Ketika Corona Tiba: Pemimpin Bijak Terapkan Kebijakan Tepat
Oleh: Helmiyatul Hidayati(Profesional Blogger dan Member Revowriter Jember)
Muslimahtimes – Ali bin Abi Thalib menanggalkan semua hal pantas pakai yang dimilikinya ketika ia menjabat sebagai Amirul Mukminin. Ia menggantinya dengan segala pernik yang dimiliki oleh kaum muslimin termiskin di masa pemerintahannya.
Ketika sahabatnya -seorang niagawan- meniru sikapnya, Ali berwajah masam dan menasihati, “Bukan begitu ya akhii, adalah kewajiban bagi mereka yang memegang amanah ummat untuk melaksanakannya. Kewajiban bagi yang memegang amanah umat untuk memerhatikan dan merasakan apa yang dialami oleh umat yg berada di dalam tanggung jawabnya. Maka aku memakai pakaian sebagaimana yang dipakai orang-orang miskin di kalangan kaum Muslimin. Aku ke pasar, berbelanja dan membawanya sendiri dengan tanganku. Jika tidak, jika pengemban amanah bermewah-mewah, itu akan menyakitkan umat. Sedangkan engkau memperoleh kekayaanmu dengan berniaga. Jika engkau telah menunaikan haknya (zakat), maka harta itu adalah karunia Allah bagimu. Pergunakanlah untuk kebaikan.”
Sang sahabat masih tertegun. “Pulanglah!” Kata Ali. “Kenakanlah pakaian sebagaimana biasanya dan sebagaimana selayaknya engkau berpakaian. Sesungguhnya Allah menyukai jika tanda-tanda kenikmatan-Nya dikenakan dan disyukuri oleh hamba-Nya.”
Begitulah potret pemimpin Islam, kezuhudan totalitas. Ia tinggalkan dunia, ketika dunia menghampirinya. Begitulah para sahabat Rasulullah memberi teladan. Sosok pemimpin yang mau merasakan penderitaan rakyat seperti Ali bin Abi Thalib itu telah nyaris punah pada zaman ini. Kapitalisme hanya mencetak pemimpin-pemimpin yang bertindak sebagai dealer, memperhitungkan kebijakan negaranya berdasarkan asas untung dan rugi.
Pandemi corona yang melanda sebagian besar negara-negara di dunia seakan menjadi ajang uji coba, tipe pemimpin seperti apakah yang dimiliki oleh umat masa kini?
Sembari menunggu vaksin virus corona ditemukan, sejumlah negara menyikapi penyebaran virus ini dengan berbagai kebijakan seperti lockdown hingga rapid test masal. Sejumlah negara seperti Filipina, Mongolia, Malaysia, Korea Utara, Libanon dan beberapa negara Eropa memberlakukan lockdown. Meskipun tidak sedikit dari negara-negara tersebut yang pemberlakuan kebijakan lockdown mengalami keterlambatan, yakni setelah tingkat korban meninggal naik drastis.
Di Indonesia sendiri per tanggal 09 April 2020 jumlah terkonfirmasi positif covid-19 adalah sebanyak 3.293 orang, dari total tersebut 2.761 sedang dalam perawatan; 252 di antaranya sembuh; tapi 280 orang meninggal karena terpapar covid-19 (LINE SIAGA).
Tingginya angka tersebut, tidak bisa dipungkiri, salah satunya disebabkan oleh faktor terlambatnya penanganan oleh pemerintah. Meskipun wacana lockdown dan rapid test massal selalu disuarakan oleh rakyat sejak awal munculnya pandemi ini, pemerintah tidak tegas menetapkan kebijakan. Rakyat seakan dijadikan ajang trial dan error, buktinya dengan penetapan status kondisi negara yang seringkali berganti, dari darurat sipil kemudian PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) kemudian jaring pengaman sosial. Padahal jumlah korban karena virus kecil tak kasat mata ini selalu berpacu dengan waktu.
