Oleh Diana Wijayanti
#MuslimahTimes — Situasi Laut China Selatan (LCS) hingga kini kian memanas. China dengan tegas ingin berkuasa di LCS, mereka mengklaim menguasai 90 persen wilayah perairan, melalui sembilan garis putus-putus (nine dash line). Padahal klaim tersebut belum diverifikasi oleh satu pun badan internasional.
Adapun faktor penyebab perebutan wilayah CLS tersebut tak lepas dari faktor ekonomi, yang sangat luar biasa. Dari data yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat (AS), menyatakan bahwa LCS merupakan perairan yang sangat strategis sebagai lalu lintas internasional yang berpotensi mendulang pendapatan tak kurang dari 5,3 triliun dolar AS (Rp 79.500 triliun) tiap tahunnya.
Berdasarkan data dari Badan Informasi Energi AS menyatakan bahwa perairan ini memiliki cadangan minyak bumi sebesar 11 Miliar barel serta gas alam hingga 190 triluin kaki kubik. Tak hanya itu, hampir 90 % kapal pengangkut minyak dari Timur tengah ke Asia akan melintasi wilayah tersebut pada tahun 2035.
Sedangkan potensi biota laut, berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebesar 767,1 ribu ton (per 2017). Maka wajar jika wilayah ini dipenuhi konflik.
Tentu negara-negara yang bersengketa akan mempertahankan kekuasaannya dan tidak ingin ada pihak lain yang akan mengambilnya. Termasuk AS yang secara geografis tidak memiliki hak atas wilayah tersebut.
Hanya klaim sepihak sebagai polisi dunia, yang didukung penuh Jepang dan Australia, AS tidak mengakui klaim China atas LCS tersebut. Menurut Donald E. Nuechterlin’s teory, diantara kepentingan terhadap LCS adalah masalah ekonomi dan tata internasional. AS ingin mempertahankan dominasi kekuatan penguasaannya di Asia Pasifik.
Saat ini, ada kapal induk Amerika Serikat (AS) yang kembali dikirim ke Laut China Selatan, untuk kali kedua dalam dua pekan. Kapal induk USS Ronald Reagan (CVN 76) (R), kapal perusak rudal berpemandu kelas Arleigh Burke USS Mustin (DDG 89) (L) dan kapal penjelajah rudal berpemandu USS Antietam (CG 54) (2-L) berlayar di formasi selama latihan di Laut Cina Selatan, 06 Juli 2020.
Pada 13 Juli 2020, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo secara resmi menolak sebagian besar klaim China atas Laut Cina Selatan. Tentu statement Menlu AS dan keberadaan kapal induk diperairan CLS, pada saat China melakukan latihan militer, tak ada tujuan lain kecuali untuk menggertak China.
Bagaimana dengan sikap Indonesia, sebagai negeri muslim terbesar di dunia?
Menteri Luar Negeri, Retno Lestari Priansari Marsudi, mengatakan Indonesia tetap konsisten menghormati Konvensi Hukum Laut Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) sebagai panduan dalam sengketa di Laut China Selatan (LCS).
Indonesia sebagai negeri muslim terbesar semestinya aktif memobilisir kekuatan negara Kawasan (ASEAN) untuk menentang AS-China yg melakukan pelanggaran kedaulatan lautnya. Sikap ‘netral’ dengan menghormati perjanjian UNCLOS menunjukkan kelemahan menjaga kedaulatan, karena terkungkung konvensi internasional yg dibuat negara penjajah.
Tentu sikap ini sangat bertentangan dengan pandangan Islam, agama yang dianut mayoritas penduduk negeri +62 dalam melakukan hubungan internasional, dalam politik luar negeri. Islam mengharamkan negara berdiam diri terhadap urusan kaum muslimin khususnya dan manusia pada umumnya.
Islam bukan hanya agama, namun juga ideologi yang sangat komprehensif mengatur seluruh urusan manusia, baik, sebagai pribadi, masyarakat maupun negara, termasuk mengatur hubungan negara dengan negara lain.
Dalam Negara Islam yaitu Khilafah, akidah Islam adalah asas bagi seluruh bentuk hubungan yang dijalankan oleh kaum Muslim; menjadi pandangan hidup yang khas, asas dalam menyingkirkan kezaliman dan menyelesaikan perselisihan, asas dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan, asas bagi aktivitas dan kurikulum pendidikan, asas dalam membangun kekuatan militer, juga menjadi asas dalam politik dalam dan luar negeri.
Politik luar negeri (Polugri) adalah mercusuar suatu negara. Peradaban emas Khilafah terpancar dan menjadi buah bibir masyarakat dunia melalui polugri yang luar biasa. Tentu polugri Khilafah tidaklah berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari keseluruhan akidah dan syariah Islam dalam institusi Khilafah Islam.
Prinsip Polugri Islam: Mendakwahkan Islam ke Seluruh Penjuru Dunia
Akidah Islam mengharuskan Negara Khilafah untuk menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. Dakwah Islam oleh Khilafah menjadi asas negara dalam membangun hubungannya dengan negara-negara lain; dalam bidang politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Perkara inilah yang telah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sejak membangun Negara Islam di Madinah.
Rasulullah Saw. telah menjadikan hubungan beliau dengan seluruh darul kufur –seperti Quraisy atau kabilah-kabilah lainnya- berdasarkan prinsip mengemban dakwah, baik dalam hubungan peperangan dan perdamaian (war and peace), gencatan senjata, pertetanggaan (neighbourship), perdagangan, ataupun yang lainnya.
