Oleh : drg. Nurus Sa’adah (revowriter Surabaya)
Muslimahtimes – Pandemi covid-19 hingga kini belum usai. Tren kenaikan kasus masih terus terjadi. Tercatat per tanggal 9 Juli 2020, terjadi penambahan kasus baru terkonfirmasi positif sebanyak 2.657 kasus. Penambahan itu menyebabkan saat ini totalnya ada 70.736 kasus Covid-19 di Tanah Air, terhitung sejak kasus pertama diumumkan pada 2 Maret 2020. Jumlah 2.657 kasus baru merupakan angka terbanyak sejak awal pencatatan kasus Covid-19 di Tanah Air. Penambahan terbesar terdapat di Jawa Barat.sebanyak 962 kasus,disusul Jawa Timur dengan 517 kasus baru, DKI Jakarta mencatat 284 kasus baru, Sulawesi Selatan ada 130 kasus baru, dan Sulawesi Utara dengan 126 kasus baru. Provinsi lain yang mencatat penambahan kasus di atas 100 pasien adalah Jawa Tengah dengan 120 kasus baru, Kalimantan Selatan dengan 108 kasus baru, dan Sumatera Utara dengan 108 kasus baru.
Di tengah kondisi berkecamuknya wabah, nampaknya penguasa negeri ini gagal menempatkan skala prioritas dalam menetapkan kebijakan paling urgen yang dibutuhkan masyarakat. Alih-alih memaksimalkan anggaran dan pemikiran agar pandemi bisa ditangani dan segera dihentikan, penguasa malah sibuk menyiapkan skenario pilkada (pemilihan kepala daerah) serentak di tahun ini. Setelah terhentinya proses persiapan pelaksanaan pemilu karena adanya pandemi, pilkada serentak yang semula dijadwalkan pada bulan September, KPU memutuskan untuk mengadakan pilkada serentak pada 9 Desember 2020.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengharapkan gelaran Pilkada 2020 dapat segera digelar meski di tengah pandemi virus Corona. Namun, Tito memastikan gelaran Pilkada 2020 harus mematuhi protokol kesehatan Covid-19. Diantaranya dengan menggunakan masker, sarung tangan, hand sanitizer, face shield, terutama di tahapan-tahapan yang bersentuhan adanya potensi kerumunan, Diantaranya adalah pada tahapan pemutakhiran data pemilih pada 15 Juli sampai dengan Agustus, dan pada tahap pendaftaran pasangan calon dan pengundian.
Seruan kepatuhan terhadap protokol Kesehatan ini bukanlah hal baru semenjak diberlakukannya kebijakan new normal. Faktanya, setelah kebijakan new normal diberlakukan meski dengan seruan protokol kesehatan, angka kejadian covid-19 terus bertambah.
Penegakan protokol Kesehatan bukan menjadi satu-satunya jaminan keamanan nyawa manusia di tengah wabah, karena butuh aspek lain untuk mengantisipasi penularan wabah ini, diantaranya pendeteksian orang sehat dan sakit yang harus dilakukan secara massif dan cepat, kemudian memisahkannya.
Saat ini, tren kejadian penderita covid-19 banyak berupa OTG (orang tanpa gejala). Selain itu, kesadaran masyarakat yang rendah serta cenderung memikirkan kepentingan diri sendiri, menjadi salah satu alasan disangsikannya penegakan protokol kesehatan. Terlebih, belum terstandarnya poin-poin protokol kesehatan yang diberlakukan. Misalnya jenis masker yang mampu melindungi dari droplet, pemakaian masker yang benar, cara cuci tangan yang benar, jaga jarak minimal, syarat tempat yang harus memiliki sirkulasi yang baik, dll. Maka memaksakan terselenggaranya pilkada serentak yang membuka lebar peluang berkerumunnya massa, meski dengan anjuran protokol kesehatan, adalah salah satu bentuk kebijakan minim empati di tengah berkecamuknya pandemi. Di samping itu, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pernah merinci bahwa 40 dari 261 kabupaten atau kota yang akan menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020 masuk dalam zona merah penyebaran virus corona. 99 kabupaten atau kota lainnya masuk di zona oranye, 72 di zona kuning, dan 43 berada di zona hijau penyebaran Covid-19.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pesta demokrasi adalah pesta politik berbiaya mahal. Plt Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar mengungkapkan, pasangan calon kepala daerah bisa mengeluarkan biaya ratusan miliar hingga triliunan rupiah untuk biaya pemilihan kepala daerah (pilkada). Menurut Bahtiar, biaya minimal yang harus dikeluarkan paslon di kisaran Rp 25 miliar hingga Rp 30 miliar. KPU sendiri mengajukan anggaran sebesar Rp 4,77 trilyun untuk penyelenggaraan pilkada serentak 2020.
