Oleh. Mimin Nur Handayani
#MuslimahTimes — Dunia kampus yang sejatinya ramai dengan pemberitaan prestasi mahasiswa, perkembangan riset dan penemuan penting dalam bidang ilmu sosial, ekonomi, sains dan teknologi tidak lepas dari berita miring. Salah satunya ialah kasus pelecehan seksual yang viral dengan kedok riset, mulai dari penyimpangan seksual fetish oleh mahasiswa di Surabaya hingga arus perbincangan pornografi dan swinger atau bertukar pasangan oleh seorang dosen di Jogyakarta. Bahkan tidak sedikit pula kasus kekerasan seksual yang telah terjadi baik di perguruan tinggi negeri maupun perguruan tinggi Islam.
Semisal pada tahun 2019 lalu, terjadi 174 kasus kekerasan seksual dalam kurun waktu bulan Februari-Maret yang berhubungan dengan institusi perguruan tinggi. Bahkan bulan Februari 2020 terdapat aksi yang mengecam penyimpangan seksual di wilayah kampus. Kartu merah pun sempat melayang kepada kementerian pendidikan akibat maraknya kekerasan seksual di institusi perguruan tinggi.
Aturan sekuler dunia pendidikan
Maraknya pelecehan seksual di dunia kampus harus serius ditelusuri akar masalahnya. Karena kampus punya peran besar dalam mencetak para ilmuwan, intelektual dan sumber daya manusia pengisi struktur pemerintahan negara. Melalui pengamatan dan pengkajian secara seksama, terdapat beberapa faktor penyebab gagalnya aturan sekuler dunia pendidikan dalam mengatasi tindak penyimpangan seksual antara lain :
- Kurikulum sekuler materialistis pendidikan, yang hanya mampu melahirkan profil intelektual minim pemahaman islam , lemah secara akidah keimanan, tidak paham syariat Islam dan tidak mampu membedakan yang halal dan haram.
- Kapitalisasi pendidikan. Akibat biaya pendidikan yang mahal, tidak sedikit individu kampus memiliki perilaku menyimpang lewat jalan pintas kemaksiatan tanpa standar halal haram agar cepat lulus dan segera mendapatkan kerja
- Sikap permisif dan kurang kontrol dari masyarakat terhadap pelanggaran syariat seperti halnya pemakluman aktivitas pacaran, video porno, game berkonten seks, atau interaksi yang tidak sehat lainnya. Hingga pada akhirnya melakukan tindakan amoral bukan suatu hal tabu.
- Lemahnya negara dalam memberlakukan aturan pencegahan ataupun sanksi tegas aktivitas pelecahan seksual Kontrol media yang kurang ketat oleh negara menyebabkan masih bebasnya media menayangkan tontonan berbau pornografi yang mudah membangkitkan syahwat.
Adapun solusi yang ditawarkan oleh sebagian besar tokoh maupun organisasi masyarakat ialah dorongan kuat untuk mengesahkan RUU penghapusan kekerasan seksual. Meskipun RUU tersebut sebelumnya telah ditarik mundur dari pembahasan prolegnas. Akibat terlalu banyak pasal karet dan multitafsir didalamnya yang menghasilkan banyak penolakan untuk disahkan. Memang wajar, aturan yang ada kerap menimbulkan pro kontra karena buah pemikiran akal manusia. Tidak sedikit yang syarat dengan kepentingan individu, kelompok elit, hingga kaum penjajah
Apabila dilihat berdasarkan paradigma Islam politik, akan tampak bahwa terdapat muatan western berupa sekularisasi dan liberalisasi dalam materi RUU tersebut. Seperti halnya definisi kekerasan seksual, akan terjerat jika dilakukan secara paksa. Hal ini menimbulkan kesan bahwa tindakan tanpa paksa atau suka sama suka adalah sah dilakukan. Kebebasan seksual ini dinilai selaras dengan jaminan atas hak dan kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR).
