Oleh : Wulandari Rahayu, S.Pd
(Revowriter Tanah Bumbu, Kalsel)
Muslimahtimes– Merebaknya wabah Covid-19 menyebabkan beberapa negara mengalami kerugian luar biasa terutama dalam hal ekonomi. Tercatat kasus infeksi virus Corona Baru COVID-19 di seluruh dunia kini telah mencapai 422.989. 108.578 pasien dinyatakan sembuh berdasarkan peta Coronavirus COVID-19 Global Cases by Johns Hopkins CSSE (www.liputan6.com 25/03/2020).
Mengutip dari gisanddata.maps.arcgis.com, jumlah kematian karena COVID-19 secara global tercatat sebanyak 18.916 jiwa. Tercatat data ini akan terus bertambah setiap hari.
Tercatat pula hampir 170 negara terdampak infeksivirus covid 19 ini tak terkecuali Indonesia.
Berdasarkan data yang dihimpun pemerintah pusat hingga Minggu (5/4/2020) pukul 12.00 WIB, total ada 2.273 pasien Covid-19 di Tanah Air. Dengan demikian, terdapat penambahan 181 pasien yang dinyatakan positif virus corona dalam 24 jam terakhir.
Pernyataan ini disampaikan juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona, Achmad Yurianto dalam konferensi pers di Graha BNPB pada Minggu sore. (nasional.kompas.com, 06/04/2020)
Banyak kebijakan yang diambil oleh pemerintah termasuk yang menjadi pro kontra adalah pembebasan NAPI dengan dalih mengurangi beban APBN dan mencegah penyebaran virus covid -19 ini. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) telah mengeluarkan dan membebaskan 30.432 narapidana dan Anak melalui program asimilasi dan integrasi berkenaan dengan virus corona. Data tersebut dirilis per Sabtu (4/4) pukul 14.00 WIB. Kementerian yang dipimpin oleh Yasonna H. Laoly itu tengah menggalakkan program asimilasi dan integrasi guna mengantisipasi penularan virus corona (Covid-19) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) yang melebihi kapasitas. (www.cnnindonesia.com, 05/04/2020)
Menkumham Yasonna Laoly akan merevisi PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan. Jika revisi ini dilakukan maka narapidana kasus korupsi yang berusia di atas 60 tahun bisa dibebaskan. (www.merdeka.com, 03/04/2030)
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenurrohman atau akrab disapa Zen menilai wacana yang dilontarkan Yasonna tidak tepat. Zen memaparkan beberapa alasannya. Pertama, dibandingkan kasus kriminal lainnya, narapidana kasus korupsi jumlahnya tidak banyak. “Rencana Kemenkumham mengeluarkan napi koruptor, saya pada prinsipnya tidak sepakat. Jumlah napi tindak pidana korupsi itu sangat sedikit dibandingkan jumlah warga binaan lembaga pemasyarakatan seluruh Indonesia. Sehingga jika dikeluarkan, itu tidak menjamin menjadi pengurang yang signifikan,” ujar Zen, Kamis (2/4). (www.merdeka.com, 02/04/2030).
Di tengah wabah covid 19 yang terus meningkat angkanya tentu masyarakat sangat menantikan kebijakan yang tepat. Pembebasan napi koruptor tentu saja banyak mengalami kontra dari berbagai kalangan. Melihat banyaknya keistimewaan yang di berikan kepada napi koruptor sebelumnya menunjukkan bahwa pembebasan napi di tengah wabah adalah mengambil moment untuk membebaskan napi koruptor. Sebagaimana yang disebutkan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana yang memaparkan nama setya novanto bisa bebas jika revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan itu di sah kan oleh Menkumham.
Padahal kita tahu sebelumnya bahwa benyak fasilitas yang didapatkan oleh Setya Novanto saat di penjara. Pembebasan napi koruptor di tengah wabah ini semakin menunjukkan bahwa ketidakseriusan pemerintah dalam mengatasi perkara korupsi. KPK sebagai lembaga yang ditugasi untuk memberantas korupsi seakan tidak ada gunanya. Bagaimana tidak? Lembaga ini sudah mengeluarkan banyak biaya dan waktu untuk menangkap dan membuktikan para napi koruptor tapi dengan sangat mudah bebas dengan adanya revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 tersebut.
Pembebasan napi koruptor ini di nilai bukan menyelesaikan masalah namun malah menambah masalah baru. Para koruptor seperti tidak takut dengan hukum di negeri ini dan korupsi akan semakin tumbuh subur. Karena hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Dalam sistem demokrasi dimana hukum dibuat oleh rakyat dengan diwakilkan oleh DPR memang sangat mudah diubah sesuai kepentingan para pemilik kepentingan. Hukum sangat mudah digonta-ganti, multitafsir, dan tidak adil. Itulah jika manusia di serahi untuk membuat hukum.
Korupsi dalam syariah Islam disebut dengan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa`in, termasuk di dalamnya adalah penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang. Tindakan khaa`in ini tidak termasuk definisi mencuri (sariqah) dalam syariah Islam, sebab definisi mencuri (sariqah) adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam (akhdzul maal ‘ala wajhil ikhtifaa` wal istitar). Sedang khianat ini bukan tindakan seseorang mengambil harta orang lain, tapi tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang itu. (Lihat Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31).
Karena itu, sanksi (uqubat) untuk khaa`in (pelaku khianat) bukanlah hukum potong tangan bagi pencuri (qath’ul yad) sebagaimana diamanatkan dalam QS Al Ma`idah : 38, melainkan sanksi ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.
Lalu kepada koruptor diterapkan sanksi apa? Sanskinya disebut ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sansinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekedar nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).