Oleh. Hana Annisa Afriliani,S.S
(Penulis Buku dan Aktivis Dakwah)
Muslimahtimes – Sudah lebih dari satu pekan pemerintah menerapkan new normal. Pelonggaran PSBB mulai dilakukan di berbagai daerah. Salah satunya, mulai mengaktifkan kembali tempat-tempat ibadah dan pusat-pusat perbelanjaan. Namun kenyataannya, new normal ini menuai polemik. Karena nyatanya umat belum pernah mencapai kondisi normal, bahkan sejak sebelum pandemi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), normal dapat diartikan sesuai dengan pola yang umum, tidak menyimpang. Maka jika dikatakan bahwa saat ini pemerintah menerapkan new normal alias kenormalan baru, berarti sebelum pandemi kehidupan umat sudah normal. Benarkah demikian? Nyatanya tidak.
Justru selama ini umat hidup di bawah kungkungan sistem yang abnormal. Tidak sesuai fitrah manusia. Sebaliknya lebih banyak menciptakan kezaliman dan kesengsaraan di tengah-tengah umat. Bagaimana tidak, umat dipaksa hidup di bawah naungan sistem kapitalisme sekular. Menjauhkannya dari fitrah beragama yang kaffah. Sebaliknya umat dicekoki dengan beragam aturan warisan Belanda dan disusupi gaya hidup ala Barat. Akibatnya umat terombang-ambing dalam krisis identitas sebagai seorang Muslim.
Di satu sisi, mereka berstatus sebagai Muslim, namun di sisi lain mereka tidak menjadikan Islam sebagai aturan hidup mereka. Terlebih lagi mereka dipaksa bersikap tengah-tengah alias moderat. Jika terlalu taat pada agama maka akan langsung dilabeli radikal yang berarti musuh negara. Bukankah ini merupakan kehidupan yang abnormal?
Tak hanya itu, dalam pemenuhan hajat hidupnya, umat dipaksa berjuang sendiri, sementara negara hanya mengatur regulasi. Akhirnya hukum rimba pun berlaku. Yang kuat yang akan menang. Umat harus rela menahan lapar di tengah lumbung padi. Umat harus rela tersingkir dari kancah intelektualitas jika tak sanggup bayar sekolah. Umat juga harus ikhlas mati di rumah sendiri akibat tak mampu membayar biaya rumah sakit. Ironis!
Oleh karena itu, kita membutuhkan sistem yang benar agar mampu membalik semua keadaan. Ya, betapa kita mendamba true normal. Kenormalan yang sejati. Yakni sebuah kondisi yang ideal dan sesuai fitrah manusia. Gambarannya, umat berada dalam pemeliharaan negara sebagaimana mestinya. Karena dalam Islam, negara bertanggungjawab dalam mengurusi urusan rakyatnya. Maka, Islam sangat memperhatikan kapabilitas seorang pemimpin, karena kelak ia akan mempertanggungjawabkan amanah kepemimpinannya tersebut di hadapan Allah Swt. Tentu saja, Islam mensyaratkan seorang pemimpin haruslah seorang yang mampu bertindak adil, yakni berjalan di atas koridor syariat Islam. Karena dalam pandangan Islam, pemimpin adalah wakil umat untuk menerapkan seluruh aturan syariat Islam dalam kehidupan. Dialah yang akan memastikan bahwa hukum Islam tegak sebagai pengatur segala urusan manusia. Bukankah Allah memang telah menurunkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam?
Adapun pemimpin dalam sistem Islam juga akan berupaya menciptakan keadilan dan kesejahteraan di tengah-tengah masyarakat. Tak pandang bulu, Muslim-nonmuslim, tua-muda maupun miskin-kaya, semua dalam pengurusan negara secara serius. Sungguh, bukti pemeliharaan negara Islam terhadap rakyatnya telah terekam dalam sejarah peradaban Islam selama lebih dari 1400 tahun. Salah satunya, pada masa Khalifah Umar Bin Abdul Aziz, ketika itu tidak satupun didapati rakyatnya yang berhak menerima zakat. Saking mereka telah hidup berkecukupan. Jika pun ada yang kekurangan, maka negara akan langsung memenuhi kebutuhannya, tanpa sedikitpun mengabaikannya.
Sungguh beda dengan pengurusan negara dalam sistem kapitalisme. Rakyat diurus berdasarkan prinsip kapitalisme. Hasilnya rakyat hidup dalam kesengsaraan dan himpitan kesulitan yang tiada habisnya. Angka kemiskinan naik terus kurvanya, belum lagi angka kriminalitas dan kejahatab moral lainnya, tak terhitung jumlahnya. Inilah kehidupan abnormal yang harus segera diakhiri. Dan hanya sistem Islam dalam naungan Khilafahlah yang layak menggantikannya, sebab Islam berasal dari Sang Maha Benar. Wallahu’alam…