Oleh. Sriyana Iman
#MuslimahTimes — “Umi, Allah itu dimana? Seperti apa? Kok kita nggak bisa lihat Allah? ” Azzam, anak keduaku terus saja berceloteh sambil menguntit kemanapun aku pergi. Dia memang yang paling kepo dibanding yang lain. Apapun ditanyakan. Bahkan sampai bingung menjawab pertanyaanya. Membahasakan sesuai umurnya, yang tentu belum matang dalam berpikir.
Itu salah satu pertanyaan mendasar yang sering ditanyakan anak-anak zaman now. Sebagai ibu milenial, kita pun harus mampu menjawab dengan gamblang dan memuaskan keingintahuan sang anak, kalau tidak mau ditanyai dengan pertanyaan yang sama berulang-ulang sampai anak puas.
Jadi ingat masa kecil dengan Amak dulu, ketika bertanya sesuatu, aku akan langsung terdiam dengan sekali jawab, walaupun masih penasaran dengan jawabanya.
“Mak, itu apa yang warna-warni di langit?” tanyaku ketika melihat pelangi menyembul selepas hujan.
“Eh, jangan nunjuk-nunjuk. Nanti jarinya bisa patah. Itu ular naga lagi minum” jawab Amak sambil mengibaskan tanganku.
Saat itu langsung diam saja setelah dijawab amak. Tapi di hati masih bertanya-tanya. Mana kepala ularnya. Kok ular bisa terbang. Kok ularnya nggak makan orang. Dan sederet rasa penasaran yang masih tersimpan di lobus prontal otak hingga dewasa. Sampai-sampai mitos itu terus menghantuiku setiap kali melihat pelangi, ada rasa ngeri membayangkan ular naga sebesar itu. Kapan pikiran itu hilang? Setelah belajar, menemukan jawaban yang lebih memuaskan akal dan menetramkan hati tentunya.
Yups, begitulah pentingnya pengaruh sebuah maklumat atau informasi dalam proses berpikir. Tidak hanya bagi anak-anak, bagi orang dewasa pun tentu sangat penting untuk membentuk pemahamannya terhadap sesuatu yang kelak akan memengaruhi tingkah lakunya.
Itulah yang aku rasakan ketika awal mengkaji Islam. Serasa “akhirnya, kumenemukanMu” menemukan siapa? Yups, menemukan keberadaan Allah sebagai Sang Khaliq (Maha Pencipta) dan Al-Mudabbir (Maha Pengatur). Emang selama ini kemana aja? Nggak belajar?
Tentu ada. Informasi didapat dari orang tua dan guru di sekolah. Tetapi, baru di taraf taklid (mengikut) belum sampai kepada pemahaman. Makanya tidak utuh membentuk kepribadian Islam dalam diri kita. Jangankan meninggalkan maksiat, melakukan ibadah pun masih bolong-bolong.
Oleh karena itu, berpikir adalah perintah pertama yang Allah wajibkan bagi seorang Muslim, hingga terbentuk keimanan yang tasdiqul jazm (menancap kokoh), yang akan menjadi motivasi seseorang dalam beramal. Tanpa perlu dipaksa lagi. Karena tujuannya melakukan segala sesuatu adalah rida Allah swt.
QS. Al-Ghasyiyah(88): 17-20
أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ○ وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ○ وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ○ وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan? (17) Dan langit, bagaimana dia ditinggikan? (18) Dan gunung-gunung bagaimana dia ditegakkan? (19) Dan bumi, bagaimana dia dihamparkan (20)
Namun, akal yang ada dalam diri manusia, tetaplah terbatas. Karena manusia sendiri bersifat lemah dan sangat tergantung kepada yang lain. Maka, kita tetap harus membatasi jangkauan akal atau berpikir kita. Jangankan untuk melihat zat Allah yang ghaib, melihat jin dan malaikat saja yang ciptaan Allah kita tidak mampu bukan?
“Azzam… Azzam tau kalau angin, udara itu ada? Bisa melihatnya? Angin aja yang ciptaan Allah nggak bisa kita lihat kan…apalagi Allah. Tapi kita yakin angin itu ada tanpa melihat bentuknya. Jadi kita percaya Allah itu ada nggak harus melihat Allah secara langsung dulu, sudah banyak kok tanda-tanda keberadaan Allah itu. Contohnya diri kita sendiri. Di kepala ada rambut, di jari ada kuku yang senantiasa tumbuh dan tambah panjang. Siapa yang mengatur itu? Bisa kita suruh berhenti tumbuh?” bla bla bla…akhirnya panjang lebar aku berusaha menjelaskan kepada anakku tentang konsep akidah yang pernah dibahas ketika aku ngaji. Alhamdulillah sudah ngaji, kalau belum, tidak tau juga mau jawab apa.
Begitulah pentingnya penanaman akidah sejak dini kepada generasi, tentu orangtua harus terlebih dulu mumpuni membekali diri dengan pemahaman agama.
Sumber Foto : Budha Zine