Oleh: Vivin Indriani
#MuslimahTimes — Hingga saat ini, lawan terberat gerakan feminisme adalah Islam. Setiap kali satu amunisi mereka siapkan, saat itulah Islam telah punya jawaban. Selayaknya, kedua pemikiran ini memang tidak akan pernah bisa bersatu dikarenakan haluan pemikiran keduanya sama sekali berbeda arah maupun konsep dasarnya. Islam memiliki ide dan metode yang bertolak belakang dengan cara dan konsep feminisme dalam memandang dan memperlakukan perempuan. Maka jika seseorang memilih Islam, semestinya feminisme dengan sendirinya akan ditinggalkan.
Feminisme memandang bahwa agama dan keluarga adalah sumber permasalahan terhadap berbagai kasus kekerasan maupun disparitas (ketimpangan) gender yang menimpa perempuan. Mereka beranggapan Islam sebagai agama, dan keluarga dengan budaya patriarki telah menyeret perempuan dalam kondisi ketidakberdayaan yang melemahkan. Kesetaraan gender(gender equality) adalah prinsip yang dijunjung tinggi oleh kaum feminis. Tak heran gagasan planet 50:50 begitu gencar dikampanyekan dalam berbagai kesepakatan, platform program aksi dan konvensi yang mereka canangkan.
Dalam konferensi dunia tentang perempuan yang dilaksanakan di Beijing tanggal 4 – 15 September 1995, komisi perempuan seluruh negara anggota PBB bersepakat untuk mengadopsi Beijing Platform for Action (BPFA) menjadi sebuah resolusi dan merekomendasikan kepada Majelis Umum untuk mengesahkan BPFA. Beijing Platform for Action (BPFA) adalah kesepakatan dari perwakilan perempuan dari 189 negara anggota PBB dalam rangka melaksanakan konvensi CEDAW (Convention on Elimination of All Forms Disciminations Againts Women) pada tahun 1995 di Beijing.
BPFA sendiri telah menghasilkan 12 bidang kritis yang harus diperhatikan oleh setiap negara yang tergabung. Dengan ketentuan setiap 5 tahun sekali akan dilaporkan perkembangan dari hasil pelaksanaannya oleh setiap negara anggota. Diantara 12 bidang kritis tersebut adalah: 1) Perempuan dan kemiskinan; 2) Perempuan dalam pendidikan dan pelatihan; 3) Perempuan dan Kesehatan; 4) Kekerasan terhadap perempuan; 5) Perempuan dalam situasi konflik bersenjata; 6) Perempuan dalam ekonomi; 7) Perempuan dalam kekuasaan dan pengambilan keputusan; 8) Perempuan dalam mekanisme institusional untuk pemajuan perempuan; 9) HAM perempuan; 10) Perempuan dan media; 11) Perempuan dan lingkungan hidup; 12) Anak perempuan.
Feminisme juga menuangkan sejumlah gagasan dalam KTT Millennium di New York City (tahun 2000) yang berisi 8 poin proyek bersama sasaran pembangunan yang harus dicapai negara-negara peserta sebelum tahun 2015, yang kemudian dikenal dengan istilah Millennium Development Goals(MDGs) dan beberapa tahun kemudian diperpanjang menjadi Sustainable Development Goals(SDGs). Proyek bersama ini juga diadopsi oleh negara-negara yang tergabung dalam keanggotaan PBB.
Lalu pada 2020 ini perempuan dan feminis muda se-Asia Pasifik berkumpul dalam forum masyarakat sipil dan feminis muda di Bangkok pada 22-26 November 2019. Forum ini diselenggarakan oleh badan khusus PBB untuk ekonomi sosial Asia Pasifik UNESCAP. Forum ini juga didedikasikan untuk organisasi masyarakat sipil se-Asia Pasifik guna memperingati 25 tahun Deklarasi dan Platform Aksi Beijing atau yang sering disebut Konferensi internasional perempuan Beijing+25 atau Beijing Platform for Action (BPfA).
Akar Sejarah Feminisme Dunia
Jika kita melihat ke belakang, kepada sejarah munculnya ide feminisme di kalangan pegiat perempuan, maka kita akan mendapati satu sorotan latar belakang yang tidak bersifat universal. Ada perbedaan yang mendasar antara perempuan di sebuah periode yang memunculkan gerakan feminisme itu sendiri dengan pola hidup kebanyakan perempuan di wilayah lainnya.
Feminisme sendiri justru muncul di era gelap abad pertengahan. Sebuah kurun waktu sejarah di mana perempuan mengalami ketertindasan, tidak memiliki hak untuk berbicara atau mengemukakan pendapat, hak belajar, hak mendapatkan perlindungan serta tidak mampu memberikan keputusan atas kehidupannya sendiri. Di masa itu perempuan diperlakukan tak jauh berbeda dengan barang.
Samuel Pyeatt Menefee dalam karyanya Wives for Sale: Ethnographic Study of British Popular Divorce, mengungkap sebuah realita yang mengejutkan. Ia menyatakan ada tradisi menjual istri yang berlangsung selama 500 tahun di Inggris. Perbuatan keji ini dilakukan oleh para suami sebagai alternative dari perceraian.
Dalam buku Uncle John’s Bathroom Reader Plunges Into History Again juga diceritakan bahwa di Eropa kala itu seorang suami bisa saja menjual istrinya. Hal ini dikarenakan pada saat itu perempuan dianggap sebagai ‘barang’ milik suami mereka yang bisa diperlakukan sesukanya. Sejak bersatunya kembali daerah bekas kekuasaan Kekaisaran Romawi Barat di bawah prakarsa raja Charlemagne pada abad 5 hingga Renaisans pada tahun 1517, wanita memiliki kedudukan yang sangat rendah di sisi suami-suami mereka setelah menikah. Wanita-wanita yang telah bersuami tak lagi memiliki hak atas dirinya. Tradisi ini dikenal dengan sebutan Coverture.
