Berpacu dengan Covid-19
Oleh: Tari Ummu Hamzah(Anggota Revowriter Tangerang)
Muslimahtimes – Dalam waktu 6 hari, per tanggal 24 Maret hingga 30 maret 2020, jumlah Kasus Positif Covid-19 di Indonesia melesat tajam hingga 581 orang. Yang awalnya di tanggal 24 Maret berjumlah 704 penderita Covid-19, naik menjadi 1.285 orang. Kurva-kurva pada grafik monitoring kasus Covid 19 juga langsung naik. Saat ini negeri kita sedang mengerahkan segala daya dan upaya untuk melawan virus Covid-19. Seolah berpacu dengan waktu, Corona tak menunggu waktu lama untuk menyebar kepelosok negeri ini. (CNN.com)
Bayangkan saja, kecepatan pemerintah untuk mengkarantina penderita yang positif terjangkit virus Covid-19, harus beradu dengan kecepatan sebaran virus itu sendiri. Bila pemerintah pusat atau pemerintah daerah lamban dalam menangani kasus ini, maka angka penderita covid ini semakin naik.
Kita tahu teorinya bahwa virus ini rata-rata akan menyebabkan kefatalan bagi masyarakat di atas 40 tahun, dan orang-orang yang memiliki penyakit bawaan seperti asma, jantung, diabetes, darah tinggi, ginjal, liver dll. (Inews.com) Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa masyarakat generasi milenial pun akan terjangkit virus ini. Mengingat virus ini bermutasi begitu cepat, ditambah kebijakan pemerintah yang belum mau untuk menetapkan lockdown.
Padahal kemungkinan kenaikan jumlah kasus positif Covid-19 masih akan terus naik. Meskipun pemerintah memberikan arahan untuk karantina sendiri tetap harus ada kebijakan tegas agar tidak semakin menyebar keseluruhan provinsi di Indonesia. Sayangnya ketegasan dalam mengurangi aktivitas masyarakat belum diterapkan secara serempak. Fakta yang ada adalah pemerintah daerah dengan cepat menerapkan sendiri lokal lockdown, seperti Tasikmalaya dan Tegal.
Jika pemerintah tidak sigap dalam melakukan percepatan dan manuver kebijakan, maka virus ini bisa jadi akan mendahului kinerja pemerintah. Pada akhirnya pemerintah benar-benar kuwalahan, sebab tak mampu berkompetisi dengan kecepatan sebaran virus itu sendiri.
Alasan di balik mengapa pemerintah tidak melakukan lockdown adalah, perbedaan kondisi sosial masyarakat Indonesia dengan masyarakat di negara-negara lainnya. Presiden Jokowi saat memberikan pengarahan kepada gubernur se-Indonesia melalui video conference, Selasa (24/3/2020). Telah menyampaikan bahwa setiap negara memiliki karakter berbeda-beda, budaya berbeda-beda, kedisplinan yang berbeda-beda. Jadi Jokowi menilai menjaga jarak antarmanusia adalah kebijakan yang paling pas di Indonesia. (Liputan6.com)
Sebenarnya melakukan lockdown tidak harus dilihat dari persamaan atau perbedaan karakter masyarakat tiap-tiap negara, tapi dilihat dari keefektifan tindakan tersebut dalam mencegah penularan virus. Cina yang menggawangi untuk melakukan lockdown pertama kali di negaranya.
Sahabat Rasulullah Amru bin Al-ash yang kalau itu menjabat sebagai gubernur di Syam, bertindak tegas saat menghadapi endemik penyakit tha’un. Tidak hanya memerintahkan masyarakatnya untuk social distancing, tapi juga melakukan lockdown di wilayah Syam. Artinya bangsa Arab pernah melakukannya dan itu efektif serta berhasil menekan jumlah penularan. Negara-negara di Eropa saat ini juga banyak melakukan lockdown. Disusul Malaysia.
Jadi tidak cukup hanya social distancing saja. Sebab jika hanya mengandalkan social distancing tanpa melakukan lockdown, sama artinya dengan membiarkan adanya aktivitas masyarakat. Jelas ini akan tetap memungkinkan adanya penularan virus dan akan sulit untuk menekan jumlah penderita positif Covid-19. Yang ada malah terjadi ledakan jumlah masyarakat yang terjangkit virus ini. Pada akhirnya pemerintah kuwalahan dalam berlomba dengan virus itu sendiri. Sebab lockdown tidak dilakukan, test masal juga belum terlaksana, fasilitas nakes terbatas, SDA nakes pun terbatas. Sehingga ini bisa memicu masalah baru. Salah satunya angka kematian akibat Covid-19.
Anis Baswedan dalam wawancara beliau dengan Dedy Corbuzier, menyatakan bahwa, angka kematian Covid-19 tidak hanya disebabkan oleh virus itu sendiri, bisa jadi karena tidak tertanganinya pasien Covid-19 karena minim perawatan.
Padahal dalam kondisi genting seperti saat ini kesigapan sikap penguasa sangat diperlukan. Sayangnya penguasa negeri ini masih memperhitungkan untung dan rugi, manakala dilakukan lockdown. Sebab ekonomi di semua lini merosot tajam. Ditambah lagi ekonomi kita ditopang dengan basis ekonomi kapitalis, yang notabene hanya akan memberikan keuntungan bagi mereka yang memiliki power atau yang yang banyak.
Sedangkan dalam situasi saat ini pemerintah juga dituntut tanggap cepat dalam pemenuhan kebutuhan pokok dan stock pangan yang mencukupi selama pandemi ini berlangsung.
Islam sebagai agama yang memiliki kekayaan konsep hidup, telah nyata mengatur kehidupan manusia. Bahkan sejarah sudah membuktikan bagaimana Islam mengatasi pandemi di wilayah Syam tidak naik level menjadi pandemi yang akan mengakibatkan pandemi keseluruhan wilayah Jazirah Arab. Tapi karena kesigapan gubernur Amru bingung Ash untuk menutup akses wilayah, wabah tha’un tidak menyebar keluar Syam.
Selain itu perlu dibangun kepercayaan antara masyarakat dan penguasa. Jika penguasa menjalankan sistem islam yang akan menjamin keselamatan semua umat manusia, maka kepercayaan umat terhadap penguasa bak prajurit dan panglima. Untuk itu memang hanya Islamlah yang akan menyelamatkan umat dari segala macam cobaan ini.