Pemilu dalam paradigma sistem demokrasi, adalah satu-satunya cara untuk mengantarkan penguasa di kursi kekuasaannya, sebagai perwujudan konsep kedaulatan di tangan rakyat. Sayangnya, cacat bawaan demokrasi yang meletakkan hak/wewenang membuat hukum ada di tangan rakyat/ada di kepala manusia yang diwakili oleh penguasa terpilih, menjadikan hukum/aturan yang dijalankan disandarkan pada kepentingan penguasa dan tim sukses dibelakangnya. Inilah yang menjadikan lahirnya aroma korporatokrasi tercium dengan sangat kuat, dimana setiap kebijakan yang dihasilkan penguasa selalu berpihak kepada kepentingan para korporat pemilik modal. Yaitu mereka yang berjasa besar dalam menyokong naiknya penguasa di kursi kekuasaan. Dan rakyat ujung-ujungnya hanya menjadi tumbal.
Lingkaran oligarki pun tumbuh subur dalam sistem cacat demokrasi ini. Kekuasaan hanya berputar pada sekelompok kecil masyarakat, baik menurut kekayaan, keluarga maupun militer. Di ajang pilkada, kita menyaksikan begitu tampaknya dinasti kekuasaan berdasarkan kekerabatan. Begitu pula di rezim saat ini, kursi kekuasaan dikelilingi oleh orang-orang yang kekayaannya terkait satu sama lain.
Demokrasi hanya menjadikan rakyat seolah seperti pendorong mobil mogok. Dibutuhkan bantuannya untuk mendorong mobil ke tujuan, setelah itu pergi ditinggalkan. Sungguh sangat menyakitkan pemaksaan pesta demokrasi di tengah pandemi. Ini adalah bentuk arogansi. Padahal rakyat tak butuh adu janji, tapi butuh solusi hakiki. Solusi yang mampu menyelesaikan masalah rakyat hingga ke akar peroblematika, yaitu penerapan sekulerisme-demokrasi yang menjadi biang kerok berbagai permasalahan negeri. Misalnya seperti masalah carut marutnya penanganan pandemi.
Sistem sekulerisme-demokrasi tidak bisa mewujudkan sistem politik yang tulus melayani dan menjaga nyawa rakyat. Karena penguasa hanya digariskan sebagai regulator pembuat aturan, bukan penanggung jawab atas setiap individu rakyat. Sistem ekonomi yang tegak di atasnya pun sangat rapuh. Menjadikan pajak dan utang sebagai jantung penggerak ekonomi. Kebebasan kepemilikan melahirkan swastanisasi hajat hidup publik yang berujung pada komersialisasi berbagai sektor strategis dan menjadi ajang bisnis. Akhirnya negara mengalami kesulitan keuangan, minim anggaran dan rentan krisis. Belum lagi munculnya problem lain seperti masyarakat yang acuh dan individualis. Khas corak masyarakat yang menjunjung ide HAM. Menambah keruwetan penanganan pandemi karena hanya memikirkan kesenangan diri sendiri. Tak peduli jika dirinya bisa menjadi media penularan bagi orang lain yang rentan. Asyik wisata, gowes, dan jalan-jalan.
Satu masalah penyelesaian pandemi ini hanyalah satu contoh, bagaimana menuntaskan problematika hari ini tidak sekedar bongkar pasang orang. Beradu argumen dan bantuan. Tidak! Karena keruwetan berbagai persoalan hanya akan selesai jika muara kusutnya dipotong dan dibuang. Kemudian dipilih sebuah sistem baru yang melahirkan kemaslahatan. Yaitu sistem Islam.
Dengan penerapan sistem Islam secara kaffah, akan terlahir pemimpin adil dan amanah. Ia dipilih oleh keridhoan rakyat, namun aturan yang dibuat tak boleh berdasarkan nafsu dan akalnya. Karena kedaulatan hukum hanya di tangan syara’. Setiap permasalahan tinggal merujuk dan menggali dari Al-qur’an dan sunnah sebagai pedoman sempurna yang memuat solusi atas seluruh problem manusia yang sesuai dengan fitrahnya. Terlebih, tak perlu repot menghabiskan biaya untuk pemilu. Karena selama ia mampu dan kapabel dalam menjalankan amanah kekhalifahan, tak perlu diganti. Pemilu akan sangat hemat anggaran dan bukan untuk motif kepentingan golongan.
Maka yang paling urgen saat ini adalah, segera mengganti sistem sekularisme-demokrasi. tunggu bukti apalagi untuk segera menghentikan sistem yang kejam ini. Jangan lagi jadikan rakyat sebagai tumbal kekuasaan. Beralihlah kepada sistem Islam yang memanusiakan dan menyejahterakan. []