Rendahnya tingkat literasi disebabkan perempuan tak bisa mengenyam pendidikan tinggi menyebabkan perempuan rentan mengalami ketertindasan seperti ini di Eropa. Namun tidak ada undang-undang yang bisa melindungi dan membela hak-hak asasi wanita di kala itu. Inilah diantara sejarah kelam yang memicu gerakan feminisme muncul di berbagai belahan Eropa bahkan hingga menyebar ke Amerika Serikat.
Gerakan feminisme sendiri dimulai sejak akhir abad ke-18 dan berkembang pesat sepanjang abad ke-20 yang dimulai dengan penyuaraan persamaan hak politik bagi perempuan. Tulisan Mary Wollstonecraft yang berjudul A Vindication of The Rights of Woman dianggap sebagai salah satu karya tulis feminis awal yang berisi kritik terhadap Revolusi Prancis yang hanya berlaku untuk laki-laki namun tidak untuk perempuan. Sedangkan gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan pada tahun 1963.
Muslimah Tak Butuh Feminisme
Tentu saja berbagai bentuk penindasan, pelecehan dan hilangnya berbagai kesempatan dan hak perempuan di Barat kala itu tidak berlaku bagi para muslimah yang hidup di dalam tubuh peradaban Islam. Di saat Eropa terpuruk dengan isu fisik tentang perempuan, muslimah dalam peradaban Islam justru menikmati kenyamanan dan beraneka fasilitas yang memanjakan mereka sedemikian rupa. Mereka tidak mendapati sama sekali kehidupan kelam sebagaimana yang dialami mayoritas perempuan di Barat tempat lahirnya feminisme.
Dalam Islam, perempuan menikmati beraneka kebebasan mencapai derajat ketinggian namun tetap terjaga marwah dan kemuliaannya. Mereka bebas berkiprah dalam berbagai bidang meski tetap terjaga kemuliaannya dan mendapatkan jaminan penuh perlindungan dari negara kekhilafahan Islam. Kiprah para Muslimah itu pun terentang luas mulai dari bidang sains, teknologi, kedokteran, matematika hingga pemerintahan.
Dalam bidang sains dan kemajuan teknologi, fasilitas yang diberikan negara Islam kepada perempuan mengantarkan mereka meraih kemajuan yang tak kalah dibanding laki-laki. Meski tak membuat mereka melupakan peran sentral mereka sebagai Ibu peradaban dan pengurus rumah suaminya. Zubayda binti Ja’far al-Mansur salah satunya. Dialah wanita muslimah yang mempelopori proyek paling ambisius dengan membangun jalur haji dari Baghdad ke Makkah, dengan berbagai fasilitas dan kelengkapannya.
Kita juga mengenal Sutaita al-Mahamali, muslimah pakar matematika dan saksi ahli di pengadilan. Kemudian ada Dhayfa Khatun, seorang muslimah yang unggul dalam manajemen dan kenegarawanan. Dunia juga sangat mengenal Fatima al-Fehri, seorang muslimah yang mendirikan Masjid Qarawiyin di Fez, Maroko yang kemudian menjadi universitas pertama di dunia. Dan juga insinyur Mariam al Astrolub yang membuat dan mengembangkan teknologi astrolabe di Aleppo.
Sederet perempuan muslimah yang sukses dan dibesarkan dengan baik oleh peradaban Islam di atas hanya sepersekian saja diantara deretan muslimah berprestasi lainnya. Para muslimah ini tidak hanya fokus pada prestasi, namun mereka adalah ibu peradaban dan generasi, sebuah gelar agung yang disematkan Islam kepada setiap muslimah dulu hingga sekarang. Prestasi mereka ini tak lain adalah bagian dari peran negara kekhilafahan Islam yang memberikan sumbangan besar berupa fasilitas, dukungan serta pengayoman atas segala peran yang harus mereka jalani agar bisa maksimal terlaksana sekaligus. Baik di sektor domestik sebagau ibu dan pengatur rumah tangga, namun juga sebagai muslimah yang bermanfaat bagi kemajuan umat.
Maka sungguh tak layak jika hari ini para muslimah jauh lebih berkiblat kepada Barat dengan sejarah kelamnya tentang perempuan, lalu ikut serta menggaungkan ide feminisme dan kesetaraan gender. Sedangkan jauh sebelum Eropa dan Barat melangkah, Islam telah lebih dahulu memberikan sederet contoh bagaimana perempuan demikian dilindungi dan mampu berdaya secara cemerlang dalam naungan peradaban Islam. Ini seolah membuang permata yang ditawarkan Islam dan menukarnya dengan mengambil sampah yang seharusnya layak dibuang oleh peradaban Barat yang rusak.
Generasi muslimah hari ini seharusnya lebih fokus bagaimana memperjuangkan agar Islam dan seluruh nilai-nilainya bisa diterapkan dalam kehidupan. Sebab telah terbukti, hanya jika syariat Islam kaffah dilaksanakan dalam segala bidang baik ekonomi, pendidikan, budaya hingga pemerintahan, niscaya kemuliaan dan kecemerlangan muslimah dalam naungan Islam akan terulang kembali. Dan masa itu memang telah dijanjikan. Wallahu ‘alam.