Corona dan Faktor Kebangkitan Islam
Oleh: Tari Ummu Hamzah
Muslimahtimes – Wabah covid-19 yang mengguncang dunia, menjadi momok sendiri bagi seluruh penduduk dunia. Apalagi virus ini mampu menjadikan negara-negara Barat kalang kabut. Selain itu, virus ini seolah menyerang masyarakat manula ketimbang masyarakat yang produktif. Nyatanya masyarakat Eropa lebih banyak didominasi oleh kaum manula.
Bagaimana usia kaum Muslimin di negara-negara Barat?
Ternyata kaum muslimin disana banyak yang masih dalam usia produktif. Bisa dibilang kebangkitan Islam dan runtuhnya peradaban Barat, memang tidak terelakkan lagi. Disamping itu rupanya ada sudut pandang menarik perhatian dunia. Yaitu dari sisi demografi agama apa yang paling banyak diserang?
Mari kita mulai dengan pengertian apa itu demografi. Demografi itu sebenarnya ilmu kependudukan yang meliputi jumlah, distribusi, dan perubahannya seperti kematian dan kelahiran. Hal ini disndarkan dengan, usia, agama, atau entitas tertentu.
Mari kita bahas sudut pandang demografi penduduk dunia, tentang usia dan agama. Sebenarnya apa hubungannya covid-19 dengan kependudukan? Nah ternyata Covid-19 kalau dilihat dari demografi banyak menyerang masyarakat diatas usia 43 tahun, penderita diabetes, stroke, jantung paru-paru. Itu dari sisi usia dan entitas riwayat kesehatan. Bagaimana jika kita pandang dari sisi agama?
Baik di negara Barat atau negara Asia, komunitas Muslim itu pasti ada. Nah pertanyaannya, bagaiamana kondisi kaum Muslimin di belahan dunia saat wabah ini berlangsung?
Secara mengejutkan kondisi kaum Muslimin yang mereka taat menjalankan syariat, selamat dari wabah ini. Padahal mereka yang ada di Eropa dikepung wabah secara besar-besaran.
Kita ambil contoh negeri Belanda. Belanda itu negara dengan jumlah penduduk 17 juta jiwa. Sedangkan kaus Corona yang terjadi sebesar 26rb jiwa. Kasus kematiannya 2600jiwa. Sedangkan komunitas kaum muslimin yang taat syariat, itu relatif aman. Yaman negeri yang porak poranda krn perang sodara hanya terdapat 1 kasus covid-19 dan nol kasus kematian. (YouTube/LSiPP)
Bisa dilihat bedanya. Eropa sebagai benua yang mayoritas penduduknya non-Muslim, maju dengan kemajuan teknologinya, kalang kabut menghadapi wabah ini. Yaman negeri dengan mayoritas kaum Muslimin, porak poranda, tapi bisa relatif selamat dari wabah. (YouTube/LSiPP)
Disamping itu, kita tahu kalau masyarakat non-muslim itu yang mereka makan dan minum adalah hal-hal yang diharamkan, tidak paham bersuci, serta gonta-ganti “pasangan”. Di Singapura saja beberapa hari yang lalu masyarakatnya rela mengantri makanan halal. Di south Dakota, (negara bagian US) pabrik pengolahan babi ditutup. Karena masyarakat non Muslim paham bahwa mereka akan aman jika makan makanan halal.
Problem di Indonesia, selama ini pemerintah kita melihat Covid 19, hanya dari sudut pandang usia dan entitas riwayat kesehatan masyarakat. Yang sebenarnya kesehatan masyarakat di era kapitalis saat ini patut dipertanyakan.
Pertanyaannya, mengapa pemerintah tidak melihat Covid 19 dengan sudut pandang demografi agama? Apakah tidak penting? Takut dibilang diskriminatif?
Jawabnya, karena pemerintah kita yang sekular maka urusan agama harus dipisahkan total dari kehidupan. Jadi jika ada wabah seperti saat ini, maka bagi pemerintah tidak penting membahas soal agama apa yang paling banyak terdampak? Atau akidah yg seperti apa yang menjadi sasaran Covid ini. Padahal ini penting untuk dikaji. Sebab dengan mengetahui akidah apa yang paling banyak terdampak, maka pemerintah mampu mengkaji tentang kenapa kaum muslimin di seluruh dunia ada yang sama sekali tidak terdampak? Perilaku kaum muslimin yang seperti apa? Bagaimana keterikatannya dengan aturan Islam?
Pengkajian yang mendalam tentang poin-poin tersebut mampu ditiru pemerintah untuk diterapkan kepada masyarakat, agar terbebas dari wabah. Sehingga tidak harus menunggu jatuhnya banyak korban.
Fakta yang ada, kaum Muslimin di Eropa rata-rata mereka selamat dari wabah ini. Padahal kita tahu mereka itu dikepung oleh ganasnya covid19, yang notabene telah bermutasi menjadi virus yang mematikan. Kita ambil contoh kaum muslimin di Inggris. Mereka yang muslim relatif selamat dari wabah ini, dan yang mengejutkan rata-rata kaum muslimin di Inggris sebagian besar ada London, dengan rentang usia yang sangat produktif. Mereka yang muslim tentu akan menghindari makanan yang haram, selalu bersuci, makan dan minum hanya dengan yang halal dan toyib.
Syariat Allah inilah yang jika dilaksanakan akan menjadi pelindung kaum Muslimin dari wabah ini. Islam sendiri sebagai agama yg paripurna, tentu memiliki langkah-langkah defensif dalam menghadapi wabah. Seperti lockdown. Saat ada dalam Lockdown itu sendiri kaum muslimin tentu tetap dituntut untuk produktif, seperti tetap berdakwah via online, mengkaji Islam, mengembangkan lifeskill, dan aktivitas-aktivitas lainnya yang masih bisa dilakukan didalam rumah. Langkah ini membuktikan bahwa aqidah yang produktif adalah aqidah yang senantiasa dilaksanakan, dikaji, dan didakwahkan. Selain itu sikap akan ketaqwaan kepada Allah lah yang mampu memicu ketahanan tubuh atau imunitas. Untuk itu sudah saatnya seluruh Ummat manusia kembali kepada aturan Rabb yang menciptakan mereka. Sebab masa-masa ini hanya ketaqwaan kepada Allah lah yang mampu menyelamatkan kita dari wabah ini.