Oleh: Widya Fauzi
Muslimahtimes – Komunikasi merupakan salah satu permasalahan berat dalam membangun relasi orang tua dan anak. Tidak sedikit orangtua yang mudah terpancing emosinya saat menghadapi situasi pelik saat sedang mengasuh anak-anaknya. Sehingga, bentuk komunikasi yang dilakukan pada anak pun dirasa tak nyaman bagi kedua belah pihak.
Sadar atau tidak ketika anak banyak mendapatkan bentuk-bentuk komunikasi yang membuatnya tidak nyaman, maka bisa jadi hal itu membuat dia tidak tumbuh secara optimal. Contohnya, banyak orang dewasa yang tergagap-gagap menyampaikan idenya, karena mungkin sedari kecil ia sering menerima bentakan. Jangan sampai kita gagal membangun skill komunikasi yang tepat pada anak, karena hal itu akan mempengaruhi kualitas kehidupannya kelak. Entah itu saat ia mulai bersekolah, bekerja bahkan saat harus berumahtangga. Jangan sampai ia mewarisi skill komunikasi yang buruk dari orangtuanya yang kemudian akan ia terapkan di lingkungan tempat ia hidup dan bertumbuh.
Nah, setelah mengikuti kuliah online parenting bersama Pak Ading dan Kang Harry Firmansyah ternyata kita bisa memperbaiki komunikasi orang tua dan anak ketika mengetahui kesalahan-kesalahan umum orangtua dalam berkomunikasi dengan anak.
Apa sajakah itu?
Berikut 12 kesalahan orangtua dalam berkomunikasi terhadap anak.
1. Direct melulu.
Maksudnya? Dalam komunikasi, orangtua selalu men-direct anaknya alias mengarahkan terus anaknya. Dia langsung memberitahu apa yang harus dikerjakan anaknya. Orangtua merasa oriter, merasa dirinya paling benar. Segala bantahan anak dinilai negatif. Hal ini kurang bagus buat perkembangan anak, karena anak akan mengalami minus inisiatif. Dia tidak terbiasa berpikir pada solusi jika menghadapi masalah di kemudian hari. Yang ada, ketika mendapat masalah, dia akan menunggu-nunggu. Padahal, zaman now, kita butuh orang yang inisiatifnya tinggi jika ingin berperan besar.
2. Komunikasi hanya satu arah. Orangtua tidak memberi jeda kepada anak untuk merespon apa pesan yang disampaikan orangtua. Belum sempat menjawab, anaknya sudah diberondong pertanyaan yang bejibun jumlahnya. Jadilah orangtua yang memberi kesempatan kepada anak untuk menjalankan critical thinkingnya. Biar dia kepake otaknya untuk menghubungkan data yang ia terima. Tidak melulu menerima doktrin-doktrin belaka, agar otaknya sehat dan banyak koneksi di neuronnya.
3. Bernada kelewat tinggi di atas lima oktaf dan bicara penuh amarah. Orangtua kerap kali bicara dengan nada tinggi kepada anak. Dia berharap, dengan nada tinggi, anaknya langsung patuh dan mengerjakan apa yang diperintahkan. Mungkin anaknya akan patuh saat itu, tapi sesungguhnya dia merasa tidak nyaman. Bisa jadi dia patuh karena takut saja. Ketika orangtuanya sudah tidak ada, dia akan 180 derajat berbalik arah melakukan apa-apa yang dilarang, dan tidak melakukan apa-apa yang disuruh orangtuanya. Untuk itu, bicaralah dengan nada 2 oktaf. Itu seperti orang sedang duduk berdampingan, lalu berbicara secukupnya agar suara terdengar ke orang sebelahnya. Jangan sampai nada tinggi nan penuh amarah dari orang tua membuat pesan yang terdelivery ke anak adalah justru rasa amarahnya. Ingat, rasa amarah itu, akan selalu membuat anak bahkan orang dewasa sekalipun tidak nyaman, bahkan membuat trauma.
4. No eye-contact sama sekali. Contohnya saat ibunya dii dapur dan anaknya ternyata di teras, lalu ibunya teriak, “Nak, tolong beliin mamak bawang merah di warung sebelah ya…. Ini ambil uangnya ke sini…” Bisa saja anak paham pesan kita, tapi kita sedang mengajarkan cara komunikasi yang tidak hormat kepada anak kita. Ia kelak meniru hal yang sama kepada orang lain. Komunikasi akan efektif bila kita tatap mata anak dari jarak 45 cm maka pesan yang kita maksud akan tersampaikan dengan baik.
