Oleh : Syarifa AshillahÂ
Pemerhati lingkungan dan sosial
(Penajam Paser Utara, Calon IKN)
Kalimantan Timur
Muslimahtimes– Sudah empat purnama virus corona menghantui negeri. Belum ada tanda-tanda makhluk ini angkat kaki. Malah makin banyak rakyat yang terinfeksi virus dari Wuhan ini. Berdasarkan data yang disampaikan oleh juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona, Achmad Yurianto, jumlah kasus secara nasional masih bertambah sejak kasus pasien pertama terinfeksi virus corona diumumkan pada 2 Maret 2020. Untuk Provinsi Kalimantan Timur tercatat kasus positif 518 orang, sembuh 385 sedang korban meninggal 7 orang. (Kompas.com, 30/06/20)
Termasuk calon ibukota negara (IKN), Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) tak luput dari bayang-bayang virus dari Wuhan ini. Sejumlah strategi diambil Pemerintah Daerah untuk mencegah meluasnya penyebaran Covid-19. Dan Pemerintah Penajam Paser Utara (PPU) berencana menggelar rapid test massal tak tanggung-tanggung, sebanyak 12 ribu alat rapid tes disiapkan untuk kegiatan ini. Juru Bicara Gugus Tugas (Gugas) Percepatan Penanganan COVID-19 kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), dr. Arnold Wayong mengatakan, “Gugas telah mengadakan 12 ribu rapid tes untuk pelaksanaan Rapid tes massal dalam waktu dekat ini.” Walau, hingga kini alat rapid tes tersebut masih dalam proses pembelian dan diperkirakan Juli baru tersedia di PPU. (Idn.times, 23/06/20)
Pemkab PPU melakukan pengadaan secara mandiri melalui rekanan pihak swasta, buatan dari Tiongkok. Selain itu PPU juga mendapatkan bantuan seribu unit rapid tes dari pemprov Kaltim. Dan sudah 200 unit telah dibagikan kepada puskesmas yang berada di PPU. Namun sayangnya Rapid tes massal rencananya akan terlebih dahulu dilaksanakan untuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang selama ini memberikan pelayanan langsung ke masyarakat seperti Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil), Dinas Kesehatan, Puskesmas, dan lainnya. Sementara, bagi masyarakat umum untuk pemeriksaan rapid test di RSUD Ratu Aji Putri Botung (RAPB) secara mandiri dengan berbayar. Dari Direktur RSUD RAPB PPU, dr. Janje Grace Makisurat, mengatakan tarif rapid tes Rp428 ribu untuk pasien baru, dan Rp412 ribu bagi pasien lama. Gratis hanya untuk pasien puskesmas yang bakal di rujuk ke RSUD RAPBÂ .
Wajar memang harga yang dipatok selangit bagaimana tidak Pemkab PPU membeli alat tersebut dengan harga per unit Rp300 ribu melalui rekanan pihak swasta. Di beberapa daerah di Indonesia memang mahalnya pemeriksaan covid-19 telah menjadi buah bibir. Tingginya biaya tes Covid-19 menjadi beban tersendiri bagi masyarakat. Apalagi tes covid-19 digunakan untuk beberapa hal misal untuk perjalanan.
Mahalnya rappid tes menurut Pengamat kebijakan publik dari dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menyebutkan, saat ini terjadi “komersialisasi” tes virus corona “Banyak RS saat ini yang memanfaatkan seperti aji mumpung dengan memberikan tarif yang mahal dan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Itu akibat dari tidak ada aturan dan kontrol dari pemerintah,” kata Trubus. Namun pernyataan komersialisasi tes virus di bantah oleh pihak Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) membantah bahwa rumah sakit swasta melakukan aji mumpung dalam biaya tes rapid dan swab. Menurut pihaknya harus membeli sendiri perlengkapan dan alat tes maka tak heran harga mahal berbeda jika pemerintah menyediakan semua bisa saja gratis.
