Menguji Kemujaraban Janji Manis Kesetaraan Gender ditengah Wabah COVID-19
Oleh: Fahmiyah Tsaqofah Islamiy
Muslimahtimes – Hampir bertepatan dengan kampanye tahunan aktivis feminis untuk mempromosikan ide kesetaraan gender ditambah dengan adanya peringatan 25 tahun pasca dilahirkannya kesepakatan Beijing Platform for Action (BPfA) oleh 189 negara di dunia yang diantaranya ada belasan negara-negara muslim, awal bulan Maret 2020 ini pula, terjadi pandemi coronavirus COVID-19 yang berawal sejak bulan November 2019 lalu di Wuhan, China. Di tengah adanya wabah ini, ide kesetaraan gender yang dinarasikan akan memberikan kemajuan bagi para perempuan diuji. Mampukah ide ini benar-benar menjadikan perempuan mendapatkan hak-hak nya dengan tetap menjalankan kewajiban utamanya secara efektif? Apakah perempuan akan semakin mendapatkan kesejahteraan dari adanya konsep kesetaraan gender di tengah adanya wabah?
Merujuk data Real Time, Coronavirus COVID-19 Global Cases by the CSSE at Johns Hopkins University, tercatat ada 662.073 kasus hingga Minggu (29/3/2020) pagi. Dari ratusan ribu kasus tersebut, 139.426 orang dilaporkan sembuh. Sementara korban jiwa mencapai 30.780. Adapun jumlah negara yang mengonfirmasi terjangkit virus corona mencapai 200 negara. [1]
Di Indonesia, menurut Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Corona Achmad Yurianto pada 29 Maret 2020, terdapat penambahan kasus positif Covid-19 sejumlah 130. Dengan demikian, hingga Minggu ini, total terdapat 1.285 kasus Covid-19 di Indonesia. Pasien Covid-19 yang dinyatakan sembuh bertambah 5 orang, sehingga total yang sudah dinyatakan negatif Covid-19 sebanyak 64 orang. Sementara sebanyak 114 pasien meninggal dunia. Jumlah itu bertambah 12 pasien dari sehari sebelumnya atau Sabtu (28/3/2020). [2]
Tak hanya upaya preventif dan kuratif yang dilakukan demi berperang dengan virus ini, dampak sosial yang ditimbulkan dari coronavirus COVID-19 terhadap perempuan juga cukup signifikan, terutama di Asia.
Menurut data di dalam dokumen WHO bertajuk “Gender equity in the health workforce: Analysis of 104 countries”, sekitar 70 persen pekerja di sektor kesehatan dan sosial berasal dari kaum perempuan [3]. Sehingga tak ayal jika para tenaga medis wanita juga turut berperan dalam penanganan pasien virus SARS-CoV-2 ini.
Mengenai kondisi yang dialami para pekerja perempuan, menurut laporan wawancara BBC, seorang perawat mengungkapkan bahwa staf rumah sakit tidak diizinkan untuk makan, beristirahat, hingga menggunakan toilet saat waktu bekerja selama 10 jam. Lalu, ada juga cerita tentang pekerja medis yang hamil sembilan bulan mengalami keguguran namun tetap kembali bekerja. [4]
Fakta lain menyebutkan, faktor ekonomi memaksa para perempuan untuk tetap bekerja agar tetap dapat memenuhi kebutuhan walau harus bertaruh dengan resiko tertular virus. [5] Menurut Christina Maags (Dosen dari SOAS University of London), perempuan berpenghasilan rendah akan sangat terdampak oleh perlambatan tingkat konsumsi karena mereka cenderung dipekerjakan di industri perhotelan, ritel atau layanan lainnya. Di Cina, banyak perempuan migran tidak memiliki kontrak kerja, virus Corona menyebabkan mereka tidak menerima penghasilan apa pun – karena mereka dibayar jika mereka bekerja. Dengan tidak adanya jaminan sosial, mereka menghadapi dilema antara kembali bekerja dan berpotensi sakit atau perlu membayar untuk bentuk lain dari akomodasi. Atau, mereka mungkin terpaksa tinggal di rumah dan hidup dari sedikit tabungan yang mereka miliki. Kondisi ini menempatkan mereka dalam situasi yang sangat sulit.
Tidak hanya itu, dikeluarkannya kebijakan meliburkan sekolah di beberapa negara menjadikan para ibu harus berkonsentrasi penuh mendidik anak-anak mereka di rumah. Apalagi, tatkala sebagian dari kaum ibu juga menjadi wanita karir, mereka harus berperan ganda dalam memenuhi tuntutan pekerjaan dan menjalankan tugasnya sebagai pendidik anak-anak. Kondisi ini membuat ibu menanggung beban yang tidak proporsional di rumah, bahkan tidak jarang yang mengatakan merasa “stress dan tertekan”. [6]
Kondisi demikian menjadi sebuah bukti bahwa nyatanya ide kesetaraan gender yang dianggap mujarab dalam meningkatkan kualitas hidup perempuan gagal memenuhi janjinya. Perempuan hanya diperas untuk dijadikan komoditi yang menggerakkan roda ekonomi Kapitalis. Perannya yang terbagi di satu sisi untuk memenuhi tuntutan pekerjaan dan menjadi sosok ibu menjadikan perempuan-perempuan gagap dalam mendidik anak-anak mereka sehingga timbul komplain seperti stress dan tertekan.
