Oleh : Wahyu Utami, S.Pd
(Guru di Bantul Yogyakarta)
Muslimahtimes– Presiden Jokowi akhirnya menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, pada 4 Mei 2020. Waktu pelaksanaan pemungutan suara yang semula dijadwalkan pada 23 September 2020 sebagaimana yang dicantumkan pada UU No 10 Tahun 2016, kini sudah diputuskan menjadi Desember 2020 (times indonesia.com, 18/6/2020).
Perpu tersebut menjawab pro kontra penundaan pilkada yang telah terjadi sejak pandemi korona melanda dunia tak terkecuali Indonesia. Salah satu alasan yang menguatkan dilanjutkannya pelaksanaan Pilkada 2020 adalah agar tak banyak kekosongan jabatan. Pilkada di tengah pandemi ini diharapkan mampu memilih pemimpin daerah yang baik. Diharapkan berbagai permalahanan rakyat akan ditangani dengan cepat dan tepat. Benarkah demikian? Mampukah pilkada memberi harapan kepada rakyat yang sudah hampir putus asa ini? Bagaimanakah gambaran proses pemilihan kepala daerah di dalam Islam? Tulisan ini mencoba untuk menguraikannya.
Ada beberapa permasalahan yang harus dipertimbangkan pemerintah saat menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi, diantaranya :
Pertama, waktu penyelenggaraan yang mepet sehingga dikhawatirkan kurang persiapan. Sedang pemerintah harus menyiapkan berbagai tahapan panjang pilkada, sarana prasarana sesuai protokoler kesehatan covid-19 dan lain lain.
Kedua, penyelenggaraan pilkada memerlukan dana yang besar padahal permasalahan pokok rakyat selama pandemi ini masih banyak yang belum terselesaikan. Hal ini berpotensi mencederai nurani rakyat kecil sehingga sangat mungkin terjadi ketidakpercayaan kepada pemerintah.
Ketiga, kerawanan dalam bentuk konflik dan kerusuhan sosial berpotensi muncul. Apalagi situasi wabah ini telah memunculkan stres di tengah masyarakat. Disulut dengan sedikit isu kecurangan saja, maka sangat mungkin akan mengobarkan kerusuhan massa.
//Buah Demokrasi//
Berbagai masalah yang sangat mungkin muncul dalam pelaksanaan pilkada di tengah pandemi tidak bisa dilepaskan dari sistem yang dianutnya yaitu demokrasi sekular. Padahal setiap pergantian pemimpin, rakyat selalu menggantungkan asa yang tinggi akan kehidupan yang lebih baik.
Mengapa demokrasi selalu hanya memberikan harapan semu dan tidak pernah bisa melahirkan pemimpin yang baik? Dalam sistem demokrasi, penguasa yang terpilih adalah orang-orang yang mempunyai uang atau dekat dengan pihak yang mampu memberi modal uang. Mengapa demikian? Karena seseorang yang hendak maju dalam pemilihan pemimpin baik pemilihan presiden, gubernur maupun bupati membutuhkan biaya yang sangat besar. Angka uang yang dibutuhkan dalam kisaran milyaran sampai trilyunan. Bahkan Razli Ramli mengaku pernah diminta menyiapkan uang 1,5 Triliun untuk bisa maju sebagai calon presiden. Dana triliunan rupiah tersebut harus dikeluarkan untuk membayar partai-partai pendukungnya (pikiranrakyat.com, 28/6/2020).
Dengan demikian, pada tahap pencalonan saja uang sudah ikut bermain. Hanya pihak yang punya modal saja yang bisa mencalonkan diri. Saat terpilihpun, tentu ia akan memperjuangkan kepentingan partainya atau pengusaha yang memberinya modal.
Alaa kulli haalin, pilkada tidak akan mengubah apapun kecuali hanya pergantian pemimpin saja. Sedang pemimpin yang terpilih juga tidak menunjukkan kualitas pemimpin yang baik karena sudah cacat sejak awal pencalonannya. Lebih dari itu, pilkada juga bagian dari produk sistem rusak saat ini yaitu demokrasi sekular. Lalu bagaimanakah gambaran proses pemilihan pemimpin daerah di dalam Islam?
//Pemilihan Kepala Daerah di dalam Islam//
Di dalam Islam, setelah khalifah terpilih, maka khalifah akan mengangkat para kepala daerah baik wali (gubernur) maupun amil (bupati). Hal ini sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw saat mengangkat Muadz bin Jabbal sebagai kepala daerah di Yaman. Cara ini memang memungkinkan terjadinya KKN. Akan tetapi harus kita pahami ada perbedaan mendasar pemimpin yang dipilih dalam sistem Islam dan demokrasi. Di dalam sistem Islam, pemimpin yang diangkat adalah seseorang yang beriman dan bertakwa. Pemimpin dipilih untuk melaksanakan kitabullah dan Sunnah Rasul. Oleh karena itu, tentu Khalifah akan memilih kepala daerah yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut.
//Peran Politik Rakyat//
Sekalipun pemimpin dipilih oleh khalifah, tetapi rakyat tetap mempunyai kesempatan untuk berperan di dalamnya. Peran tersebut adalah :
Pertama, rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan usulan orang yang dipandang layak menjadi kepala daerah. Usulan ini disampaikan kepada Majelis Umat yang merupakan majelis perwakilan rakyat.
Kedua, rakyat berperan mengontrol kepala daerah dengan mekanisme muhasabah lil hukam yang merupakan kebiasaan yang telah melekat kuat dalam kehidupan berpolitik Islam. Muhasabah ini dilakukan agar pemimpin selalu mengatur urusan umat sesuai syariat Islam.
//Khotimah//
Pandemi ini telah memberikan banyak pelajaran kepada kita akan buruknya sistem yang diterapkan saat ini. Perbaikan negeri ini tidak hanya butuh pergantian pemimpin yang baik lewat proses pilkada. Apalagi proses pilkada juga tidak memberi jaminan akan terpilih pemimpin baik dambaan umat.
Oleh karena itu, yang dibutuhkan saat ini adalah new sistem. Hal ini tidak mungkin terwujud kecuali sistem yang berasal dari Dzat yang Maha Mengetahui yaitu Alloh SWT. Sistem tersebut adalah Daulah Khilafah ala Minhaj Nubuwwah.. Alloh SWT berfirman di dalam QS Al Maidah ayat 50 yang artinya, “Apakah sistem jahiliyah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik sistem hukumnya dibandingkan dengan Alloh bagi orang-orang yang yakin?” Saatnya seluruh kaum muslimin rapatkan barisan, bersatu dan berjuang mewujudkannya. Wallohu a’lam bish showab.