Oleh : Eneng Sarah, S.Pd.
Muslimahtimes – Hagia Sophia sedang menjadi sorotan dunia. Umat muslim di dunia berbahagia atas kabar kembalinya Hagia Sophia menjadi masjid setelah 86 tahun lamanya semenjak Mustafa Kemal Ataturk mengubahnya menjadi museum di tahun 1934. Pada Jum’at 10 Juli 2020 secara resmi Recep Tayyib Erdogan menandatangani dekrit presiden penetapan status kembalinya Hagia Sophia menjadi masjid (m.detik.com,11/07/2020),
tepat satu jam setelah Parlemen Turki mengetuk palu penetapan Hagia Sophia menjadi museum oleh At-taturk adalah tindakan ilegal.
Setelah pengumuman resmi itu, mulai berdatangan respon dari Uni Eropa, Amerika, Rusia, Yunani, bahkan UNESCO. Dimana para pemimpin Negara itu menyatakan kekecewaan mereka atas kembalinya Hagia Sophia menjadi masjid. Sikap ini berkebalikan dengan dunia Islam yang menyambut kabar ini dengan kebahagiaan. Selama ini UNESCO telah menetapkan Hagia Sophia sebagai warisan dunia, bangunan milik seluruh umat (m.detik.com,11/07/2020).
Menurut pandangan mereka pengubahan Hagia Sophia menjadi masjid adalah sebuah ketidakadilan bagi Umat Kristen dan Katolik. Apakah benar begitu ?
Terlepas dari pro kontra penetapan Hagia Sophia kembali menjadi masjid, bangunan megah ini memiliki kisah sejarah yang panjang dan menjadi saksi atas pergantiannya penguasa peradaban hingga hari ini. Bagi kaum muslim Hagia Sophia menjadi kenangan kejayaan peradaban Islam yang dirindukan dan sebagai saksi atas terealisasinya bisyarah Rasulullah saw dalam hadist “Sungguh Kostantinopel akan dibebaskan, sebaik–baik amir adalah amirnya dan sebaik–baik pasukan adalah pasukan tersebut” (HR.Ahmad).
Lalu dalam riwayat lain, salah seorang sahabat Nabi, Abu Qubail bercerita, “Ketika kita sedang bersama Abdullah bin Amr bin al-Ash, dia ditanya, ‘Kota manakah yang akan dibuka terlebih dahulu; Konstantinopel atau Roma?’ Abdullah meminta kotak dengan lingkaran-lingkaran miliknya. Kemudian dia mengeluarkan kitab. Lalu ia berkata, ‘Ketika kita sedang menulis di sekitar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau ditanya: Dua kota ini manakah yang dibuka lebih dulu: Konstantinopel atau Roma?’ Rasul menjawab, ‘Kota Heraklius dibuka lebih dahulu.’ Yaitu: Konstantinopel”(HR. Ahmad, ad-Darimi dan al-Hakim).
Hagia Sophia menunjukan bahwa yang dikabarkan rasul adalah benar dan pasti terjadi, dan menunjukan kemukjizatan Rasulullah saw. Bagi Umat Kristen dan Katolik Hagia Sophia menjadi kenangan kejayaan masa bizantium yang diagungkan. Pada masa kekuasaan bizantium Hagia Sophia adalah bangunan besar yang sangat indah, bangunan agung di tanah Konstatinopel yang memiliki karismatiknya sendiri. Sebelum Konstatinopel ditaklukan kaum muslim, pada kekuasaan bizantium Hagia Sophia statusnya adalah sebagai gereja yang diagungkan di kota itu.
Pada tahun 1453 Konstatinopel yang sekarang ini Istanbul berhasil ditaklukan oleh Sultan Mehmed II yang dikenal dengan gelarnya Muhammad Al Fatih yang kala itu usianya 21 tahun, beliau merealisasikan bisyarah Rasulullah saw. dan berjuang mengupayakan dirinya sebagai sebaik-baiknya pemimpin hingga bukan hanya Al Fatih yang disematkan sebagai gelarnya, ia juga dikenal dengan gelar Abu Al Khair. Setelah memasuki gerbang kota, beliau mengingatkan pasukannya untuk berlaku lembut dan baik pada penduduk kota, melarang membunuh penduduk sipil, meminta pendeta menenangkan penduduknya yang kala itu ketakutan melihat pasukan kaum muslim, bahwa mereka dijamin keamanannya oleh sang sultan. Beliau dengan kudanya menuju Hagia Sophia yang kala itu statusnya sebagai gereja, kemudian beliau turun dari kudanya, berjalan beberapa langkah, lalu bersujud kepada Allah, mengambil segenggam tanah, lalu menumpahkannya ke atas surbannya, sebagai bentuk syukur dan kerendahan hatinya bahwa dia hanyalah manusia biasa yang berasal dari tanah, kemenangan besar ini tak lain karena pertolongan Allah SWT. Kemudian Al Fatih memerintahkan untuk menyiapkan Hagia Shophia menjadi masjid (disarikan dari Buku Muhammad Al Fatih 1453). Muhammad Al Fatih tidak menjadikan Hagia Shophia sebagai masjid dengan cara merampasnya. Melainkan dengan meminta pada pemimpin gereja Hagia Shophia saat itu untuk beliau beli dengan harta miliknya sendiri, bukan harta rampasan perang ataupun dari kas ustmani saat itu. Begitulah sikap luar biasa yang diperlihatkan oleh sang sultan. Kemudian kota yang ditaklukan itu berubah nama menjadi Islambul. Kota itu menjadi bagian dari wilayah kekhilafaan Islam dan Hagia Sophia menjadi saksi saat peradaban berada di tangan Islam.
