Oleh: Fera Ummu Tufail
(Aktivis Muslimah)
#MuslimahTimes — Pandemi covid-19 memang telah memukul keras perekonomian Indonesia, sebagaimana negara negara lain di dunia. Pusat statistik (BPS) Rabu (5/8/20) merilis angka pertumbuhan ekonomi triwulan II-2020 minus sebesar 5,32% dibanding triwulan II-2019. Jika dibandingkan dengan triwulan 1-2020, maka angkanya minus 4,19%.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, memproyeksi pertumbuhan ekonomi RI kembali minus pada kuartal III 2020. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi lagi pada kuartal III 2020, maka Indonesia bakal resmi masuk dalam fase resesi. Secara teoritis, suatu negara dikatakan resesi setelah pertumbuhan ekonomi yang minus selama dua kuartal berturut-turut (Kompas.com – 09/08/2020).
Resesi yang melanda sebuah negara, ditandai meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan, turunnya daya beli masyarakat, dan melemahnya neraca perdagangan internasional. Sistem ekonomi kapitalisme mengukur pergerakan berbagai variabel tersebut dalam skema angka pertumbuhan ekonomi. Jika dalam dua kuartal berturut-turut angka pertumbuhan ekonomi dalam posisi kontraksi atau negatif, maka sebuah negara mengalami situasi resesi.
Dampak tersulit yang dihadapi masyarakat dalam situasi resesi adalah meningkatnya angka pengangguran secara tajam. Dampak lanjutan dari hal ini adalah meningkatnya angka kemiskinan dan kelaparan (muslimahnews.com, 10/08/2020).
Sebenarnya, melihat data dari Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS), kondisi perekonomian Indonesia memang sudah tidak baik-baik saja sebelum datangnya pandemi COVID-19 ini. Kondisi ini diperjelas dan diperparah dengan adanya hantaman wabah yang menyerang semua lini kehidupan, utamanya dari segi perekonomian.
Untuk Indonesia, jika pertumbuhan kuartal II-2020 dibedah, maka nampak semakin jelas bahwa perekonomian kita sangat butuh pandemi ini untuk segera dikendalikan. Dan jika dibedah lebih dalam lagi semua jenis konsumsi, tumbuh minus 2 digit, yaitu minus 16,5% dan 15,5%.
Efeknya semua penjualan eceran terkontraksi mulai dari makanan, pakaian, hingga budaya dan rekreasi. Bahkan penjualan rokok yang biasanya tahan banting pun anjlok. Penjualan wholesale untuk mobil dan motor terkontraksi. Dibanding konsumsi, pembentukan modal tetap bruto (PMTB)/investasi relatif lebih lemah hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi. Namun peran investasi ini cukup besar hingga kuartal II-2020 mencapai hampir 31% dan PDB semua jenis PMTB tumbuh minus, bahkan mencapai minus 34% untuk kendaraan.
Pemerintah menyebut Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai pemicu pertumbuhan serba minus ini. Tentu saja ini adalah pandangan yang keliru. PSBB memang membatasi pergerakan orang, sehingga otomatis konsumsi dan investasi terganggu.
Di sisi lain, PSBB yang diberlakukan di Indonesia sangat longgar. Ini bisa terlihat dari pergerakan orang yang tetap tinggi selama masa pembatasan. Banyak masyarakat yang masih keluar rumah dikarenakan tidak ada jaminan pemenuhan kebutuhan sehari hari dari pemerintah.
Masalahnya bukan di PSBB, melainkan pada rendahnya kepercayaan/confidence dari konsumen dan investor. Indonesia dinilai jelek dalan mengatasi pandemi, hingga tingkat kepercayaan pada iklim perekonomian pun turut anjlok. Kepercayaan konsumen dan pelaku usaha harus dipulihkan dengan pengendalian pandemi yang bagus.
Berbagai kebijakan pun digelontorkan, mulai dari pemberian bantuan tunai untuk masyarakat tidak mampu, korban PHK, bantuan tunai untuk pekerja dengan gaji dibawah 5 juta, hingga berbagai stimulus fiskal yang bertujuan menggerakkan lagi roda dunia usaha. Bahkan pemerintah bermaksud menggenjot ekonomi melalui dana pemulihan ekonomi nasional (PEN). Mau digenjot 2x lipat pun belanja PEN tetap sulit mengganti peran konsumsi dan PMTB.
Dan adapun fakta di lapangan, masyarakat tidak mendapatkan jalan keluar untuk memenuhi kebutuhan bila terus PSBB. Keluarga-keluarga kesulitan dalam memenuhi kebutuhan. Di sisi lain, kebijakan pemerintah yang serba prematur membuat pengendalian sebaran virus ini malah semakin meluas. Bahkan beberapa daerah agar melakukan pengetatan kembali untuk menekan penyebaran virus.
