Oleh Anita Irmawati
#MuslimahTimes — Ancaman resesi ekonomi semakin nyaring berbunyi.Satu per satu negara mulai jatuh ke jurang resesi akibat pandemi, seperti Korea Selatan dan Singapura. Bahkan pakar ekonomi mengatakan masuknya Korea Selatan dan Singapura dalam resesi menjadi indikator bahwa Indonesia juga akan mengalami nasib yang sama, mengingat kedua negara tersebut merupakan mitra-mitra perdagangan yang cukup besar (BBB News, 27/07/20).
Ancaman resesi ekonomi mulai mengintai Indonesia, pemerintah tak tinggal diam untuk menghindari jurang resesi. Beberapa kebijakan mulai disusun agar terhindar dari resesi, seperti Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto yang akan melakukan belanja pemerintah secara besar-besaran, yang dinilai akan berpengaruh pada permintaan dalam negeri meningkat serta dunia usaha tergerak untuk berinvestasi. Senada dengan Menteri Perekonomian, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu menyatakan bahwa anggaran justru harus dibelanjakan sebanyak-banyaknya dan mengubah mindset Kemenkeu yang menggunakan anggaran secara hemat (Tempo.co, 27/07/20).
Padahal sebelum Corona melanda Indonesia selalu mengalami perekonomi yang lemah. Hal ini terbukti dengan fakta kesenjangan sosial antara kaya dan miskin yang makin menjadi. Bahkan angka pengangguran semakin tinggi akibat minimnya lapangan pekerjaan, juga dengan inflansi yang membuat harga-harga kebutuhan pokok semakin meninggi tak terkendali. Namun pemasukan kian berkurang tak seimbang dengan pengeluaran membengkak. Begitupula halnya dengan APBN yang selalu defisit dan tumpukan hutang yang kian menggunung. Apalagi dengan adanya dampak pandemi yang membuat situasi semakin bertambah rumit.
Pandemi Bukan Penyebab Inti Resesi
Pandemi selalu disalahkan sebagai penyebab terjadinya kekacauan. Berbagai tuduhan itu turut menyasar pandemi yang membuatnya disudutkan menjadi penyebab inti. Namun sayangnya sebelum pandemi menghampiri, keadaan ekonomi sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. Banyak koorporasi yang menguasai dengan monopoli pasar hingga keuntungan lipat ganda yang didapat dari bunga kredit.
Jangan tanya bagaimana situasi rakyat jelata yang jauh dari kata layak dalam memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Yang kaya semakin kaya dengan banyak harta, namun yang miskin semakin miskin dengan keterbatasan dalam pemenuhan kehidupan. Ya, hal ini merupakan akibat dari perekonomi yang hanya dimainkan oleh segolongan orang. Padahal hal itulah yang selalu dijalankan oleh pemerintah saat ini. Namun hal itu menyebabkan pemerataan ekonomi tak akan terealisasi.
Padahal penyebab inti bukan sekedar bermula dari pandemi semata, namun ada fondasi ekonomi yang membuat resesi sangat mungkin terjadi, bahkan mampu mengantarkan pada depresi ekonomi dan keterpurukan kehidupan. Tentu hal ini berkaitan erat dengan aturan dan sistem ekonomi serta politik suatu negara, mengingat adanya negara adidaya yang menjadikan tolak ukur bagi negara pengikut memberikan pengaruh tersendiri terhadap kehidupan. Tentu jika negara adidaya mengalami goncangan maka negara pengikut akan lebih parah merasakan akibat dari goncangan tersebut.
Jika kita telisik, ternyata terdapat fondasi ekonomi yang tidak kokoh untuk dijadikan pijakan. Salah satunya sistem moneter/keuangan yang dilandasi dengan pilar-pilar yang tidak stabil. Pertama, penggunaan mata uang kertas. Salah satu penyebabnya adalah penggunaan mata uang kertas yang selalu mengalami penurunan nilai tukar. Padahal nominal pada uang kertas selalu mengalami penurunan secara drastis, hanya besar angka namun kecil akan nilai. Mata uang yang tidak stabil sangat berpengaruh pada jual-beli internasional, karena mengharuskan mengikuti nilai dollar sebagai mata uang internasional.
Kedua, adanya bunga bank dalam bentuk uang tak nyata yang digunakan. Dalam sistem ekonomi saat ini terkenal dengan adanya bunga dalam setiap transaksi. Perbankan menjadi lembaga untuk transaksi, meminjam, kredit barang, hingga berhutang lewat kartu kredit. Tak heran suku bunga tinggi menjadi keuntungan karena semua sistem layanan perbankan banyak digunakan. Padahal uang tersebut tidaklah real/nyata dalam genggaman tangan. Hal ini jelas transaksi dilakukan dengan uang yang tidak nyata bahkan tidak ada dalam bentuk fisiknya, hanya berupa angka dalam rekaman transaksi yang dilakukan.
Selain sistem moneter (keuangan), terdapat sistem fisikal yang menyokong perekonomian. Yakni kebijakan dalam pendapatan dan pengeluaran negara. Tentu hal ini juga sangat mempengaruhi perekonomian, begitupula dengan pilar-pilar pembangunan dalam kebijakan fiskal tersebut.