Dari sisi fasilitas pelayanan kesehatan pun Indonesia tidak siap menghadapi lonjakan pasien. Jumlah ranjang rumah sakit di Indonesia hanya ada 1,21 untuk per 1.000 penduduk. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan standar WHO yang menetapkan 5 ranjang per 1.000 penduduk. Bandingkan dengan negara lain seperti Jepang yang memiliki 13 ranjang per 1.000 penduduknya; Korea Selatan yang memiliki 12 ranjang per 1.000 penduduknya; Rusia dan Jerman yang memiliki 8 ranjang per 1.000 penduduk; Austria, Hungaria, Republik Ceko, Polandia dan Lituania dengan 7 ranjang per 1.000 penduduknya; dan Prancis 6 ranjang per 1.000 penduduknya (tempo.co).
Keadaan ini diperparah dengan tidak dilengkapinya berbagai “alat perang” yang dibutuhkan oleh tenaga medis yang berhadapan langsung dengan virus tak kasat mata ini. Tidak tersedianya APD (alat pelindung diri) bagi banyak tenaga kesehatan di seluruh Indonesia telah ramai dibicarakan di dunia maya. Tidak sedikit dari mereka membuat APD sendiri dari bahan seadanya misal dari jas hujan, kertas mika dll. Aktivis dari berbagai kalangan beserta rakyat juga ikut turun tangan, membuat APD hingga mengumpulkan donasi. Fakta ini menunjukkan bahwa peran negara sangat minus dalam menangani wabah.
Di tengah peliknya kondisi rakyat, salah seorang pejabat pemerintah, Luhut Binsar Panjaitan, selaku Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi memberikan pernyataan bahwa virus corona tidak tahan dengan cuaca panas, dengan kata lain virus ini akan reda dengan sendirinya bila Indonesia telah memasuki musim kemarau/panas. Pernyataan ini selain tidak diamini oleh banyak pakar, tentu mendapat kecaman dari publik.
Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah lepas tangan, rakyat disuruh menunggu –musim panas datang- dengan usaha sebisanya agar tidak tertular dan menularkan, dengan social distancing dan meningkatkan daya imunitas tubuh, yang semuanya –sekali lagi- dengan usaha sendiri tanpa ada supplai dari pemerintah. Ini juga mengonfirmasi bahwa pemerintah cenderung dengan kebijakan Herd Immunity.
Bicara soal Herd Immunity, maka patutlah kita belajar pada sejarah. Dunia pernah mendapatkan herd immunity ketika flu spanyol menyerang, dan hasilnya sepertiga orang di dunia mati akibat wabah ini.
Herd immunity atau kekebalan kelompok adalah kondisi ketika sebagian besar orang dalam suatu kelompok telah memiliki kekebalan terhadap penyakit infeksi tertentu. Semakin banyak orang yang kebal terhadap suatu penyakit, semakin sulit bagi penyakit tersebut untuk menyebar karena tidak banyak orang yang dapat terinfeksi.
Namun, Herd Immunity tidak bisa diterapkan di Indonesia, karena : (1) Belum ditemukan vaksin untuk virus corona; (2) Butuh waktu sangat lama agar terbentuk Herd Immunity untuk sebuah negara dengan penduduk hampir 300 juta jiwa; (3) Jumlah korban jiwa karena covid-19 akan sangat tinggi bahkan sebelum Herd Immunity terbentuk; (4) Jumlah orang rentan terinfeksi di Indonesia cukup besar, seperti lansia atau orang dengan penyakit penyerta (alodokter.com).
Kesimpulannya, sungguh tega suatu pemimpin bila menerapkan Herd Immunity di tengah wabah. Rakyat seakan tak ada harganya, hanya berfungsi di saat pendulangan suara, untuk sebuah jabatan yang sementara. Namun kemudian buta dengan penderitaan mereka kala serangan wabah datang.
Andai Ali Bin Abi Thalib masih hidup, ia mungkin tak akan bisa tidur siang dan malam memikirkan nasib rakyat yang mungkin tidak bisa ia penuhi kebutuhan pokoknya ketika finasialnya terdampak wabah corona. Hatinya tak akan tenang bila satu per satu tenaga kesehatan gugur dalam pertempuran melawan wabah corona. Pemimpin yang seperti ini pastinya akan menerapkan kebijakan-kebijakan negara yang pro-rakyat yakni lockdown total dengan memenuhi kebutuhan pokok rakyat. Inilah pemimpin yang lahir dari rahim peradaban Islam, bahkan membuat rakyatnya sakit hati saja akan merasa sangat tidak patut. Kita merindukan pemimpin seperti itu!