Oleh: Reni Asmara
(Pemerhati Kebijakan Sosial)
Muslimahtimes– Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) adalah bantuan sosial pangan dalam bentuk non tunai dari pemerintah yang diberikan kepada masyarakat miskin (Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Bantuan ini diberikan setiap bulannya melalui mekanisme akun elektronik yang digunakan hanya untuk membeli bahan pangan di pedagang bahan pangan/e-warung yang bekerjasama dengan bank. Manfaat BPNT adalah untuk meningkatkan ketahanan pangan ditingkat KPM sekaligus sebagai mekanisme perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan. Selain itu, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi didaerah terutama usaha mikro dan kecil dibidang perdagangan. Demi terciptanya keadilan dan kesejahteraan ekonomi yang selama ini diidamkan masyarakat.
Pada tahun 2020 pemerintah menaikan nilai BPNT di seluruh Indonesia. Kabupaten Sumedang nilai BPNT naik dari Rp 110.000 menjadi Rp 150.000 per bulan per kepala keluarga. Dengan kuota 78.389 KPM. Kenaikan ini diharapkan dapat membantu masyarakat miskin (KPM) untuk memenuhi kebutuhannya akan gizi seimbang. Sehingga dapat membeli lebih, tidak sekedar telur dan beras.
Program BPTN merupakan usaha negara untuk menanggulangi masalah kemiskinan di negeri ini. Karena politik ekonomi kapitalisme neoliberalisme yang diterapkan selama ini telah membebaskan privatisasi kepemilikan umum (air, padang rumput dan api/barang tambang). Kaum kapitalis (para pemilik modal/pengusaha) diberi izin mengelola, berinvestasi bahkan membeli kepemilikan umum. Alhasil produk pokok yang menguasai hajat hidup (pangan pokok, gas, listrik, air, dll) dikuasai kaum kapitalis. Yang menyebabkan ketimpangan ekonomi antara kaum kapitalis dengan masyarakat biasa. Masyarakat harus membeli produk pokok tersebut dari kaum kapitalis dengan harga yang tidak murah. Karena harga ditentukan oleh mekanisme pasar. Disamping masyarakat harus membeli kebutuhan lainnya. Otomatis bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah sulit untuk mencukupi kebutuhannya.
Banyak masyarakat miskin berharap mendapatkan BPNT. Termasuk di Kabupaten Sumedang. Akan tetapi, pada pelaksanaanya kurang efektif dan rawan salah sasaran. Di Kabupaten Sumedang KPM banyak dikeluhkan warga. Pasalnya KPM masih banyak dari kalangan yang dikategorikan mampu. Sementara masyarakat yang dikategorikan benar-benar tidak mampu malah tidak menjadi KPM. Hal ini disebabkan karena buruknya data penerima sehingga tidak tepat sasaran. Banyak masyarakat yang menyarankan pendataan ulang KPM sekaligus diawasi agar tidak salah sasaran lagi.
Buruknya Sumber Daya Manusia dan birokrasi menyebabkan rawan bocor/korupsi. Menurut Buwas dilansir dari Tempo.co (25/09/2019), Anggaran yang dikorupsi oknum penyalur BPNT senilai 5 Triliun per tahun. Di Kabupaten Sumedang menurut laporan warga masih ada bantuan yang diterima tidak sesuai dengan jumlah dana bantuan. Masih ada KPM yang menerima daging ayam yang tidak layak konsumsi. Sementara naiknya jumlah bantuan, tidak akan terlalu terasa karena semua kebutuhan khususnya pangan selalu naik setiap tahunnya. Alhasil selama sistem kapitalisme mencengkram negeri ini, kesejahteraan ibarat jauh panggang dari api
Dalam politik ekonomi Islam kepemilikan dibagi menjadi 3 bagian, yaitu kepemilikan individu yang bebas digunakan oleh individu pemilik harta selama tidak melanggar syariah. Kedua , kepemilikan umum dimana syariah menetapkannya sebagai milik rakyat. Kewajiban negara mengelolanya dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat untuk melayani dan memenuhi kebutuhan mereka. Bukan dijual kepada kaum kapitalis seperti yang selama ini dilakukan. Ketiga kepemilikan negara dikelola berdasarkan kebijakan kholifah sesuai dengan peruntukannya.
Kejelasan status kepemilikan ini merupakan konsep ekonomi Islam, mendorong terciptanya keadilan ekonomi. Yang berkonsekuensi logis terhadap kesejahteraan. Ketika terpenuhinya semua kebutuhan pokok setiap individu masyarakat disertai jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan pelengkap sesuai dengan kemampuan mereka.
Dalam ekonomi Islam pemenuhan kebutuhan pokok berupa produk seperti sandang, papan dan pangan melalui mekanisme:
Pertama, hukum asal setiap individu berkewajiban memenuhi kebutuhannya sendiri melalui mekanisme bekerja (TQS.Al-Mulk : 15, TQS. Al- Jumu’ah : 10, TQS. Al- Jatsiyah : 12, HR. Baihaqi, HR. Abu Nu’aim, dll).
Kedua, dalam kondisi individu sanggup bekerja, namun tidak memiliki kesempatan bekerja maka negara berkewajiban menyediakan lapangan pekerjaan (HR Bukhari dan Muslim).
Ketiga, dalam kondisi individu tidak sanggup bekerja, kerabat dan mahromnya berkewajiban memenuhi kebutuhan pokoknya (TQS. Al-Baqarah : 233, HR. Ibnu Majah).
Keempat, dalam kondisi tidak ada kerabat dan mahrom yang mampu memenuhi kebutuhan pokok seorang individu, maka negara berkewajiban mencukupinya melalui kas zakat di Baitul Mal (TQS. At-Taubah : 60).
Kelima, dalam kondisi kas zakat di Baitul Mal tidak mampu memenuhinya maka negara akan memenuhinya dengan mengambil kas lain.
Keenam, dalam kondisi kas negara habis maka semua kaum muslimin berkewajiban mencukupinya (TQS Adz- Dzariyaat : 19, TQS. Al-Baqarah : 219, TQS, Al-Hasyr : 7, HR. Tirmizi).
Dengan demikian konsep ekonomi Islam merupakan konsep yang rasional dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan ekonomi seluruh rakyat. Sejarah membuktikan dimasa Kholifah Umar bin Abdul Azis. Yang mewarisi negara tidak sempurna bahkan dalam beberapa hal jauh dari Islam. Hanya dalam waktu dua setengah tahun. Dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah telah berhasil membuat rakyat makmur sejahtera, tegaknya keadilan dan rasa aman seantero negeri. Pada masanya sulit mencari mustahik.
Jadi ekonomi Islam hanya akan mungkin berhasil jika diterapkan dalam masyarakat Islam yang menerapkan Islam secara menyeluruh (kaffah) baik dibidang ekonomi, politik, sosial, pendidikan, budaya dan lain-lain. (Al-Qaradhawi, 1995). Karena itu syariat Islam harus ditegakkan agar dapat diterapkan. Demi terciptanya masyarakat makmur sejahtera. Menjadi kuat dan sehat dalam menjalankan ibadah. Tidak seperti sekarang, jangankan makanan yang sehat dan bergizi untuk bisa makan saja sulit. Wallahu a’lam.