Oleh : dr. Erwina MA, Sp. A
(Praktisi Kesehatan dan Member Revowriter)
Muslimahtimes– Pemerintah fokus melakukan social distancing alias jaga jarak untuk menekan penyebaran virus corona. (Katadata.co.id/22-3-2020). Lockdown tidak menjadi pilihan karena membawa konsekuensi yang luar biasa. Untuk konsekuensi itu, Indonesia jauh dari kata siap siaga. Betapa tidak, ketercukupan pangan, persoalan ekonomi, tanpa keberadaan corona saja tak kunjung usai persoalannya. Alhasil jika lockdown diberlakukan maka kondisi tersebut akan semakin kacau.
Namun tak dimungkiri bahwa sampai saat ini penyebaran virus corona sudah semakin meluas. Jumlah kasus terkonfirmasi positif meningkat drastis. Jumlah berubah setiap harinya dan trend terus meningkat. Demikian pula kasus meninggal karena corona terus bertambah dan jauh meninggalkan angka kasus yang dinyatakan sembuh. Tak terkecuali petugas kesehatan yang bekerja di garda terdepan tak sedikit yang terdampak corona, dari yang positif hingga meninggal dunia.
Penanganan Kasus Jauh dari Optimal
Prihatin dan miris ketika petugas garda terdepan berguguran. Bagaimana tidak, jumlah kasus yang semakin meningkat berbanding terbalik dengan ketersediaan alat pelindung diri (APD). Kebutuhan akan APD suatu keniscayaan bagi petugas kesehatan. Sayangnya ketersediaannya semakin menipis. Keberadaannya sangat langka dan melambung tinggi harganya. APD ini hanya sekali pakai, seolah boros tapi siapakah yang mau dibagi virus? Maka kondisi ini harus segera terselesaikan dengan dipenuhinya kebutuhan. Bak perang tanpa senjata bila APD tak tersedia. Bisa dipastikan, kalah!
Selain APD ketersediaan ruang isolasi juga menjadi kebutuhan. Jelas bahwa pasien positif tidak boleh dicampur dengan pasien sakit biasa. Ruang isolasi inipun harus ada syaratnya seperti bertekanan negatif, petugas menggunakan APD, tidak bisa dijenguk dsb. Sarana lain seperti alat ventilator (alat bantu nafas) juga menjadi kebutuhan apalagi jika kondisi pasien jatuh dalam keadaan gagal nafas dan butuh bantuan ventilator.
Untuk kasus corona pada pasien positif jelas harus dirawat di ruang isolasi. Pada PDP (pasien dalam pengawasan) juga butuh ruang isolasi sambil menunggu hasil tes keluar. Adapun ODP (orang dalam pemantauan) cukup dengan isolasi mandiri di rumah. Namun ada kondisi yang tidak memungkinkan bagi ODP melakukan isolasi mandiri di rumah dengan keadaan rumah yang sempit dan banyak aktivitas. (m.cnnindonesia.com, 13-3-2020). Pemerintah pun mengalihfungsikan wisma atlet di Kemayoran, Jakarta Pusat menjadi tempat isolasi bagi ODP yang akan berfungsi mulai senin, 23 maret 2020. Selain itu pemerintah juga menyiapkan Pulau Sebaru serta Pulau Galang sebagai tempat karantina, observasi, dan isolasi.(nasional.tempo.co, 20/3/2020). Namun sudah tersedia pula kah tenaga kesehatan untuk merawatnya?
Jumlah pasien yang semakin meningkat cepat menuntut RS siap berbenah. Namun siapakah yang menanggung pembiayaannya? BPJS jelas menolak pembiayaan sesuai dengan Perpres No 82/2018, pasal 52 huruf O, tentang pelayanan kesehatan yang tidak dijamin termasuk: “Pelayanan kesehatan akibat bencana pada masa tanggap darurat, kejadian luar biasa/wabah”. Dengan demikian biaya ini ditanggung oleh pemerintah secara langsung.
