Kebijakan New Normal, Kepentingan Elite Kapital
Oleh: Hana Rahmawati (Member Revowriter Tangerang)
Muslimahtimes – Wacana ‘new normal’ yang merupakan kebijakan pemerintah ini mencuat di tengah masih tingginya kurva covid-19 di Indonesia. ‘New normal’ menjadi sebuah istilah yang dimaknai dengan kembalinya orang-orang pada aktivitas-aktivitas awal seperti sebelum adanya wabah covid-19. Dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan seperti menghindari kerumunan, memakai masker dan menjaga jarak minimal satu meter dari orang lain.
Tak ayal banyak pihak yang mengkritisi kebijakan ini. Salah satu yang menyuarakan kritik dan skeptisnya adalah organisasi keagamaan Muhammadiyah. Pasalnya organisasi Muhammadiyah beserta organisasi perempuan di bawahnya, Aisyiyah, memiliki sedikitnya 107 rumah sakit yang tersebar di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga bagian Timur Indonesia.
Ketua Muhammadiyah Covid-19 Command Centre (MCCC) Agus Samsudin mengatakan bahwa setiap jam 4 sore seluruh rumah sakit Muhammadiyah memberikan laporan jumlah kasus. Menurut catatan data MCCC, saat ini kurva covid-19 belum menunjukkan tren penurunan hingga akhir Mei kemarin. Data yang diperoleh pertanggal 21 Mei 2020 yakni sebanyak 973 kasus. Meski sejak hari itu jumlah kasus menurun, namun belum ada indikasi kurva bakal melandai. (tirto.id, 31 Mei 2020). Hal ini terbukti pada tanggal 6 Juni 2020 jumlah kasus kembali meningkat sebanyak 993 kasus.
Kebijakan new normal yang di ambil dalam rangka memulihkan kembali sektor perekonomian yang melemah akibat covid-19 ini, tidak dibarengi dengan pengetahuan sains ataupun penurunan jumlah kasus di Indonesia. Akibatnya, kekhawatiran serta berbagai spekulasi pun bermunculan menjelang di berlakukannya situasi new normal ini. Banyak pihak mempertanyakan ampuhkah situasi new normal membuat ekonomi kembali bangkit tanpa resiko yang meningkat mengenai kesehatan rakyat?
Setiap negara yang merupakan wilayah pandemi virus, pasti akan memikirkan dua hal. Yakni bagaimana penanganan covid-19 dan bagaimana roda perekonomian tetap berjalan. Jika diandaikan sebagai sebuah piramida, sebuah negara akan menyelesaikan masalah penanganan covid terlebih dahulu sebelum konsen menangani masalah ekonomi. Epidemolog FKM Universitas Hasanuddin, Ridwan Aminuddin menilai, Indonesia justru langsung lompat ke tahap kedua, meski permasalahan covid-19 belum sepenuhnya terhenti.
“Ini Indonesia masih di puncak bahkan belum mencapai puncak sudah mau implementasi jadi terlalu dini, prematur ini. Jadi ini new normal yang prematur.” jelas Ridwan dalam sebuah diskusi publik yang dilakukan secara virtual, Kamis, 28 Mei 2020. (KanalKalimantan.com, 28 Mei 2020).
New normal yang akan diterapkan pemerintah ditengah situasi pandemi yang masih tinggi dikhawatirkan akan menimbulkan banyak korban berguguran. Ancaman penularan yang tinggi tersebut akan menyasar lingkungan sekolah, mall ataupun pasar, dan juga tempat-tempat lainnya yang akan mulai beroperasi normal.
//Histori New Normal dan Protkoler Kesehatan//
Istilah New Normal, bukanlah istilah yang baru. Kata ini sudah dipakai sejak krisis ekonomi melanda dunia di tahun 2007-2008. Istilah ini kembali dipakai belakangan setelah dirasa ada indikasi penyebaran covid-19 mulai bisa dikendalikan. (ayobandung.com, 27 Mei 2020).
New Normal pada awalnya adalah jargon dalam dunia ekonomi dan bisnis. Istilah tersebut mengacu pada pembuat kebijakan dunia bahwa ekonomi industri akan kembali ke “cara terbaru” setelah dihantam krisis keuangan pada 2007-2008.
Istilah New Normal pertama kali muncul dalam publikasi pada artikel yang ditulis oleh Rich Miller dan Matthew Benjamin berjudul “Post Subprime Economy Means Subpar Growth as New Normal in U.S.” Artikel tersebut tayang di Bloomberg pada 18 Mei 2008.