Dengan banyaknya aduan masyarakat terkait mahalnya pemeriksaan covid-19. Maka Ombudsman RI melakukan investigasi. Terutama terkait harga alat Rapid tes. Hasilnya adalah harga alat Rapid tes hanya Rp 75 ribu/buah (viva.co.id). Sedang di rumah sakit pemeriksaan itu berbayar dari Rp 300 ribu sampai Rp 1 juta. Padahal jika melihat anggaran dana Pemerintah pusat cukup besar sekitar Rp 677 triliun. Rp 87,55 triliun diperuntukkan bagi bidang kesehatan. Seharusnya Rapid tes bisa gratis untuk semua lapisan masyarakat tak hanya untuk golongan tertentu saja. Sehingga dapat tercapai pelayanan kesehatan yang adil karena kesehatan merupakan kebutuhan dasar rakyat yang harus di penuhi negara tanpa pandang bulu baik pekerjaan, agama, ras dan status semua wajib menerima pelayanan kesehatan secara gratis.
Dalam pandangan Islam, kesehatan jauh melampaui pandangan dari peradaban mana pun. Islam telah menyandingkan kesehatan dengan keimanan, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Mintalah oleh kalian kepada Allah ampunan dan kesehatan. Sesungguhnya setelah nikmat keimanan, tak ada nikmat yang lebih baik yang diberikan kepada seseorang selain nikmat sehat.” (HR Hakim).
Dan menjadikan kesehatan sebagai kebutuhan dasar untuk semua rakyat baik musim maupun non-muslim. Maka tak heran dalam sejarah Daulah Islam (kekhilafan Islam) banyak institusi layanan kesehatan yang didirikan, agar kebutuhan masyarakat terhadap layanan kesehatan gratis terpenuhi. Di antaranya adalah rumah sakit di Kairo yang didirikan pada tahun 1248 M oleh Khalifah al-Mansyur, dengan kapasitas 8000 tempat tidur, dilengkapi dengan masjid untuk pasien dan chapel untuk pasien Kristen. Selain memperoleh perawatan, obat dan makanan gratis tetapi berkualitas, para pasien juga diberi pakaian dan uang saku yang cukup selama perawatan. Hal ini berlangsung selama 7 abad. Juga Rumah Sakit An-Nur yang didirikan pada masa Khalifah Bani Umayyah, al-Walid, tahun 706 M, di Damaskus. Rumah sakit ini menjalankan fungsinya selama 8 abad. Juga pada masa Nizhamul Muluk, di Kota Ray didirikan rumah sakit bersalin terbesar untuk seluruh Persia. Sampai saat ini sisa-sisa kejayaannya masih dapat kita lihat.
Pelayanan yang berkualitas dan gratis didapatkan rakyat bukan kebetulan semata. Tapi karena sistem Islam yang komprehensif mengatur semua sehingga sistem tersebut melahirkan kebijakan untuk kemaslahatan rakyat. Kepala negara sadar betul bahwa ia adalah seorang yang akan di mintai pertanggungjawaban akan apa yang dipimpinnya sesuai dengan hadis Rasulullah SAW “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab untuk orang-orang yang dipimpin. Jadi, penguasa adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya.” (Bukhari dan Muslim).
Belum lagi sistem ekonomi Islam yang diterapkan mampu menghasilkan negara yang kuat dari segi finansial maka dapat menjamin gratisnya kesehatan.
Namun berbeda dengan sistem saat ini. Di mana Indonesia menerapkan sistem kapitalisme. Sesuai dengan namanya landasan untuk melakukan sesuatu adalah keuntungan semata. Maka tak heran jika negara selalu menghitung untung rugi jika ingin menetapkan suatu kebijakan. Bukan lagi tentang kemaslahatan rakyat. Pemerintah hanyalah regulator bukan sebagai penanggung jawab penuh untuk melayani rakyatnya. Juga karena salahnya pengurusan ekonomi dalam negeri ini, membuat negera tak memiliki dana yang cukup. Sehingga rakyat terpaksa memenuhi kebutuhan dasarnya secara mandiri.
Maka jika ingin berhasil sebagaimana negeri Islam sukses dalam pelayanan kesehatan maka terlebih dahulu mencampakkan sistem yang bercokol di negeri ini. Karena sistem yang ada hanya membuat Indonesia dikuasai dan disetir oleh segelintir orang saja para kapital. Maka tak heran hanya keuntungan semata yang dikejar. Dan seyogianya masyarakat sadar tentang sistem ini yang terus membuat rakyat menjadi korban. Dan kembali pada sistem Islam yang memanusiakan manusia.