Oleh: Eny Kemilia S.T
(Alumni ITB Bandung)
Muslimahtimes– Situasi perkembangan penyebaran virus Corona (Covid-19) dari hari ke hari hingga saat ini belum menunjukkan adanya perlambatan laju, bahkan semakin hari jumlah kasus positif terinfeksi covid-19 serta jumlah angka pasien meninggal dunia terus bertambah. Melansir Worldometers, per Jumat (3/4/2020) pukul 06.20 WIB, kasus positif terpapar virus corona SARS-CoV-2 mencapai 1.013.709 kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 212.015 orang dinyatakan sembuh, dan 52.975 orang meninggal dunia.
Di Indonesia, laju penyebaran juga tampaknya jauh dari kata melambat. Berdasarkan konferensi pers resmi dari Juru Bicara Pemerintah dalam Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto 2 April 2020, jumlah kasus positif telah mencapai angka 1.790 – dengan jumlah pasien meninggal sebanyak 170 jiwa.
Hampir seluruh provinsi di pulau Jawa – kecuali D.I. Yogyakarta – telah mendapatkan status merah dengan jumlah kasus positif lebih dari 100 kasus. Provinsi-provinsi lain pun mulai melaporkan kasus positif dan korban meninggal satu per satu. Bukan tidak mungkin semakin memburuknya situasi ini semakin memperlambat upaya pemulihan dunia dari Covid-19 baik dalam bidang kesehatan maupun ekonomi. Tak hanya Indonesia, pertumbuhan ekonomi dunia juga akan terus menurun akibat pandemi Covid-19.
Satu hal yang sangat diburu oleh negara-negara di dunia saat ini adalah menemukan anti virus serta vaksin untuk virus satu ini. Berbagai negara besar seperti Amerika Serikat, China, Prancis, dan Jerman saat ini tengah berlomba menjadi pelopor dalam penelitian dan pengembangan vaksin covid-19 dengan menggandeng perusahaan-perusahaan besar dalam industri farmasi. Badan kesehatan dunia (WHO) sebelumnya juga sempat mengatakan paling tidak ada 20 vaksin Covid-19 yang sedang dikembangkan hingga Maret lalu.
Perburuan anti virus dan vaksin covid-19 ini ibarat berburu mutiara dalam lumpur karena anti virus dan vaksin ini tidak saja akan menjadi antiklimaks gelombang pandemi covid-19, namun juga akan menjadi lahan basah untuk memperoleh keuntungan yang besar dari komersialisasi industri farmasi vaaksin tersebut. Dalam persaingan global memperebutkan hak patent vaksin ini, mengutip sumber yang dekat dengan pemerintah Jerman, surat kabar Die Welt sebelumnya melaporkan jika Presiden AS Donald Trump mengajukan tawaran sebesar US $ 1 miliar atau sekitar Rp. 20 triliun kepada perusahaan bioteknologi pengembang vaksin asal Jerman CureVac untuk mematenkan penelitian vaksin virus corona hanya untuk Amerika Serikat. Menyikapi hal itu, investor CureVac menegaskan pihaknya tidak akan menjual vaksin ke negara mana pun. “Jika kita berhasil mengembangkan vaksin, maka itu akan membantu dan melindungi orang di seluruh dunia,” ujar Dietmar Hoop, kepala investor Hopp Biotech Holding, pemilik CureVac. Senada dengan Hopp, Menteri Luar Negeri Jerman, Heiko Mass mengatakan, “Kami tidak dapat membiarkan situasi dimana orang lain ingin secara eksklusif memperoleh hasil penelitian mereka (para peneliti Jerman)”.
Negara-negara besar seperti Tiongkok dan AS saat ini tengah bersaing memperebutkan pengaruhnya atas negara-negara lain. Negara yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping tersebut berusaha melebarkan sayap pengaruhnya ke berbagai negara dengan tampil sebagai negara pemimpin dalam penanganan pandemi Covid-19. Hal ini dilakukan dengan mengirimkan ahli kesehatan, alat kesehatan, dan alat pelindung diri (APD) ke berbagai negara Eropa juga Inonesia.