Pada saat itu, kondisi ekonomi dunia sedang sedemikian parah. Sehingga dibutuhkan suatu istilah untuk mengembalikan keadaan pada situasi normal. Akhirnya tercetuslah istilah ini, yakni dalam konteks sebuah keadaan tidak normal menuju normal. Sebetulnya istilah ini kurang tepat untuk dipakai, sebab saat itu kurs rupiah jatuh di angka 14.000 dan jumlah pengangguran sangat banyak.
Sejak pandemi Covid-19 merebak ke seluruh dunia, istilah New Normal kembali ramai digunakan. New Normal dalam konteks pandemi Covid-19 pertama kali disuarakan oleh tim dokter di University of Kansas Health System. Mereka menyatakan pandemi yang sudah menewaskan lebih dari 350.000 jiwa di seluruh dunia per 27 Mei 2020 akan mengubah tatanan hidup keseharian manusia. New Normal akan membatasi kontak fisik manusia yang sebelumnya adalah aktivitas biasa seperti berjabat tangan dan berpelukan.
Kata New Normal, bisa berarti sebaliknya, justru malah bisa jadi tidak normal. Mengingat fakta empirik menunjukkan belum sepenuhnya keadaan terlihat normal. Ketika melihat situasi objektif seperti saat ini, masih perlu adanya tahapan yang harus terukur sehingga rakyat tidak terjebak dengan diksi yang justru membuat bingung. Mengingat sebelumnya juga pemerintah sempat mengeluarkan statement untuk berdamai dengan korona ditengah ketatnya pemberlakuan PSBB saat itu.
Direktur Regional WHO untuk Eropa, Hans Henri P Kluge memberi panduan untuk negara-negara yang akan menerapkan agenda New Normal dengan memastikan terlebih dahulu beberapa hal berikut.
Pertama, transmissi Covid-19 sudah terkendali, sehingga angka terinfeksi semakin menurun. Menurutnya jika transmisi belum terkendali, maka new normal belum dapat dilakukan.
Kedua, kapasitas sistem kesehatan sudah mampu mengidentifikasi dan melakukan Test, Trace dan Treat.
Ketiga, mengurangi risiko wabah dengan pengaturan yang ketat pada tempat rentan dan komunitas rentan seperti lansia, kesehatan mental dan pemukiman padat.
Keempat, pencegahan di tempat kerja dengan menerapkan protokol medis yang ketat.
Kelima, risiko imported case sudah dapat dikendalikan oleh semua pemangku kepentingan.
Keenam, masyarakat mempunyai kesadaran kolektif untuk ikut berperan dan terlibat terutama melaksakan protokol medis.
Situasi New Normal saat ini terkesan dipaksakan untuk menjadi solusi perbaikan ekonomi. Pemerintah seolah berlepas tangan dengan membiarkan sendiri rakyatnya berjuang membangkitkan kembali ekonomi dan mengabaikan resiko tinggi tertularnya wabah penyakit. Sekolah, pasar, mall dan perkantoran yang akan memberlakukan new normal dapat menjadi kluster baru penularan wabah korona.
//Islam Tangani Wabah dan Ekonomi Umat//
Kondisi hari ini memang menjadi dilematis bagi rakyat dan pemerintah. Memilih antara menyelamatkan perekonomian yang kian melemah atau menyelamatkan rakyat dari bahaya wabah. Namun jika melihat fakta di mana vaksin belum juga ditemukan, maka hal yang utama yang harus menjadi perhatian seorang pemimpin adalah memfasilitasi ilmuwan dan tenaga medis untuk terus melakukan penelitian guna menemukan vaksin pengobatan.
Dalam Islam jelas, pemimpin harus memperhatikan kebutuhan rakyat selama masa transisi. Semaksimal mungkin seorang pemimpin akan berupaya memanfaatkan sumber daya alam untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat dalam upaya memenuhi kebutuhannya. Upaya melakukan lockdown daerah atau wilayah menjadi tanggungjawab pemimpin guna menyelamatkan rakyat banyak.
Jika vaksin sudah ditemukan dan wabah dapat segera ditekan jumlah kasusnya barulah pada akhirnya roda perekonomian dapat kembali berjalan normal bahkan kembali bangkit. New normal yang diterapkan bukan hanya sekedar tren global atau sikap membebek pada Barat. Tapi memang kondisi normal sebenarnya sebab pemimpin telah berhasil menangani pandemi. Pada akhirnya, New normal hanya bisa di dapat ketika syariah Allah ditegakkan secara kaffah, yang membawa keselamatan hidup tidak hanya di dunia, tapi juga akhirat.
Wallahu A’lam. []