5. Eye-level tidak sama.
Misalnya orangtua berdiri, tinggi posisinya, sementara anak ada di bawah dan dia harus mendongak melihat orangtuanya di ketinggian. Menggambarkan hubungan bos dan anak buah. Jika hal ini berlangsung terus, anak bisa jadi takut ke orangtua. Ada masalah, dia akan pendam. Lama-lama jadi bibit penyakit karena hormonnya tidak stabil. Ada masalah dipikirin terus, tanpa dibicarakan atau dicari solusinya. Sebaiknya, orang dewasa jongkok menyesuaikan posisi tinggi anak ketika bicara dengan anak tersebut. Setarakan level mata kita.
6. Not being present.
Tidak hadir jiwanya saat bicara dengan anak. Jika kita ingin pesan kita efektif sampai dan dipahami dengan cepat oleh anak, maka jadilah orangtua yang hadir sepenuhnya dan seutuhnya bersama anak saat kita menyampaikan pesan tersebut. Jangan disambi dengan pikiran kita melayang-layang ke urusan kantor, masakan yang apakah gosong atau tidak. Hapus itu semua. Hadirlah buat anak saat Anda bicara dengan anak. Ini terkait dengan soul yang ingin kita hadirkan dalam interaksi.
7. Ketika diajak bicara oleh anak, orangtua sering menyambi dengan kegiatan tertentu. Hal yang lebih baik ketika kita diajak anak bicara adalah dengan berhenti dari kegiatan tersebut. Simpan hp, berhenti masak, fokus menghadapi anak. Dengan demikian, kita sedang mengajarkan kepada anak kita untuk hormat kepada lawan bicara. Ini bagian dari berlatih atentif dalam komunikasi dengan orang lain. Ini attitude yang mahal.
8. Melarang anak untuk menangis. Padahal, menangis adalah bagian dari penyaluran emosi seseorang dengan merilisnya. Apakah masalah besar jika seseorang menangis? Sebenarnya tidak juga. Semua orang boleh menangis. Mau itu anak laki-laki, ataupun perempuan. Menangis menjadi barometer bahwa hatinya masih ada sensitifitas tingkat tinggi. “Silakan menangis jika itu membuat hatimu nyaman, nak. Tapi pastikan segera regulasi diri ya.” Itu jauh lebih baik, agar anak kita tidak kaku atau beku hatinya.
9. Membohongi anak agar masalah cepat selesai.
Misalnya anak ketika kita jatuh di bebatuan. Lalu kita melihat kejadian itu. Setelah itu, kita ingin membuat anak tenang, tidak menangis. Kemudian kita berusaha alihkan ke hal lain, “Lihat ada pesawat tuh…?” Padahal tidak ada pesawat. Jika anak jatuh, beri rasa empati terlebih dahulu. “Sakit ya? Kita obati dulu ya. Mama paham, pasti sakit jika kena batu begini,” lalu follow up dengan mengobatinya.
10. Orangtua sering membanding-bandingkan anak dengan anak lainnya, dengan kondisi orangtua di zaman dulu.
Tidak ada orang yang senang dibanding-bandingkan, termasuk anak kecil sekalipun. Selain sudah beda zaman, juga kompleksitas dan tantangan kehidupan juga sangat berbeda jauh dibandingkan zaman dulu. Ketika Anda membandingkan ananda dengan saudara kandung, saudara sepupu, dia akan punya dua respon. Jika anak kita kuat mental, dia akan tetap percaya diri. Kalau anak kita lemah mental, dia akan drop dan menjadi minder.
11. Menakuti anak dengan sesuatu yang tidak masuk akal.
“Ayo makan nanti ada polisi. Nanti kamu ditangkap loh kalo ga mau makan..“Kalau gak pulang, nanti kamu disuntik dokter lho…” Itu contoh-contoh pembodohan yang tidak masuk akal, dan anak jadi mengalami distorsi dalam berpikir dan bertindak.
12. Nanya sendiri, jawab sendiri.
Misalnya, “Kamu mau dimasakin sayur apa hari ini? Kangkung atau bayam?” Pas anaknya jawab kangkung, orangtuanya langsung balas, “Ah, kalau kangkung mah bikin ngantuk. Jangan. Sayur bayam aja ya….” Kalau tahu begitu, anak juga ogah menjawab. Kenapa? Karena orangtuanya nanya sendiri, jawab sendiri.
Nah, ayah bunda setelah mengetahui 12 kesalahan komunikasi orangtua terhadap anak tersebut maka kita bisa renungkan lebih dalam, mana poin kesalahan yang paling sering kita lakukan. Sehingga setelah kita tahu dan sadar terhadap kesalahan komunikasi kita selama ini kita bisa segera memperbaikinya. Harapannya tentu agar kita bisa melahirkan generasi yang hebat, cemerlang dan gemilang untuk masa depan bangsa negara dan agama tentunya.
Wallahu’alam bish Shawab.