Oleh: Febri Ima Safitri
(Tenaga Teknis Kefarmasian)
Muslimahtimes– Pandemi global yang disebabkan oleh virus covid-19 mulai teridentifikasi masuk ke Indonesia sejak awal Maret 2020 lalu. Proses penyebarannyapun terbilang cepat dan membuat panik rakyat. Apalagi sebelumnya, media menyuguhkan berita tentang betapa angkuhnya para pemimpin di awal tahun lalu, tatkala virus ini diketahui mulai menghantui dunia karena proses penyebarannya yang cepat.
Beberapa pemimpin negeri ini seakan tak khawatir akan adanya pandemi yang mulai menyebar luas di berbagai negara. Bahkan mereka dengan entengnya sesumbar bahwa rakyat Indonesia kebal terhadap berbagai virus, termasuk diantaranya kebal terhadap virus covid-19. Alasannya iklim di Indonesia yang hanya memiliki 2 musim yang konon katanya menyebakan virus covid-19 takakan bisa bertahan hidup.
Berbagai kritikan dan peringatan dari tokoh agama, tokoh masyarakat bahkan rakyatpun tak digubris. Warga asing masih bebas keluar masuk, bahkan demi menggenjot penghasilan di bidang pariwisata, presiden Jokowi menganggarkan 72 miliar untuk membayar influencer dalam rangka mempromosikan pariwisata murah di tengah pandemi.
Langkah yang diambil pemerintah ini semakin menguatkan dugaan bahwa para pemimpin negeri ini dalam menentukan kebijakan bertolak ukur hanya pada materi semata. Belum lagi langkah yang diambil kemudian demi menanggulangi pandemi ini pemerintah bukan hanya terkesan lamban, tetapi juga setengah – setengah dan plin-plan dalam mengambil kebijakan. Hal ini bisa terlihat jelas dari berbagai wacana solusi dari lockdown total, karantina wilayah hingga PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar. Hingga akhirnya PSBB-lah yang dipilih sebagai jalan untuk menanggulangi penyebaran covid-19 ini.
Dikutip dari Kompas.com, Presiden Jokowi menyampaikan alasan mengapa lockdown tidak diterapkan di Indonesia, salah satunya adalah alasan ekonomi. Jokowi menilai ketika lockdown diterapkan maka seluruh kegiatan di luar rumah harus berhenti total yang artinya tidak akan ada aktivitas ekonomi. Sementara pemerintah tidak menghendaki pemberhentian aktivitas ekonomi ini. Akhirnya kebijakan PSBB lah yang dipilih.
Akibat dari keputusan pemerintah terkait PSBB dan alasan di baliknya, munculnya berbagai opini serta kritikan tajam terhadap kebijakan pemerintah. Salah satunya adalah, pemerintah berusaha untuk berlepas tangan dalam menanggung seluruh kebutuhan hidup rakyat apabila lockdown diterapkan. Opini ini terus berkembang hingga pada tahap dipertanyakannya kemampuan presiden maupun pemimpin daerah dalam mengatasi persoalan pandemi maupun dalam pemenuhan kebutuhan rakyat ditengah pandemi ini.
Lantas, apakah ketika PSBB diterapkan roda perekonomian tetap bisa berjalan normal? Pada kenyataannya tidak. Terjadinya gelombang PHK secara besar – besaran akibat dari diterapkannya PSBB nyatanya berdampak besar. Kepala keluarga banyak yang dirumahkan. Sehingga pemasukan tidak ada, sementara kebutuhan hidup tetap harus dipenuhi. Bukan hanya mereka yang berstatus sebagai karyawan, mereka yang berstatus sebagai pedagang, ojol, hingga pekerja serabutanpun semakin kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Belum lagi cicilan yang harus dibayar. Entah itu cicilan kendaraan, cicilan rumah, kontrakan hingga biaya sekolah. Solusi dari pemerintahpun seakan hanya sebatas lelucon, bagaimana tidak? Jika penangguhan cicilan kendaraan dan rumah hanya berlaku bagi mereka yang terkonfirmasi positif covid-19. Padahal yang mengalami dampak dari pandemi ini adalah masyarakat luas. Mirisnya banyak warga yang memilih bunuh diri karena tidak kuat mengadapi tekanan hidup yang harus mereka tanggung sendiri, belum lagi mereka yang meninggal karena kelaparan, tinggal di masjid karena tak bisa membayar kontrakan hingga sang kepala keluarga meninggal dunia, dan adapula yang babak belur dihajar karena nekat mencuri gas karena anak istri kelaparan. Semua kejadian ini seolah menggambarkan bahwa tak ada peran negara yang merangkul dan melindungi mereka.
