Kebijakan Mudik Tidak Jelas Arah, Bukti Minimnya Peran Negara
Oleh : Sri Retno Ningrum
Muslimahtimes – Mudik maupun pulang kampung merupakan kata yang memiliki makna yang serupa. Namun, akhir-akhir ini presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan dan istilah baru mengenai mudik dan pulang kampung. Kebijakan tersebut adalah larangan mudik dan membolehkan pulang kampung dengan syarat memenuhi protokol yang dijalani baik dari tempat asal ataupun tempat yang dituju. Kebijakan ini berlaku daerah yang memberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).
Selain itu, istilah baru versi pemerintah mengenai mudik adalah seseorang yang berada di kota kemudian menuju tempat asal dalam rangka memanfaatkan waktu liburan, seperti: hari raya idul fitri, tahun baru dan sebagainya. Sedangkan pulang kampung adalah seseorang yang bekerja di Jabodetabek, namun karena kesulitan ekonomi dan terkena PHK akibat pandemi corona maka orang itu pulang kampung dan mengajak keluarganya dalam waktu yang tidak bisa ditentukan.
Adapun menurut KBBI, mudik merupakan sinonim atau persamaan kata dari pulang kampung. Mudik adalah kegiatan perantau atau pekerja migran untuk pulang ke kampung halaman. Mudik di Indonesia identik dengan tradisi yang terjadi menjelang hari raya keagamaan, misalnya lebaran. Pada saat itu merupakan kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara yang tersebar di perantauan, selain saatnya silaturahmi dengan orangtua.
Transportasi yang digunakan antara lain: pesawat kapal, kereta api, bus dan kendaraan lainnya seperti: mobil dan motor bahkan truk digunakan untuk mudik. Tradisi ini muncul pada beberapa negara berkembang dengan mayoritas penduduknya muslim seperti : Indonesia dan Bangladesh.
Tentu, apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo itu sangat membingungkan rakyat. Padahal jelas dalam KBBI bahwa mudik dan pulang kampung mengandung makna yang serupa. Begitu pula diperbolehkannya kebijakan pulang kampung ketika berada di perjalanan menuju kampung halaman, apakah mereka terjamin mendapatkan rasa aman dari virus corona?
Ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terkesan tidak diperhitungkan dampaknya. Padahal ketika banyak orang mudik atau pulang kampung dan mereka berada pada zona merah virus Corona atau COVID 19 tentu akan membawa kemudharatan. Akibatnya, virus corona bisa saja semakin menyebar ke daerah-daerah pelosok apabila pemudik tidak memenuhi protokol kesehatan. Belum lagi kasus Corona di Indonesia tanggal 4 Mei 2020 11.587 orang dan 1.954 sembuh meninggal 864 orang.
Selain itu, semakin minimnya APD bagi paramedis yang telah berjuang menyembuhkan pasien corona, dampak kemerosotan ekonomi yang dirasakan masyarakat serta permasalahan cabang lainnya akibat tidak tegasnya pemerintah menangani virus corona di negara ini.Miris!
Begitulah ketika negara ini masih menerapkan sistem kapitalis sekuler kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah sangat minim dalam menyejahterakan rakyat. Sebaliknya, kebijakan yang diambil tidak memiliki tujuan yang jelas. Namun, kebijakan yang diambil malah menimbulkan masalah baru bagi rakyat sehingga menimbulkan kebingungan dalam diri rakyat. Pemerintah pun selalu menimbang-nimbang setiap kebijakan apabila menyangkut kemaslahatan rakyat. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa orientasi tertinggi penguasa adalah menyejahterakan dirinya keluarga, para kapitalis dan partai politik pendukungnya. Mereka seakan lupa bahwa sejatinya pemimpin adalah pengurus rakyat dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas kekuasaannya itu.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya: “seorang imam( pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Pada masa kepemimpinan Umar bin al-khattab pernah mengalami wabah paceklik sehingga menjadikan masyarakat baduy untuk hijrah ke Madinah. Setelah wabah paceklik berhasil diatasi oleh Umar bin al-khattab kemudian beliau memulang kampung kan orang baduy ke daerah asalnya dan memberikan fasilitas kepada mereka seperti: kendaraan dan logistik yang memadai.
Umar Juga memastikan bahwa mereka dalam perjalanan dengan keadaan aman sehingga sampai di tempat tujuan. Adapun pertimbangan khilafah Umar memulangkampungkan masyarakat Baduy di antaranya sebagai berikut:
a. Penduduk Madinah akan semakin padat dengan kedatangan orang Baduy dan itu bukan kondisi ideal untuk suatu wilayah.
b. Kebiasaan hidup dan mata pencaharian orang badui berbeda dengan orang Madinah.
c. Umar ingin menjaga bahasa yang dimiliki orang baduy agar tidak ada kerusakan bahasa ketika berinteraksi dengan orang-orang Madinah. Begitulah kebijakan yang diambil Umar sangat jelas dan terarah.
Semua itu terjadi karena beliau menerapkan sistem Islam atau khilafah. Sistem yang berasal dari pencipta alam semesta yakni Allah SWT. Sistem yang didalamnya menerapkan hukum-hukum syara’ dan sistem yang tepat untuk mengatasi permasalahan kehidupan manusia.
Hal itu tentu sangat berbeda ketika sistem kapitalis sekuler yang diterapkan negara ini. Untung rugi masih menjadi patokan penguasa dan minimalis dalam berperan menyejahterakan rakyat. Untuk itu, marilah kita meninggalkan sistem kapitalis sekuler menuju sistem Islam. Sistem Islam atau Khilafah juga sudah terbukti lebih dari 1300 tahun menjadi pelindung dan menyejahterakan rakyat baik Muslim maupun nonmuslim. Wallahu’alam bisshowab.