Oleh: Kholda Najiyah
Muslimahtimes– Memasak bekal untuk suami adalah postingan remah-remah ala emak-emak Indonesia yang memang gemar curcol. Jadi kita masih di negeri yang sama, jika hal seperti itu saja mengguncang jagat maya. Jangan kaget.
Namun, yang membuat heboh tentu saja bukan sekadar cuitan itu, melainkan komentar-komentar sadis yang bernada tudingan, bahwa membekali suami adalah pekerjaan kaum tertindas.
Untungnya, komentar sadis itu jauh lebih sedikit dibanding pembelaan kaum Hawa bahwa memasakkan suami itu sangat membahagiakan. Bahkan pembelaan juga marak dari kaum Adam yang satu frekuensi, bahwa menikmati bekal istri adalah sebuah kebahagiaan.
Syukurlah, berarti kita pun masih di Indonesia. Negeri dengan kultur pernikahan tradisional yang cukup lestari, dimana istri secara sadar dan penuh kasih, mengabdi pada suami. Hatta sekadar memasakkan bekal pasangannya untuk bekerja. Hal yang mungkin sudah menjadi barang mewah saat ini.
Ya, jujur saja, berapa banyak perempuan yang masih peduli pada kebutuhan dasar laki-laki. Meski sekadar sarapan pagi atau makan siangnya. Sebab, dalam perjalanan hari, pasangan sah yang dinikahi sepenuh cinta, pada saat bersamaan juga dibenci setengah hati.
Tak sedikit istri yang terlalu lelah, merasa punya alasan untuk tidak berkhidmat sepenuh hati pada suami. Bisa dimaklum jika alasannya karena sedang di fase repot. Para ibu yang memiliki balita, memang sangat terforsir perhatiannya. Jangankan ke dapur, rengekan bayi, menahan langkahnya hingga memilih merengkuh kembali sang buah hati.
Namun, menjadi racun jika alasan tak taatnya karena mindset yang disetir ide-ide kesetaraan gender. Ide yang mengajarkan suami-istri harus sama rasa sama rata. Bahkan dalam hal lelahnya mengelola rumahtangga, debu-debu kesetaraan ini telah meracuni. “Masak cuma istri yang capek, suami juga harus merasakan capek, biar adil,” pikirnya.
Hukum aksi-reaksi pun terjadi. Kaum istri merasa berhak “membalas” perilaku yang ia anggap kurang baik dari suami, dengan mengurangi ketaatannya. “Ah, suami saja sering mengecewakan, mengapa aku harus menyenangkannya.” “Ah, suami saja pelit memberi uang belanja, untuk apa aku terlalu memanjakannya.” “Ah, suami saja ibadahnya kendor, untuk apa aku taat padanya.”
Sampai-sampai ada ungkapan, ada uang abang disayang, tak ada uang, abang ditendang. Sebagai sebuah gambaran bahwa keseimbangan hanya akan bisa terwujud jika dua belah pihak mendapatkan saling keuntungan, baik materi maupun nonmateri. Istri untung mendapat uang suami, suami untung mendapat kehangatan istri. Demikian seterusnya.
Pedoman kesetaraan ini, secara halus telah merusak relasi pasangan suami-istri. Tanpa sadar, kedua belah pihak terus menerus menuntut kesetaraan yang tak pernah terpuaskan. Istri terus menerus kecewa karena suami tak juga memenuhi tangki cintanya, tak menambah uang belanjanya, tak meromantisi dengan kata-kata mesra dan sebagainya.
Suami terus menerus kecewa karena istri makin hilang senyum mesranya, tak menghargai perjuangannya dalam mengais nafkah dan selalu menjadikan dirinya kambinghitam atas semua masalah rumahtangga.
Akibat tidak mendapat kepuasan dari pasangan, beralihlah mencari kepuasan di luar. Bahkan memutuskan melangkah ke pintu darurat perceraian. Tak ayal jika angka depresi istri meningkat tajam. Perselingkuhan marak. Angka gugat cerai melejit.
