikan ini akan menjadi lahan komersialisasi baru bagi negara-negara tersebut. Sebagaimana Konsep kapitalisme semua aktivitas adalah untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya.
Hal ini memang sudah menjadi tabiat ketika muncul kuman dan penyakit baru seperti flu burung H5N1, ebola, termasuk SARS-CoV-1, MERS maka bersamaan dengan itu akan ada penemuan vaksin. Dimana, Big Pharma yakni MNC (Multi Nasional Corporate bidang farmasi pengendali kebijakan kesehatan dunia) datang sebagai “penyelamat”. Namun, mereka menjajakan obat dan vaksin yang harganya selangit. Saat ini, Johnson and-Johnson yang berkantor pusat di New Brunswick, New Jersey, Amerika Serikat tengah melakukan riset vaksin untuk covid-19 (jnj.com).
Demikianlah wajah kapitalisme. Kapitalisme-sekuler telah menumbuhsuburkan nilai materialistik di setiap lini kehidupan. Ketika berkeinginan untuk memenangkan percaturan dunia mereka pun tak segan menggunakan berbagai cara termasuk senjata biologis untuk melumpuhkan musuh politiknya. Meski tersebut bisa menyebabkan kesengsaraan bagi manusia di seluruh dunia.
Maka, umat manusia di dunia sampai kapanpun akan dirudung penderitaan demi penderitaan jika masih tetap bertahan dengan ideologi kapitalisme-sekuler. Sudah sepatutnya, umat manusia mencari ideologi yang akan bisa menjadi rahmat bagi seluruh alam. Ideologi yang mengemban misi untuk mengayomi seluruh umat di dunia secara adil dan merata dengan syariat Islam. Dimana ideologi ini diemban oleh sebuah negara yang di dalam Islam dikenal dengan khilafah.
Negara Islam ketika menghadapi bencana memiliki strategi yang cukup kompleks untuk menghadapinya. Strategi tersebut antara lain sebagai berikut.
Pertama, negara akan melakukan karantina secara penuh terhadap sebuah daerah yang sedang diserang wabah penyakit. Tak boleh seorang pun keluar masuk. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kelian meninggalkan tempat itu,” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
Kedua, negara akan memberikan dan mendorong para ilmuwan saat itu untuk melakukan penelitian guna bisa menemukan obat untuk penyakit tersebut. Penelitian ini pun dilakukan dan dibiayai penuh oleh negara. Kemudian akan disalurkan untuk kemanusiaan bukan dalam rangka komersialisasi.
Ketiga, negara akan menghimbau rakyat untuk hidup bersih dan sehat, makan makanan yang halal dan thoyyib, serta memperbanyak doa. Tersebab, Allah SWT lah yang Maha memberi penyakit dan Allah pula yang akan memberikan kesembuhan. Tidak ada yang menyembuhkan kecuali Dia. Sebagaimana kata Nabi Ibrahim: “dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku” [Qu’ran Asy-Syu’ara:80].
Keempat, ada himbauan yang terstruktur dari negara untuk menghindari kemaksiatan dan menutup segala tempat yang mengantarkan kepada kemaksiatan. Sebagaimana di dalam kitab Al Bidayah wa An Nihayah, 11/140. Disampaikan oleh Dr. Ali Muhammad Audah Al Ghamidi, sejarawan Islam bahwa pernah negeri muslim dilanda demam dan wabah lainnya terkhusus di Iraq, Syam dan Hijaz. Penyakit itu digambarkan bisa menyebabkan kematian tiba-tiba.
Kemudian, Khalifah Al Muqtadi Billah mengeluarkan perintah kepada seluruh jajaran gubernur dan umat Islam selain meng-optimlakan pengobatan, agar juga menegakkan perkara ma’ruf dan sama-sama memerangi kemungkaran di setiap desa dan kota. Mereka mengadakan agenda menghancurkan tempat-tempat maksiat, membuang khamr dan mengeluarkan para ahli maksiat besar dari negeri muslimin. Setelah perintah itu dilaksanakan oleh segenap rakyat, wabah sakit dan musibah bencana alam tersebut teredam.
Demikianlah, segala penderitaan dan kerusakan termasuk mewabahnya virus corona harusnya menjadikan manusia mau untuk bermuhasabah. Kapitalisme diduga kuat penyebab munculnya virus ini atas nama senjata biologis untuk memerangi percaturan ekonomi dunia. Senjata biologis ini pun dimanfaatkan untuk komersialisasi obat dan vaksin.
Di bawah kapitalisme juga, rakyat tidak diurus secara optimal agar terhindar dari virus mematikan ini. Yang ada, pemerintah selalu melakukan perhitungan kerugian ekonomi. Alih-alih memikirkan keselamatan rakyat, pemerintah lebih memperhitunkan untung dan rugi. Masihkah kita berharap dengan sistem kapitalisme yang rusak ini? Maka moment merebaknya virus ini harusnya menjadi moment dimana kita ber-azam untuk meninggalkan segala kemaksiatan, lalu kembali kepada aturan Allah SWT dan tunduk kepada seluruh aturan tadi secara totalitas. Wallahu A’lam bi showab.