Oleh. Helmiyatul Hidayati
(Profesional Blogger dan Member Revowriter Jember)
#MuslimahTimes — Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah 271, ”Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu.” Ayat ini mahsyur di kalangan kaum muslimin, sedekah merupakan amalan sunnah yang termasuk mudah untuk diamalkan. Karena sedekah tidak hanya berupa harta, namun bisa juga dalam bentuk bantuan dan senyuman.
Dampak krisis dan pandemi kali ini menumbuhkan banyak kalangan yang memerlukan bantuan pangan untuk bertahan hidup, berbanding lurus dengan meningkatnya PHK (Pemberhentian Hubungan Kerja) dan rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan semakin bertambah.
Donatur dari berbagai kalangan bermunculan, meskipun tidak mampu merambah semua orang yang layak menerima manfaat. Tak terkecuali pemerintah juga turun tangan dengan programnya yang berupa bantuan sosial (bansos) atau BLL (bantuan langsung lempar), dengan syarat dan ketentuan berlaku.
Hanya saja ada salah kaprah mengenai “bantuan” di sini. Bila ia berasal dari rakyat, kepada rakyat lain, maka ia bisa disebut sebagai sedekah. Boleh saja si pemberi bantuan menyiarkan (tanpa tujuan riya’), lebih utama disembunyikan. Sehingga tidak heran bila banyak para donatur akan membuat atau mencetak “brand” yang membawa dirinya untuk diketahui sebagai pemberi bantuan. Hal ini biasanya direalisasikan dengan mencetak tas yang memiliki logo perusahaan mereka atau diri pribadi. Tentunya dengan harapan membawa faedah.
Namun bila itu dari pemimpin yang memegang tampuk kekuasaan maka itu adalah kewajiban. Bantuan seperti ini sejatinya tidak berasal dari pemegang amanah kekuasaan secara pribadi, namun berasal dari negara dengan pemimpin tersebut sebagai perwakilan. Menampakkan apalagi mengakuinya sebagai bantuan pribadi, kalau tidak ingin memamerkan, pasti ada udang di balik batu yakni ada kepentingan politik tertentu yang ingin dicapai seperti menaikkan elektabilitas politikus tertentu.
Sayangnya, praktek politisasi Bansos seperti ini sempat terjadi di negeri kita tercinta. Bansos yang diperlukan untuk memenuhi hajat hidup rakyat ini sempat harus ditunda karena masalah teknis yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, seperti menunggu cetak tas sembako dengan bertuliskan “Bantuan Presiden Republik Indonesia.” Padahal perut lapar tak bisa ditunda.
Terlepas dari itu pula, cetak tas sembako sangat tidak sesuai dengan prinsip efektivitas, berkeadilan dan efisiensi. Karena biaya untuk tas saja sangat fantastis yakni mencapai 3 miliar rupiah. Padahal angka sebanyak itu bisa digunakan untuk menambah penerima manfaat atau digunakan untuk program pengentasan kemiskinan berkelanjutan, misalnya menciptakan lapangan kerja.
Bagai buah jatuh tak jauh dari pohonnya, politisasi bansos diduga juga nampak di Klaten. Bupati Klaten, Sri Mulyani yang juga merupakan ketua DPC PDIP setempat, sempat menjadi trending di twitter dengan tagar #BupatiKlatenMemalukan, karena beberapa akun memposting mengenai bantuan kemensos yang diberi stiker dirinya. Bila hal ini terbukti, maka telah terjadi pelanggaran Pasal 3 Undang-Undang Tipikor dengan ancaman hukuman minimal satu tahun penjara.
Atas temuan ini, Muhammad Rofiuddin (Koordinator Divisi Humas dan Hubungan Antar Lembaga Bawaslu Jawa Tengah) meminta agar tidak ada pihak yang memanfaatkan pademi covid-19 ini sebagai sarana melakukan kampanye terselubung. Apalagi bila bantuan tersebut bersumber dari anggaran negara atau dana publik lain. Bantuan seharusnya diniatkan untuk mengedepankan pelayanan terhadap masyarakat. Bukan untuk kepentingan pencitraan dan popularitas.
Apa yang disebut kampanye terselubung dalam konteks ini adalah menempeli bantuan-bantuan itu dengan gambar atau stiker bergambar profil atau diselipi pesan-pesan tertentu yang arahnya untuk kepentingan politik (tirto.co.id).
Sayangnya banyak orang tidak sepenuhnya sadar, bahwa gaya politik seperti ini adalah ciri khas dari demokrasi. Partai politik yang merupakan salah satu elemen dalam dunia demokrasi, di Indonesia telah berkembang pesat, sehingga timbul persaingan ketat. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan komunikasi politik yang sangat baik, dimana “pencitraan” merupakan sub elemen komunikasi-nya. Artinya, secara teknis di lapangan apapun bisa terjadi dan apapun bisa dilakukan demi tercapainya tujuan, tidak peduli apakah memenuhi etika atau tidak, bahkan terkadang tidak peduli apakah benar atau salah, halal atau haram.
Sistem pemerintahan “tandingan” dari demokrasi, yakni sistem pemerintahan Islam, memiliki cara berbeda dalam mengelola negaranya. Pencitraan tidak diperlukan dalam memenuhi sub elemen komunikasi. Karena standar mutlak dalam pemerintahan adalah ayat suci bukan ayat konstitusi, dimana manusia –yang sejatinya lemah- berebut jabatan untuk membuatnya. Tugas pemimpin adalah sebagai representasi umat dan untuk menegakkan syariat.
Karena mahalnya biaya pemilu –yang merupakan produk demokrasi-, dalam dunia demokrasi, elektabilitas akan menjadi target seorang politikus atau pemimpin. Namun dalam sistem pemerintahan Islam, ridho Allah adalah satu-satunya target para Amirul Mukminin yang telat dibaiat.
Umar bin Abdul Aziz, dalam pidato kenegaraannya ketika diangkat menjadi Khalifah di masa kekhilafahan dinasti Bani Umayyah menyerukan kepada rakyatnya, “Taatilah aku selama aku (memerintahkan untuk) menaati Allah. Namun jika (perintahku) mendurhakai-Nya, maka kalian tidak boleh taat dalam hal itu.” Selanjutnya dalam masa pemerintahannya merupakan masa yang Rahmatan lil Alamin.
Nampaknya pidato Khalifah yang seringkali di sebut sebagai Khulafaur Rasyidin kelima ini terinspirasi dari kakeknya, Umar bin Khattab, yang mengatakan “Patuhilah aku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Bila aku mendurhakai Allah dan Rasul-Nya tidak ada kewajiban patuh kepadaku.”
Selanjutnya sejarah tentang Umar yang hanya makan roti dan zaitun selama masa paceklik dan memanggul karung demi memberi makan rakyatnya yang kelaparan menjadi mahsyur dan menjadi simbol keadilan hingga hari ini. Umar yang ini tentunya tidak melakukan politisasi atas sekarung gandum yang ia bawa kala itu. Bahkan sang penerima bantuan tidak tau bahwa ia adalah Amirul Mukminin. Mungkin jika bukan karena Aslam, yang menemani Umar bin Khattab kala itu, sejarah ini akan tetap tersembunyi dari kita.
Pemimpin seperti dua Umar tersebut hanya mampu diproduksi oleh sistem Islam, bukan dalam sistem demokrasi. Kita sekarang menantikan pemimpin yang mampu berpidato seperti Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz, karena bila ada pemimpin yang berani memberikan janji politik seperti itu, maka kejayaan bangsa sudah pasti di depan mata. Tidak cukupkah sejarah memberi kita teladan??