Mencegah Lebih Baik dari Mengobati
Pengobatan lebih banyak menghabiskan biaya daripada pencegahan. Sayangnya pemerintah justru memilih mendatangkan 5.000 butir Avigan dan tengah memesan 2 juta butir obat tersebut. Sementara itu, Klorokuin sudah disiapkan sebanyak 3 juta butir. Avigan diketahui sebagai pengobatan eksperimental untuk pasien Covid-19.(kompas.com, 20-3-2020). Sejatinya terapi definitif maupun vaksinasi untuk covid-19 belum ada.
Karenanya pencegahan seharusnya lebih utama mendapatkan perhatian. Di beberapa negara terbukti bahwa covid-19 ini sangat cepat penularannya sehingga tidak heran jika banyak kasus positif ditemukan. Di dunia disebutkan angka kematiannya hanya sebesar 3%, sayangnya di Indonesia angkanya jauh melebihi angka dunia.
Saatnya menentukan pencegahan yang efektif untuk memutus rantai penularan covid-19 harus dilakukan. Hanya mengandalkan social distancing seraya menghapus alternatif lockdown apakah langkah yang cukup dilakukan? Di saat kesimpangsiuran informasi dan hoax bersliweran di tengah-tengah masyarakat. Seruan social distancing dianggap hanya himbauan yang tidak harus dipatuhi terbukti kunjungan kerja masih dilakukan oleh DPR, hajatan, pengajian dsb masih berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Di sinilah keputusan dan kebijakan tegas dinantikan. Juga peran pelindung dan pemimpin dari penguasa sangat dirindukan. Sudahkah mitigasi covid-19 dilakukan?
Beberapa negara yang terjangkit covid-19 mengerahkan segala daya upaya untuk mengakhirinya. Berbagai langkah ditempuh. Cina dan Italia memilih untuk lockdown. Adapun Pemerintah Korea merespons dengan melakukan pencegahan secara terkoordinasi dan tetap menekankan transparansi dan meminta kerja sama publik sebagai pengganti langkah-langkah lockdown. Korea Selatan mampu melakukan pemeriksaan hingga 15.000 tes per hari. Para tenaga medis Korsel telah memeriksa sekitar 250.000 orang – sekitar satu dari setiap 200 warga Korea Selatan – sejak Januari. Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pemeriksaan ini, pemerintah menyatakan semua pemeriksaan terkait Covid-19 gratis untuk siapa saja yang dirujuk oleh dokter atau menunjukkan gejala Covid-19. (tirto.id, 20-3-2020).
Indonesia belum mampu keduanya. Namun lockdown sejatinya sudah dicontohkan oleh Umar bin Khatthab ketika menangani wabah thau’n. Sebagaimana hadits Rasulullah saw Dalam Shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan, dari Amir bin Saad bin Abi Waqqash, dari ayahnya bahwa ia pernah mendengar sang ayah bertanya kepada Usamah bin Zaid, “Apa hadits yang pernah engkau dengar dari Rasulullah berkaitan dengan wabah thaun?” Usamah menjawab, “Rasulullah pernah bersabda: Wabah thaun adalah kotoran yang dikirimkan oleh Allah terhadap sebagian kalangan bani Israil dan juga orang-orang sebelum kalian. Kalau kalian mendengar ada wabah thaun di suatu negeri, janganlah kalian memasuki negeri tersebut. Namun, bila wabah thaun itu menyebar di negeri kalian, janganlah kalian keluar dari negeri kalian menghindar dari penyakit itu.” (HR Bukhari-Muslim).
Dalam kondisi negara yang tidak siap menghadapi wabah, beratnya konsekuensi dari langkah lockdown maupun yang lain. Bak makan buat simalakama, dicegah sulit, diobati belum ada obatnya. Butuh tekad kuat dan dukungan semua pihak. Keluar dari zona nyaman dan saatnya memandirikan diri. Namun jika masih memilih mempertahankan ketergantungan pada asing, berpihak pada kepentingan segelintir orang di alam demokrasi, dan membiarkan rakyat menjadi korban maka jangankan covid-19 akan minggat, justru akan makin melekat. Naudzubillah min dzalik. Wallahua’lam bisshowab.