Untuk pendapatan negara, Indonesia lebih kita kenal dengan pendapatan perpajakan dan pendapatan bukan perpajakan. Berdasarkan data penerima negara pada tahun 2019, realisasi pendapatan negara tersebut terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp1.545,3 triliun (86,5% dari target APBN tahun 2019), Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp405 triliun (107,1% dari target APBN tahun 2019) dan hibah sebesar Rp6,8 triliun (www.Kemenkeu.go.id, 08/01/20)
Sedangkan untuk pengeluaran negara Indonesia memiliki pos-pos tertentu, bahkan sudah menjadi “kebiasaan” pengeluaran selalu lebih besar daripada penerimaan. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, mencatatkan pemerintah pusat telah membelanjakan anggaran sebesar Rp2.310,2 triliun di sepanjang 2019 (okezone.com, 07/01/20). Hal ini jelas mengalami defisit APBN sebesar Rp 353,1 triliun.
Bahkan berbarengan dengan defisitnya APBN, negara pun melakukan hutang luar negeri dengan dalih masalah ekonomi apalagi menambahkan pandemi sebagai biang resesi. Padahal kebiasaan berutang pada luar negeri sudah menjadi tradisi. Berdasarkan data, Bank Indonesia mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia per 31 Mei 2020 sebesar Rp 5.987 triliun (asumsi kurs Rp 14.795 per dolar AS), (Katadata.co.id, 17/07/20). Utang luar negeri seperti pemasukan bahkan penerimaan negara yang selalu dilakukan. Padahal bunga yang disetujui amatlah tinggi hingga ada kebijakan negara yang mesti diatur oleh pihak pemberi hutang tersebut. Tak heran bagaimana akan dilunasi, jika bunga tinggi dan kebijakan pemerintah lemah dalam mengelola.
Solusi Sistem Ekonomi Islam
Memang benar pandemi dapat mengakibatkan resesi ekonomi karena mengakibatkan wabah yang menular dan memberhentikan kehidupan. Tetapi pandemi adalah alasan kedua setalah fondasi ekonomi negara. Terbukti sebelum adanya pandemi, negara selalu mengalami defisit anggaran dan penambahan utang luar negeri.
Dalam negara Islam, mata uang yang digunakan adalah dinar dan dirham yang terbuat dari emas bukan kertas. Terbukti nilai mata uang tersebut stabil, bahkan saat pandemi nilai jual emas semakin tinggi. Mengingat emas adalah barang tambang, yang hanya ada di lapisan bumi dan bernilai tinggi. Begitupula dengan pengharaman riba (bunga bank) secara mutlak. Artinya peredaran uang hanyalah uang real/nyata bukan lagi dengan angka dalam tulisan semata.
Begitupula dengan penerimaan dan pengeluaran negara. Islam memiliki aturan dalam kepemilikan. Dalam sistem ekonomi Islam dikenal tiga jenis kepemilikan: kepemilkan pribadi; kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Seluruh barang yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak dan masing-masing saling membutuhkan, dalam sistem ekonomi Islam, terkategori sebagai barang milik umum. Benda-benda tersebut tampak dalam tiga hal: (1) yang merupakan fasilitas umum; (2) barang tambang yang tidak terbatas; (3) sumberdaya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh individu. Kepemilikan umum ini dalam sistem ekonomi Islam wajib dikelola oleh negara dan haram diserahkan ke swasta atau privatisasi ( al-waie.id/analisis/Solusi Islam Mengatasi Krisis Ekonomi Global).
Sumber-sumber pendapatan negara lebih dibebankan kepada sumber daya alam yang dimiliki dan dikelola sendiri oleh negara. Tak ada pajak apalagi menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan. Serta pengeluaran negara memiliki pos-pos tertentu yang diprioritaskan urgensi kebutuhan tersebut. Selain itu semua aturan dijalankan oleh orang-orang yang memiliki kapabilitas dan amanah. Mengingat semua yang dikerjakan akan dipertanggung jawabkan. Maka sangat minim bahkan nol terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan penyelewengan dana negara (korupsi).
Namun hal ini mesti dilaksanakan secara sistematik dengan seluruh aturan Islam lainnya diterapkan pada sebuah negara. Karena jika semata hanya ekonomi Islam saja tanpa politik, pendidikan, sosial buka dari Islam, maka tidak akan terwujud ekonomi Islam yang diharapkan. Ini akan terjadi kepincangan dan bertabrakan antara satu kebijakan dengan yang lainnya.
Alhasil, jelas bukan hanya menengok sistem ekonomi Islam sebagai solusi resesi ekonomi global. Namun mesti menengok secara keseluruhan sistem Islam dalam mengatur kehidupan. Karena ekonomi adalah kebutuhan manusia yang mesti diatur dengan aturan untuk mengatur manusia. Maka dari itu fondasi kehidupan mesti dibenahi secara keseluruhan, bukan sekadar membenahi fondasi ekonomi demi menghindari resesi. Wallahu’alam bisahwab [].
Sumber Foto : Finance. detik.com