Demikian juga terjadi persaingan negara-negara adidaya untuk menguasai hak paten vaksin covid-19. Hal ini terlihat dari ambisi Amerika Serikat untuk membeli lisensi vaksin covid-19 dari perusahaan biofarmasi CureVac dari Jerman. Ini menggambarkan bahwa pandemi ini dimanfaatkan oleh negara adidaya untuk menjadi penguasa yang memonopoli produksi dan perdagangan vaksin virus tersebut ke negara-negara terdampak Corona. Hal seperti ini bukanlah kali pertama terjadi. Wabah-wabah sebelumnya seperti wabah flu burung dan SARS juga demikian. Virus flu burung dari Indonesia harus diserahkan ke WHO yang kemudian anti virus dan vaksinnya dibuat oleh Amerika. Hak paten anti virus vaksinnya justru dimiliki oleh Amerika dan mereka menjualnya ke negara-negara lain termasuk Indonesia yang menjadi pemilik strain virusnya. Ironis sekali.
Dan saat ini, miris rasanya ketika seluruh belahan dunia tengah sibuk mengatasi dan menuntaskan pandemi Corona, sementara ada pihak yang berambisi memanfaatkannya untuk meraih keuntungan materi yang sangat besar. Mengambil kesempatan dalam kesempitan, mencari keuntungan dalam bencana kemanusiaan. Namun inilah watak ideologi kapitalis, ideologi yang dianut oleh sebagian besar negara di dunia bahkan Indonesia.
Ideologi ini berlandaskan pada pencapaian kesejahteraan yang diukur dari materi. Maka menjadi sesuatu yang wajar baik secara individual maupun negara yang menganut paham ini jika hanya mereka berorientasi untuk mencari keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Bahkan jika keinginan tersebut harus melanggar norma, hukum dan nilai kemanusiaan, maka akan tetap dilakukan. Inilah jahatnya kapitalisme dan banyak diantara kita yang tak paham bahkan terikut dengan pola pikir tersebut.
Solusi Islam dalam Mengatasi Wabah Penyakit.
Wabah penyakit pun telah ada di masa Rasulullah. Sejarah mencatat pernah kaum muslimin dilanda wabah penyakit kusta yang tak hanya menular namun juga menyebabkan kematian. Proses penyebarannya pun sangat cepat kala itu. Rasulullah pernah mengajarkan cara menghadapi wabah penyakit yang sekarang kita kenal dengan istilah karantina. Dalam hadis yang diriwayatkan Abdurrahman bin Auf. “Apabila kamu mendengar wabah berjangkit di suatu negeri, maka janganlah kamu datangi negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, janganlah kamu keluar dari negeri itu karena hendak melarikan diri darinya” (HR. Muslim).
Namun untuk mengatasi wabah tak hanya cukup dengan karantina saja, penemuan anti virus serta vaksinnya juga menjadi langkah selanjutnya. Dari sisi inilah terdapat perbedaan yang sangat jauh antara ideologi kapitalis dan ideologi Islam.
Rasulullah bersabda “ setiap penyakit pasti ada obatnya”. Hal inilah yang menjadi pemicu bagi para ilmuan dan sarjana di masa kekhilafahan untuk berlomba-lomba meracik dan menciptakan berbagai obat-obatan. Keinginan agar ilmu mereka dapat berguna bagi umat manusia menjadi kunci kegemilangan peradaban Islam dalam bidang kedokteran. Dorongan ketakwaan dan keimanan membuat mereka bergerak dan berinovasi untuk menemukan obat demi kemaslahatan umat, bukan karena dorongan materi.
Pencapaian umat muslim di bidang kedokteran dan kesehatan di masa kekhilafahan Islam tak lepas dari peran negara yang memfasilitasi penelitian para ilmuan. Selain itu negara pun mendukung penuh pembangunan di bidang farmasi. Rumah sakit kala itu memberikan perawatan kesehatan secara cuma-cuma bagi rakyatnya. Juga dirikan laboratorium untuk meracik dan memproduksi obat-obatan dalam skala besar. Saat itu bidang farmasi Islam lebih unggul dibanding negara-negara barat. Ilmu farmasi di Eropa baru berkembang di abad 12 M atau empat abad setelah Islam menguasainya dan Islam berhasil mendominasi bidang farmasi hingga abad ke 17 M. Menurut Howard Turner dalam Science in Medievel Islam, “ kaum muslimin telah menyumbang banyak hal dalam bidang farmasi dan pengaruhnya sangat luar biasa besar bagi dunia barat”.
Sinergi antara para ilmuwan, dokter, sarjana yang didukung penuh oleh negara saat itu tak lain untuk memberikan perlindungan kesehatan kepada seluruh umat manusia di dunia tak hanya muslim saja. Islam merupakan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin) bukanlah sebuah semboyan namun ini benar-benar terealisasi di berbagai bidang utamanya dalam bidang kedokteran dan kesehatan. Demikianlah, kehidupan di dalam sistem Islam akan membawa manusia kepada kesejahteraan dan keadilan yang haqiqi.
Wallaahu a’lam.