Padahal, berkhidmat pada suami tak mensyaratkan apapun, selama dalam koridor syariat. Taat tanpa syarat. Demikian pula bagi suami, berlaku makruf pada istri pun tak mensyaratkan apapun. Makruf tanpa syarat. Saling memberi dan menerima sebagai dua sahabat yang terikat akad. Sahabat dalam taat, agar tak membuka pintu saling berkhianat.
Inilah peran pernikahan tradisional yang kian langka. Untuk itu, penting mendudukkan kembali kaum perempuan di kursi yang telah diperintahkan agama. Istri yang selalu taat suami, qona’ah dan bersyukur atas perannya. Ini kedudukan alamiah yang menentramkan.
Menjadi ibu tradisional, kini bahkan menjadi cita-cita yang dikejar para perempuan modern. Mereka merindukan kehangatan keluarga. Contohnya Danielle, ibu dua anak asal Amerika Serikat. Ia merupakan sosok perempuan modern yang terpesona pada “kehangatan zaman dulu”.
Ia mengaku bahagia bisa menjalankan peran sebagai istri tradisional di tengah tudingan sebagai kemunduran. Menurutnya, menjadi ibu rumah tangga bukanlah bentuk “ketaklukan” seorang perempuan kepada kaum pria. “Ibu rumah tangga tradisional di abad ke-21 bukan suatu penindasan, melainkan suatu pembebasan,” katanya pada ABC.
Perempuan modern yang memilih menjadi ibu rumahtangga tradisional adalah gambaran dari otonomi. “Mereka tinggal di rumah bersama anak-anak bukan karena dipaksa. Mereka juga tidak dipaksa bekerja di luar rumah. Mereka sendiri yang memilih,” ujarnya (abc.net.au).
Media sosial di Amerika Serikat dan Inggris, telah melahirkan kelompok-kelompok ibu tradisional ini. Mereka adalah elemen yang secara terbuka mendukung perlunya sikap taat seorang istri kepada suaminya.
Jangan khawatir, gerakan ini tidak mengajak untuk “menyembah” suami bak raja dan hidup istri hanya didedikasikan untuk meladeninya. Tidak. Ini adalah ajakan agar memandang hubungan dengan suami sebagai pasangan. Danielle mengatakan, gaya hidup tradisional merupakan kemewahan di abad ke-21 dan tidak semua orang bisa melakukannya.
Hal senada diungkapkan Bec, wanita asal Adelaide yang mengelola grup Facebook untuk para “perempuan tradisional. “Faktor pemersatunya adalah kepercayaan jika masyarakat dan individu diuntungkan dengan adanya orang yang menjaga unit keluarga, merawat generasi penerus untuk memegang nilai-nilai dan pengenalan kembali keluarga dan agama sebagai fokus kehidupan,” paparnya.
Gerakan istri tradisional masih baru di Australia. “Tiga tahun lalu, mungkin saya satu-satunya orang Australia dalam gerakan ini. Tapi kini mulai muncul satu per satu,” kata Bec kepada ABC.
Maka, salah kaprah jika kaum istri “memusuhi” para suami. Sebagaimana ungkapan Part Roberston yang sangat terkenal,
“The feminist agenda is not about equal rights for women. It is about a socialist, anti-family political movement that encourages women to leave their husbands, kill their children, practice witchcraft, destroy capitalism and become lesbians.”
Pendek kata, Feminist hanya menghasilkan istri yang melawan suami, menceraikan mereka, meyatimkan anak-anaknya, dan bahkan menjadi lesbian. Sebuah kerugian teramat besar, pada saat semestinya seorang perempuan dapat membangun kebahagiaan yang membebaskan bersama pasangan.
Jadi, jika ada yang meledek istri yang memasak bekal suami, sesungguhnya dialah yang mengalami kemunduran. Sebaliknya, memasakkan bekal suami adalah pilihan kemewahan di abad milenial. Selamat memasak!(*)
Bogor, 2 Juli 2020