Setelah kurang lebih 5 abad Hagia Sophia menjadi masjid, datanglah langit kelabu untuk umat Islam. Tepat di tahun 1924 Mustafa Kemal Ataturk secara resmi mengumumkan diubahnya Ustmani dari kekhilafahan menjadi Republik Turki, mengubah nama islambul menjadi Istanbul, mengubah azan dengan menggunakan Bahasa Turki, melarang jilbab dan pakaian yang ke arab-araban , begitu pula pada tahun 1934 sepuluh tahun setelah penghapusan Khilafah Islam, Hagia Sophia diubah statusnya menjadi museum. Saat itu menandakan peradaban sedang dipergilirkan dari Islam ke tangan penguasa sekuler.
Hari ini, kritikan berdatangan dari dunia barat atas kembalinya Hagia Sophia menjadi masjid. Karena Hagia Sophia memiliki sejarah panjang yang salah satunya tidak bisa dipisahkan dari umat Nasrani. Sehingga menurut mereka bangunan karismatik ini adalah bangunan milik seluruh umat. Tapi benar apa yang disabdakan Rasulullah saw. dari lisan beliau yang mulai dan tidak pernah berdusta bahwa sang penakluk adalah sebaik-baiknya pemimpin. Ketika dunia mulai protes mereka dibungkam dengan dokumen bukti bahwa Hagia Sophia adalah properti pribadi sang Sultan Muhammad Al Fatih (www.portal-islam.id,12/07/2020).
Wakaf pribadi sang sultan untuk kaum muslim, sehingga pihak luar tidak bisa ikut campur terkait penetapan status Hagia Sophia karena itu ada di ranah internal Negara Turki. Maka tidak berlebihan jika Muhammad Al Fatih disebutkan sebagai contoh seorang pemimpin yang memiliki ketajaman mata hati hingga bisa melihat suatu perkara jauh beratus-ratus kemudian.
Kaum muslim harus menahan rindu selama ini, 86 tahun merindukan Hagia Sophia kembali menjadi masjid, merindukan suara adzan berkumandang darinya, merindukan merapatkan barisan berjama’ah takbir menghadap sang Ilahi di dalamnya. Namun tak hanya sampai disini kerinduan ini, karena masih ada rindu yang harus ditebus yaitu 96 tahun ketiadaan Khilafah Islam yang menerapkan Syariat Islam secara Kaffah, yang menyebarkan Islam sebagai Rahmat Lil ‘Alamin, yang memperlihatkan makna toleransi sesungguhnya seperti yang dicontohkan sang sultan dalam kisahnya, yang menghapus penindasan dan perampsan karena nafsu belaka seperti yang terjadi pada Muslim Rohingya, Kashmir, Uyghur, permasalahan ras di dunia barat dsb. Rindu ini belum sepenuhnya terbayarkan karena masih ada Al Aqsha yang menunggu dibebaskan masih ada Roma yang menagih janji untuk ditaklukan. Apakah semua ini bisa terealisasikan tanpa Khilafah ?
Kembalinya Hagia Sophia menjadi masjid telah memulangkan sebentar pikiran kita pada masa lalu bagaimana agungnya kehidupan yang diatur Syari’at Islam. Khilafah bukanlah hal yang menakutkan sebagaimana yang sudah digambarkan dibanyak kisah kehebatan peradaban Islam itu ada di masa kekhilafaan, khilafah bukanlah kekuasaan untuk memuaskan satu kaum atau satu umat agama saja tapi sistem pengaturan kehidupan yang tunduk pada syari’at. Jihad dan futuhat juga bukanlah peperangan yang didasarkan nafsu dan haus kekuasaan semata tapi karena bentuk ketaatan pada Allah, sebuah kemuliaan untuk menggapai janji Allah, dan didasarkan cinta agar seluruh dunia bisa tersentuh mulianya Islam, Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS.Al-Baqarah ayat 218).
Sebagaimana Muhammad Al Fatih mempersipakan dirinya sebagai sebaik-baiknya pemimpin, Umat Islam hari ini pun harus melayakkan diri agar Allah tolong hingga Islam dapat kembali memimpin menyatukan kaum muslim, Al Aqsha dapat pula dibebaskan, bahkan bisa membuka Roma sebagaimana yang dibisyarahkan Rasulullah saw.
Wallahu’alam bishowab.[]