Di aspek yang lainnya, nasib perempuan di bawah sistem Kapitalis ketika tengah terjadi wabah covid 19 tidak banyak mendapat perlindungan. Kesehatan, keselamatan, hak-hak bahkan nyawa perempuan dipertaruhkan karena mereka masih harus bekerja.
Patut dipahami bahwa sesungguhnya ide kesetaraan gender muncul dari tuntutan atas ketimpangan gender dan pengabaian hak-hak perempuan dalam konstruksi budaya dan agama oleh Barat sebagai hasil dari bobroknya peradaban Barat sendiri. Sehingga muncullah ide kesetaraan gender yang dianggap sebagai sebuah nilai universal yang harus dirangkul oleh pihak manapun terlepas dari keyakinan budaya atau keyakinan agama mereka. Padahal, konsep ini adalah gagasan yang dilahirkan oleh Barat yang berlandaskan atas doktrin sekuler Barat.
Namun kemudian, oleh para pengusung ide gender, aspek pengabaian hak-hak perempuan ini dinisbatkan kepada Islam. Sehingga hukum-hukum Islam menjadi sasaran utama dalam proyek ini. Syari’at Islam yang mengatur kehidupan perempuan dianggap mengekang. Misalnya seperti paradigma Islam memandang peran strategis perempuan adalah sebagai pendidik generasi dan manajer rumah tangga, sebuah peran yang bertentangan dengan konsep eksistensi perempuan dalam paradigma Barat. Sehingga, dapat dikatakan bahwa problem kesetaraan gender ini bersifat paradigmatis.
Barat yang membenci supremasi Khilafah Islam selama 14 abad lamanya menganggap bahwa tugas utama perempuan dalam Islam sebagai Ibu dan pengurus rumah tangga adalah upaya mengandangkan perempuan dan menumpulkan produktivitasnya. Sebab, dalam paradigma Barat perempuan dikatakan produktif apabila dapat eksis diluar rumah, menjadi wanita karir dan menghasikan banyak dollar.
Padahal, justru dengan posisi perempuan yang semakin sering diberdayakan di sektor ekonomi, terjadi penderitaan dan kesengsaraan yang dialami keluarga seperti meningkatnya angka perceraian, buruknya kualitas generasi dan berbagai problem lainnya yang semakin meniscayakan rapuhnya ketahanan keluarga. [7]
Sampai disini, dapat kita simpulkan bahwa ide kesetaraan gender tidak layak diadopsi oleh negeri-negeri muslim, sebab ide ini lahir dari logika absurd kaum Kapitalis yang ingin mengambil manfaat dari para perempuan dan ingin semakin menjauhkan perempuan dari fitrahnya.
Sebaliknya, justru syari’at Islam yang luhur dan komprehensif akan menjanjikan kemuliaan dan peningkatan kualitas hidup perempuan secara hakiki. Sebab didalamnya terdapat konsep-konsep cemerlang yang mendukung perempuan untuk tetap menjalankan kewajiban utamanya, memenuhi kebutuhannya dan menyalurkan bakatnya tanpa adanya eksploitasi yang menyengsarakan mereka.
Tentunya, hal ini akan terwujud tatkala syari’at Islam dijadikan Undang-Undang yang mengatur segala aspek kehidupan, baik dalam politik, pemerintahan, ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya dalam sebuah bingkai institusi pelaksana syari’at bernama Khilafah.
Khilafaah-lah solusi hakiki kemaslahatan dan peningkatan kualitas hidup perempuan.
Wallahu a’lam bis showwab.
=========================
[1] https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/29/092500765/update-virus-corona-di-dunia-29-maret–662.073-kasus-di-200-negara-139.426
[2] https://nasional.kompas.com/read/2020/03/29/15520361/update-bertambah-130-kini-ada-1285-kasus-covid-19-di-indonesia
[3] https://apps.who.int › handlePDF
Hasil web : Gender equity in the health workforce: Analysis of … – World Health Organization
[4] https://www.bbc.com/indonesia/amp/indonesia-51717312
[5] https://m.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200319114631-284-484875/mereka-yang-tetap-bekerja-dan-rentan-penularan-virus-corona
[6] https://republika.co.id/berita/q7dlrn409/murid-belajar-di-rumah-stres-orang-tua-dan-kendala-lainnya
[7] https://www.bbc.com/indonesia/vert-cap-51276786