Langkah yang diambil pemerintah dalam mengatasi wabah ini sangat gagap, amburadul dan terlambat. Hingga efeknya berlarut-larut dan makin meluas. Kebijakan new normal yang diterapkan juga tidak tepat karena kondisi di Indonesia yang masih tinggi kasusnya.
Dengan kebijakan yang cepat, tepat dan tanggap dalam mengatasi, maka dampaknya bisa diminimalkan. Keselamatan jiwa masyarakat harusnya diutamakan lebih dahulu dengan menghentikan segala kemungkinan yang bisa menyebabkan virus semakin meluas. Ini sesuai dengan amanat konstitusi, dimana negara wajib menjaga keselamatan rakyatnya.
Bukan malah mementingkan ekonomi, sementara rakyatnya dibiarkan bertumbangan karena wabah yang terus menyebar. Apa artinya ekonomi digenjot, sedangkan manusianya terancam wabah mematikan tanpa proteksi memadai dari pemerintah. Sudah wabah tak juga kunjung usai, manusianya terancam dan ekonomi pun anjlok.
Di sisi lain, perekonomian juga akan diuntungkan jika pandemi teratasi lebih awal. Sebagai contoh, kota-kota di AS yang dengan cepat dan agresif mengambil langkah kesehatan non-farmasi, ternyata ekonominya meningkat setelah pandemi flu pada tahun 1918.
Sebenarnya akar masalah dari problematika ini adalah karena sistem kapitalisme yang memberi kebebasan pada asing dan para pemilik modal untuk menguasai SDA dan perekonomian. Kapitalisme dengan prinsip liberalismenya, memberi ruang kepada siapa saja, termasuk individu dan asing untuk menguasai kepemilikan umum. Yang paling diuntungkan tentu saja yang melimpah modalnya.
Dengan kekuatan modalnya, para kapitalis dan asing mampu menguasai aset-aset negara dan kepemilikan rakyat seperti barang tambang, hutan, air, sumber pembangkit, jalan umum, dll. Harta milik rakyat banyak yang harusnya dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat, malah diberikan kepada para kapitalis (dan asing).
Namanya pemodal/pengusaha tentu orientasinya adalah bisnis untuk mencari untung. Maka, tak heran jika pengelolaan harta milik rakyat tersebut dijalankan dengan profit-oriented, mencari laba, alias tak mau rugi. Dan negara diam saja karena sudah terbeli dan dikuasai oleh para pengusaha tersebut dengan taruhan kekuasaannya. Jika penguasa atau pejabat itu membangkang, maka mudah saja bagi para kapitalis itu menggantinya dengan orang lain yang mau menjalankan kepentingan mereka. Uang berbicara.
Kondisi buruk ini semakin kelihatan setelah wabah Covid-19 menghantam dunia. Nampak kerapuhan sistem ekonomi kapitalisme muncul satu per satu lebih jelas. Negara tak mampu menjamin keselamatan jiwa rakyatnya sehingga wabah terus meluas. Demikian pula dari segi perekonomian, seluruh lapisan masyarakat sangat terdampak akibat kegagalan negara dalam mengatasi efek pandemi. Ditambah lagi dampak pandemi pada bidang lainnya seperti pendidikan, sosial dan juga ketahanan keluarga. Semakin lengkap kebobrokan sistem ini.
Solusi satu-satunya dan merupakan kebutuhan mendesak bagi negeri kita ini adalah mengambil sistem Islam yang diadopsi negara untuk menghadapi wabah dan dampaknya, yang mengancam nyawa dan menghantam kehidupan ekonomi. Islam akan menghentikan para kapitalis dan asing untuk mengeksploitasi kekayaan dalam negeri untuk kepentingan mereka sendiri. Seluruh harta milik rakyat akan diambil alih oleh negara. Pengelolaannya akan dilakukan oleh negara, tanpa ada intervensi dari para pemilik modal dan asing. Dengan begitu, SDA yang berlimpah di negeri kita ini akan mampu mensejahterakan rakyat sesuai tuntunan sistem ekonomi Islam.
Dan kita terutama para muslimah jangan terkecoh dengan mengambil solusi tambal sulam dari kapitalis dengan peningkatan pemasukan dari ekonomi kreatif dan mengabaikan perampokan asset ekonomi strategis dari umat sebagai pemilik sah-nya. Kita juga punya kewajiban untuk menyampaikan fakta yang sebenarnya di tengah masyarakat. Sekaligus memberikan solusi pemecahannya sesuai dengan syariah Islam.
Sudah saatnya kita kembali pada sistem dari sang khalik, yakni syariah Islam. Dan syariah Islam hanya bisa diterapkan secara totalitas dalam sebuah institusi negara, yaitu daulah Khilafah Islamiyyah. Wallahu ‘alam bish-shawab. []
********