Upaya lain melalui rehabilitasi pelaku kejahatan seksual juga tidak efektif, karena lingkungan tempat hidup masyarakat masih sekuler dan liberal. Alhasil solusi semu yang ditawarkan akan menimbulkan bahaya tersamar dalam kehidupan, yakni sistem aturan yang berjalan berdasar pada sistem kapitalis-liberalis. Standar perbuatan bukan lagi halal-haram, surga-neraka, namun kepuasan materi semata. Sungguh ironis, bukan kebaikan dan keberkahan hidup yang diraih, akan tetapi keburukan bahkan kesempitan hidup.
Islam solusi pasti dunia pendidikan
Islam melarang secara tegas perbuatan apapun yang mendekatkan kepada zina. Terdapat upaya preventif untuk menghindari perbuatan amoral di lingkungan masyarakat secara umum. Setidaknya ada tiga pilar penjagaan dalam Islam terhadap hal tersebut antara lain benteng keimanan individu, kontrol masyarakat, dan sistem aturan negara.
Dengan Islam, setiap individu muslim terutama intelektual kampus ditanamkan keimanan dan ketakwaan yang kuat. Selain itu akan menghilangkan dominasi sikap hedonis dan gaya hidup liberal yang hanya mengutamakan kepuasan hawa nafsu belaka. Islam memberikan pemahaman yang benar terhadap pemenuhan hajat hidup dan naluri. Dalam hal ini individu dalam masyarakat diajarkan bagaimana menyalurkan gharizah nau’ (naluri melangsungkan jenis) dengan benar.
Dalam dunia pendidikan Islam, kaum intelektual senantiasa disadarkan bahwa punya peran besar dalam mengatasi problem masyarakat. Mereka akan disibukkan dengan berbagai riset dan penemuan-penemuan penting. Orientasi yang dikejar bukanlah materi semata, karena negara memberi jaminan pendidikan yang memadai, mulai dari biaya pendidikan murah hingga penghargaan hasil karya.
Begitu pula masyarakat disadarkan untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar (mendorong kebaikan, mencegah keburukan dan perbuatan keji). Masyarakat disatukan dengan pemikiran, perasaan dan aturan yang sama, yakni tidak senang dan akan marah jika menyaksikan perbuatan maksiat. Bukan bersikap acuh dan tidak peduli dengan kondisi sekitar, namun berusaha menegakkan syariat.
Adapun negara harus melarang semua faktor yang bisa memicu dan mendorong ke arah perbuatan maksiat semacam pelecehan seksual, seperti konten pornografi dan pornoaksi. Negara memiliki kewajiban menerapkan syariat Islam secara kaffah. Syariah Islam mengharuskan negara untuk senantiasa menanamkan akidah Islam dan membangun ketakwaan pada diri intelektual muslim dan masyarakat. Negara pun juga berkewajiban menanamkan dan memahamkan nilai-nilai norma, moral, budaya, pemikiran dan hukum-hukum syariat Islam.
Terakhir dikutip dari media umat, Islam menjatuhkan sanksi hukum yang tegas yang bisa mencegah kejahatan dan memberi efek jera. Abdurrahman al-Malikiy di dalam Nizhâm al-Uqûbât menuliskan bahwa pelaku pelecehan atau pencabulan bila tidak sampai memerkosa korbannya maka akan dikenakan sanksi penjara 3 tahun, ditambah jilid dan pengusiran. Tetapi bila memerkosa, maka pelakunya dijilid 100 kali jika ghayru mukhshan -belum pernah menikah- (QS an-Nur [24]: 2); dan dirajam hingga mati jika pelakunya mukhshan (sudah pernah menikah). Jika disertai kekerasan, maka atas tindakan kekerasan itu juga dijatuhkan sanksi tersendiri sesuai hukum syara’. Inilah solusi solutif dalam Islam untuk mencegah sekaligus menyelesaikan secara tuntas problem pelecehan seksual.