Demi “menanggulangi” dampak dari penerapan PSBB ini pemerintah pada akhirnya menyalurkan beberapa bantuan. Diantaranya berupa bantuan sosial dan juga BLT. Begitu pula yang terjadi di beberapa daerah. Akan tetapi alangkah lucunya para pememimpin negeri ini, bantuan yang diambil dari dana APBN justru diklaim atas nama pribadi. Seperti bantuan sembako yang dinamakan dengan”bantuan presiden” atau bantuan yang tertempel foto Bupati Klaten Srimulyani, dan lain sebagainya. Mirisnya batuan sosial ini harus dihentikan hanya karena tas yang berlabel “bantuan presiden” belum selesai diproduksi, padahal rakyat yang kelaparan jelas tak seharusnya dibiarkan menunggu.Mengapa hal seperti ini bisa terjadi?
Jika kita amati sejak munculnya pandemi dan sikap menyepelekan para pemimpin ditambah tidak sigapnya pemerintah dalam menangani pandemi ini membuat citra dan kepercayaan masyarakat kepada mereka semakin menurun. Selain itu, pernyatan – pernyataan ngawur presiden tentang kompensasi penundaan pembayaran cicilan kendaraan maupun rumah yang berakhir mengecewakan nyatanya juga memiliki dampak tersendiri terhadap citranya. Hal ini jelas akan semakin berbahaya jika pemerintah semakin terlihat abai, bukan tidak mungkin pada akhirnya rakyat akan mencoba bergerak untuk melengserkan pemerintahan yang berkuasa saat ini. Untuk itu, demi memperbaiki citra dan mendapatkan kesan baik di tengah masyarakat dan mematahkan opini bahwa pemerintah berlepas tangan terhadap kebutuhan masyarakat, maka dibuatlah kebijakan tentang BLT – Bansos , hingga program prakerja. Tapi lagi-lagi kebijakan yang ditempuh pun bukannya mendapatkan respon positif tapi justru sebaliknya. Kritik terhadap BLT yang berbelit dan tak tepat sasaran, bansos yang penuh pencitraan hingga program prakerja yang sarat akan kolusi justru semakin membuka mata rakyat bahwa para pemimpin negeri ini pada dasarnya memang tak pernah benar- benar serius dalam memberikan pelayanan terhadap rakyatnya. Inilah wajah dari sistem kapitalis yang sesungguhnya.
Seberapa kerasnyapun para penguasa negeri ini berusaha mencari celah “untung” untuk menyelamatkan reputasi mereka, nyatanya fakta-fakta yang tampak tak mampu menutupi betapa rusak dan bobroknya sistem yang mencengkaram negeri ini hingga menghasilkan para pemimpin busuk yang bekerja hanya demi mengejar citra baik, bukannya berdasarkan pada kewajiban dan tanggung jawab penuh untuk meriayah seluruh masyarakat tanpa terkecuali.
Dan memang beginilah cara kerja sistem kapitalis yang diadopsi oleh negeri ini. pertimbangan untung dan rugi adalah yang utama. Tak peduli berapapun nyawa yang harus dikorbankan. Mereka akan tetap berdalih bahwa setiap kebijakan adalah demi kepentingan bersama.Tapi betapa sangat menggelikan ketika langkah langkah yang diambil oleh presiden ini seolah menggambarkan bahwa jokowi setara dengan khalifah umar. Padahal sangat jelas perbedaan antara keduanya.
Khalifah umar dalam memimpin negara menerapkan sistem Islam kaffah dalam Daulah kkhilafah . Setiap kebijakan yang diambil berdasarkan pada Alquran dan sunnah Rasulullah Saw. Pemimpin yang takut kepada Allah, yang dengan lantang dan tegas mengajak seluruh rakyatnya untuk bermuhasabah bersama ketika ujian wabah melanda. Khalifah umar diam –diam berjalan kaki berkeliling kota pada malam hari tanpa sorot “kamera”, memastikan apakah ada warganya yang belum terpenuhi haknya. hingga dengan tangannya sendiri memikul gandum kepada salah satu warganya yang kelaparan dan itu dilakukan tanpa mengungkapkan identitasnya. Hal ini semata –mata beliau lakukan karena rasa takutnya kepada Allah. Bahwa kedudukan dan kekuasaan yang diamanahkan kepadanya adalah beban berat yang menuntut pertanggungjawaban besar kelak di ahadapan Allah.
Pemimpin sekaliber Umar bin khattab tidak mungkin ada tanpa adanya sistem yang membentuk pola pikir dan pola sikapnya. Tak mungkin ada tanpa sistem yang membentuk kepribadian yang tunduk dan takut kepada Allah Tuhan pencipta alam semesta. Pemimpin selevel Umar bin khatab hanya akan bisa di jumpai jika sistem islam yang diterapkan. Karena hanya sistem Islam yang tak pernah mengenal istilah “kekuasaan untuk keuntungan pribadi”. Segala kebijakan yang diambil dari Alquran dan sunnah sudah pasti akan melahirkan kebaikan dan keadilan yang merata. karena sudah jelas Islam adalah rahmatan lil ‘alamin.