Oleh: Nurintan Sri Utami, S.Psi., M.Si
Â
#MuslimahTimes — Manusia memanglah makhluk yang kreatif dan begitu mudah dipengaruhi. Ia mampu mewujudkan khayalan menjadi nyata hanya dengan melihat beberapa tontonan dan mengikuti beberapa bacaan. Sangatlah tepat argumentasi demikian sebab terungkap bahwa apa-apa yang ada dalam film sebagai suatu yang sepertinya mustahil, akhirnya terwujud dalam kehidupan nyata. Film kekerasan yang menyuguhkan beragam perilaku agresif termasuk pembunuhan sadis akhirnya direalisasikan remaja perempuan yang harusnya tidak memiliki situasi motivasional untuk melakukannya bahkan kebanyakan orang cenderung ketakutan terhadap tontonan semacam ini.
Pembunuhan tersebut dilakukan seorang remaja terhadap balita yang notabene adalah orang dekat yaitu tetangga yang biasa bermain bersama. Remaja tersebut bahkan tak merasa menyesal melainkan merasa puas setelah akhirnya bisa membunuh. Diketahui, ia terinspirasi setelah sering menonton film horor seperti The Slender Man dan Chucky yang mengisahkan pembunuhan berantai dan penggambaran karakter yang suka menculik dan melukai orang, terutama anak-anak. Keterangan pihak kepolisian juga sedikit mengungkap bahwa ia memiliki pengalaman yang buruk dalam keluarga, tepatnya ia merasa ditinggalkan oleh orang tua kandungnya. Tak hanya pembunuhan, banyak kasus kekerasan seperti bullying atau perkelahian tak absen menghampiri kehidupan remaja. Lalu, mengapa agresivitas terus dipertontonkan oleh generasi muda? Bukankah generasi muda adalah penentu nasib masa depan sebuah negara?
Remaja dan Kuatnya Perilaku Meniru
Fenomena remaja yang kini lebih mudah marah, tersulut emosi dan agresif tidak terlepas dari proses transisi menuju kedewasaan. Remaja biasanya akan berhadapan dengan tuntutan-tuntutan baru dalam hidup dan menyesuaikan nilai-nilai dalam masyarakat yang dapat menyebabkan goncangan dalam dirinya. Perilaku remaja sendiri terjadi sebab dorongan yang nyata dari lingkungan yang menyuguhkan referensi. Maka dengan mudah seorang anak maupun remaja dapat mengakses beragam informasi, mencerna, memahaminya dan kemudian mencoba tuk mempraktikkannya.
Pada era 60-an, Albert Bandura melalui eksperimen Bobo Doll dan teorinya yang sangat terkenal, Social Learning berhasil menjelaskan kepada kita dampak penting dari perilaku meniru terutama yang berhubungan dengan kekerasan. Eksperimen ini menempatkan orang dewasa bersama anak-anak dalam satu ruangan untuk bermain bersama. Orang dewasa yang menemani anak-anak ini kemudian memukul Bobo Doll (boneka tiup) dengan kedua tangan dan palu. Setelah beberapa saat, anak-anak diminta keluar menuju ruang lain dan bermain. Kemudian, anak-anak ini dikembalikan ke ruang yang pertama tanpa ditemani orang dewasa. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa setiap anak dalam ruang tersebut melakukan kekerasan pada Bobo Doll secara verbal maupun fisik dengan palu. Hal ini tidak terjadi pada ruang dan anak-anak lain yang tidak melihat orang dewasa berperilaku agresif.
Maka dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif dapat terjadi karena seseorang terekspos pada model-model agresif yang ditampilkan oleh lingkungannya. Perlu diketahui bahwa sampai saat ini, lingkungan adalah motivator terbaik bagi munculnya pemikiran dan perilaku seseorang. Anak-anak, remaja maupun orang dewasa memproses segala informasi yang ia dapatkan dari lingkungan. Tak heran jika peniruan perilaku agresif juga dengan mudah ditemukan hari ini karena banyak pula aksi-aksi agresif dijumpai di lingkungan sekitar maupun dalam tontonan.
Pentingnya Support System
Jika kita menginginkan anak maupun remaja menjadi sosok yang tenang, baik hati dan sopan maka kita membutuhkan support system yang berkualitas dan benar. Orang-orang di sekeliling mereka haruslah memiliki karakteristik yang baik. Sedangkan support dari keluarga hari ini kian melemah karena keharmonisan keluarga juga tak tercipta. Orang tua khususnya, telah disibukkan oleh urusan luar rumah seperti bekerja. Belum lagi jika hubungan orang tua sendiri mengalami keretakan, maka anak yang mendapat imbasnya, anak menjadi terabaikan. Harusnya mulai ada perbaikan. Orang tua wajib melakukan tugasnya dalam keluarga yaitu memberi pengasuhan dan didikan yang tepat terkait aqidah dan akhlak. Memantau apa yang dilakukan anak di dalam rumah maupun diluar rumah. Tak lupa penerimaan emosi yang dirasakan anak penting dilakukan oleh orang tua agar emosi anak tak terpendam dan akhirnya meledak-ledak. “Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin tentang apa yang dipimpinnya. Apakah ia pelihara ataukah ia sia-siakan, hingga seseorang ditanya tentang keluarganya.†Diriwayatkan oleh an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’.
Selain keluarga, maka peran masyarakat dalam mengontrol perilaku kekerasan dapat dilakukan dengan saling nasehat-menasehati untuk mencapai kebaikan bersama. Nyatanya, masyarakat hari ini hanya merasa penting mengurusi diri sendiri dan lebih bersikap abai terhadap fenomena kekerasan selagi tak menimpa dirinya atau keluarganya. Kini, individualistik hinggap di kerumunan masyarakat. Maka, hal semacam ini tak boleh terus dibiarkan. Allah, sang pencipta telah memerintahkan kita dalam QS. Al-Asr untuk saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, maka selayaknya wajib bagi diri kita sebagai warga masyarakat untuk saling peduli terhadap lingkungan sekitar.
Dukungan terbesar selayaknya datang dari negara. Hanya saja, negara juga terkesan abai dengan banyaknya film kekerasan bahkan tanpa sensor yang dapat diakses oleh anak-anak dan remaja. Film menjadi komoditas di era kapitalisme yang mendewakan uang. Negara juga terkesan gagal dalam menjaga keharmonisan keluarga karena makin banyak orang tua yang bercerai dan broken home terjadi pada anak. Sungguh peran negara sangat dibutuhkan. Negara harus mampu mengubah mindset “jualan”nya dan mulai mengurus rakyat dengan maksimal karena “Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya.â€(HR. al-Bukhari dan Muslim). Peredaran film yang tak mendidik perlu dihentikan, sistem pendidikan dibenahi agar tercipta generasi muda yang bertakwa dan berakhlakul karimah, dan negara harus mampu menjaga keharmonisan keluarga dengan memerhatikan relasi keluarga, menyediakan fasilitas mediasi jika keluarga berkonflik, serta memastikan kesejahteraan ekonomi keluarga. Â
Tiga pilar di atas yaitu individu-keluarga, masyarakat, dan negara adalah penyokong terciptanya support system terbaik. Support system terbaik tidaklah datang dari aturan yang dibuat manusia karena mengikuti logika serta hawa nafsu yang jelas serba kurang dan terbatas dalam mensolusikan persoalan. Support system ini haruslah berlandaskan aturan dari sang Maha Tahu, yaitu Pencipta Alam Semesta beserta kehidupan, Allah SWT yang telah diberikan-Nya melalui Kitabullah.Â