Oleh. Lesa Mirzani, S.pd
#MuslimahTimes — Dunia maya dihebohkan dengan unggahan foto aktris Tara Basro yang menampilkan dirinya semi bugil mengkampanyekan “body positivity” mengajak orang untuk mencintai tubuhnya dan percaya dengan diri sendiri. Unggahan fotonya tersebut memicu banyak komentar dari para warganet, bahkan juru bicara Kemenkominfo Ferdinandus Setu pun sempat berpendapat bahwa unggahan foto tersebut ada unsur ketelanjangan dan berpotensi melanggar pasal tentang kesusilaandalam UU ITE. “Yang jelas kami melihat itu memenuhi unsur Pasal 27 ayat 1 tentang melanggar kesusilaan.Adapun bunyi pasal 27 ayat 1 UU ITE adalah sebagai berikut:“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.Dan unggahan foto itu menafsirkan ketelanjangan dan kami akan segera take down, tapi syukur-syukur sudah di take down sendiri olehnya.” Ujar Ferdinandus.
Namun komentar dari Kemenkominfo di bantah oleh Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Mariana Amiruddin mengatakan apa yang dilakukan Tara Basro, membangkitkan kepercayaan diri perempuan. “Tidak ada tujuan untuk membangkitkan hasrat seksual, tapi tujuannya lebih ke bagaimana perempuan percaya diri terhadap tubuhnya sendiri” ujar Mariana kepada BBC News Indonesia, Kamis (05/03). Hal inijuga di dukung oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Johny G Plate menilai unggahan Tara Basro sebagai bentuk seni dan tidak melanggar pasal kesusilaan dalam undang – undang ITE. Pernyataan ini berbeda dengan keterangan Kemenkominfo sebelumnya yang berpendapat bahwa unggahan foto tersebut ada unsur ketelanjangan dan perpotensi melanggar pasal kesusilaan di undang – undang ITE.
Menanggapi polemik ini, Direktur Indonesia Change, Mahfud Abdullah menilai negeri ini mengalami krisis moral, diantaranya dari banyak kasus kekerasan yang terjadi berkaitan dengan masalah seksual. Salah satu penyebabnya adalah banyaknya video dan gambar porno yang merajalalela di dunia maya. “Sangat berbahaya, jika ada menteri yang malah mengapresiasi pornografi sebagai seni. Ingat lho, konten pornografi di internet yang sebagian memperlihatkan adegan kekerasan akan dicontoh oleh masyarakat, generasi muda dan anak-anak dan dipraktekkan sesamanya. Termasuk mempraktekkan pornografi yang dilakukan secara individu maupun berkelompok.” Ujar Mahfud kepada jurnalis Mediaumat (Rabu, 11/3/2020).
Menurutnya, dalih pembelaan pemerintah terhadap postingan Tara Basro adalah keliru. Mahfud mempertanyakan niat pemerintah menjaga moral rakyatnya. “Bagaimana jika foto-foto yang mengandung erotisme itu menyebar ke anak- anak? Coba jika Anda pikir dampak pornografi, missal terhadap anak-anak. Orang tua mana yang tidak pedih ketika melihat anak kesayangannya dicekam kecanduan akibat dampak pornografi ketika mereka tidak mampu mengontrol dengan baik apa yang anak-anak lihat. Jika pemerintah mengapresiasi tindakan positif Tara Basro berarti turut kampanyekan perusakan moral!” Imbuhnya.
Jika pemerintah mendukung ungguhan foto Tara Basro tersebut berarti pemerintah membiarkan virus kebebasan dan pornografi/aksi menjangkit pada masyarakat padahal di awal pemerintah membuat pasal UU ITE di pasal 27 ayat 1 untuk mencegah terjadinya pornografi/aksi merajalela di dunia maya. Namun pada kenyataanya pasal tersebut hanyalah pasal karet yang bisa dimaknai sepihak bagi pemerintah itu sendiri yang menyepakati adanya UU ITE tersebut. Bahkan tidak adanya komunikasi yang baik di dalam kementrian itu sendiri menjadi bukti bahwa pemerintah abai dalam menanganinya.
Kampanye yang digaungkan Tara Basro juga merespon makin banyaknya body shamingterhadap perempuan akibat pembakuan ukuran kecantika nsebagaimana dihadirkan oleh media. Hampir setengah juta orang dewasa pernah menjadi korban body shaming yang berdampak negatif pada kesehatan mental korban dan sebagian besar dialami oleh perempuan. Baik kepornoan maupun body shamingadalah wujud perendahan terhadap perempuan. Karena fitrahnya perempuan adalah makhluk yang dimuliakan dan hanya dengan menutup auratnya perempuan terjaga dari hal-hal yang bisa membahayakan dirinya. Hak atas tubuh hanyalah pandangan liberal yang menghasilkan respon kontradiktif berupa body shaming dan pornografi/aksi yang justru akan menghasilkan penghinaan terhadap perempuan dalam beragam bentuknya. Standar kecantikan seorang perempuan bukanlah apa yang media bakukan atau pun masyarakat inginkan akan tetapi standarnya adalah dari sang Pencipta kita Allah S.W.T yaitu dengan keimanan dan ketakwaan kepada hukum syara.
Berbeda dengan zaman kepemimpinan Rasulullah S.A.W yang sangat memuliakan perempuan dikisahkan pada suatu hari ada seorang muslimah arab yang datang ke pasarnya orang Yahudi Bani Qainuqa. Dia duduk di dekat pengrajin perhiasan. Tiba-tiba beberapa orang diantara mereka hendak menyingkap kerudung yang menutupi wajahnya. Muslimah ini spontan berteriak dan seorang laki-laki Muslim yang berada didekatnya melompat ke pengrajin tersebut dan membunuhnya. Orang Yahudi kemudian membalas dengan membunuh laki-laki Muslim tersebut.
Mendengar berita ini Rasulullah bersama pasukan kaum muslimin langsung mengepung tempat Bani Qainuqa dan hampir membunuh semua kaum laki-laki Bani Qainuqa karna telah merendahkan harga diri perempuan yang harusnya dimuliakan. Rasulullah sangat menjaga dan melindungi perempuan sebagaimana mestinya dan mengingatkan umat Islam untuk menghargai dan memuliakan kaum perempuan seperti sabda beliau “Aku wasiatkan pada kalian untuk berbuat baik kepada para perempuan”(H.R Muslim:3729) bukan memberikan kebebasan untuk mengumbarnya dengan dalih hak atas tubuhnya sendiri. Begitu sigapnya Rasululla hmenangani kasus itu seharusnya menjadi cerminan bagi pemerintah saat ini untuk tegas dalam mengambil keputusan yang harus dilakukan bukan mendukung perilaku yang bisa merendahkan kemuliaan perempuan.