Perkara ini pula yang diikuti oleh para Khalifah sebagai kepala Negara Islam selama berabad-abad, hingga risalah Islam dan penaklukan Islam (futuhat) mencapai negeri-negeri yang sangat jauh dan luas; mulai dari jazirah Arab sampai ke Persia, Syam, Mesir, Afrika Utara, dan kawasan Asia Tengah.
Dakwah Islam juga masuk ke jantung Eropa, sebagian wilayah Prancis, sampai menyentuh gerbang Vienna (Austria). Ke arah timur, dakwah Islam pun sampai ke Nusantara.
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah Subhanahu wata’ala:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا
“Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada seluruh umat manusia, sebagai pembawa berita dan pemberi peringatan.” (TQS Saba’ [34]: 28).
Inilah yang menunjukkan bahwa prinsip polugri Negara Islam adalah mengemban dakwah Islam sehingga Islam tersebar luas ke seluruh dunia.
Metode Agung Polugri Islam: Jihad
Politik luar negeri negara Khilafah tegak berdasarkan pemikiran (fikrah) yang tetap dan tidak berubah, yakni menyebarkan Islam ke seluruh dunia; dilaksanakan dengan metode (tharîqah) yang tetap dan tidak berubah, yakni jihad (lihat, ad-Dawlah al-Islâmiyyah, bab as-Siyâsah al-Khârijiyyah, hal. 147-152, min mansyurat Hizbut Tahrir, cet. vii (muktamadah). 2002).
Metode ini dijalankan sejak Rasulullah saw. mendirikan Negara Islam di Madinah sampai keruntuhan Khilafah Islam Turki Utsmani tahun 1924.
Saat Rasulullah saw. di Madinah, beliau menyiapkan tentara dan menyiapkan jihad untuk menghilangkan berbagai bentuk halangan fisik yang mengganggu dakwah Islam. Rasulullah saw. berhasil menyingkirkan hambatan fisik dari institusi pemerintahan, mulai dari kaum kafir Quraisy dan kabilah-kabilah lain di Jazirah Arab, hingga menyebar luas ke seluruh penjuru dunia.
Dengan menyingkirkan para penguasa zalim dan institusi pemerintahan yang menghalangi dakwah, Islam dapat sampai ke rakyat secara terbuka. Mereka juga melihat dan merasakan keadilan Islam secara langsung, merasa tenteram dan nyaman hidup di bawah kekuasaan Islam.
Inilah yang digambarkan dalam hadis Rasulullah saw. melalui Buraidah r.a, yang berkata: Rasulullah saw., apabila memerintahkan komandan perangnya (berperang), beliau menasihati dia supaya bertakwa kepada Allah dan semoga kaum Muslim yang turut bersama dia dalam keadaan baik, kemudian bersabda,
“… Jika engkau berjumpa dengan kaum musyrik berikanlah kepada mereka tiga pilihan atau kesempatan. Jika mereka menyambut, terimalah, dan cukuplah atas apa yang mereka lakukan (yaitu) serulah mereka kepada Islam; jika mereka menyambutnya maka terimalah dan cukuplah dari yang mereka utarakan; kemudian serulah mereka supaya berpindah ke negeri Muhajirin. Jika mereka menolak pindah, beritahukan bahwa kedudukan mereka seperti orang-orang Arab Muslim yang berlaku juga hukum Allah sebagaimana terhadap orang-orang Mukmin. Mereka tidak memperoleh ghanimah dan fa’i kecuali turut serta berjihad dengan kaum muslimin. Namun, jika mereka menolak (pilihan pertama) ini maka pungutlah jizyah. Jika mereka menyambutnya, terimalah dan cukuplah dari yang mereka utarakan. Akan tetapi, jika mereka menolak juga (pilihan kedua), maka mintalah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka.” (HR. Muslim)
Peperangan Merupakan Alternatif Terakhir
Rasulullah saw. senantiasa mengirim utusan terlebih dulu, mengajak mereka masuk Islam, berdialog untuk membuktikan kebatilan ajaran mereka. Bahkan Rasulullah telah memilih jalan damai, meskipun di situ terdapat peluang besar untuk melanjutkan peperangan.
Pada saat kaum Muslim berhasil membuka Kota Makkah dan orang-orang kafir berputus asa, Rasulullah saw. tidak melampiaskan dendam kepada mereka atau membinasakan mereka. Rasulullah bersabda, “Pergilah kalian (ke mana saja kalian suka), karena kalian telah bebas.”
Berdasarkan hal di atas, perdamaian merupakan pilihan pertama dari hubungan internasional antarkaum Muslim (negara Khilafah Islam) dengan negeri-negeri yang lainnya.
Jihad fi sabilillah dalam Islam bukanlah untuk menaklukkan manusia, menguras dan mengeksploitasi harta kekayaan negeri lain (imperialisme), sebagaima kasus di LCS, apalagi memusnahkan sekelompok umat manusia dari muka bumi (genocide).
Seruan dan pelaksanaan jihad fi sabilillah dalam Islam adalah dalam rangka mengagungkan kalimat Allah, menyebarluaskan Islam. Jihad ditujukan untuk menyingkirkan kesesatan, kekufuran, dan kezaliman di tengah-tengah manusia. Jihad juga ditujukan untuk menyingkirkan berbagai penghalang fisik dan ideologi yang menghalangi manusia untuk mendapat kebenaran.
Keagungan Polugri Khilafah; Pertama, kehebatan penyebaran Islam.
Dalam waktu sekitar 10 tahun, dakwah Islam yang bermula dari Madinah, dapat tersebar ke seluruh penjuru Semenanjung Arab dan mulai menggedor kekuasaan Romawi di Syam pada Perang Mu’tah. Dalam waktu sekitar 10 tahun, Khilafah Islam mengakhiri imperium Persia dan mengintegrasikannya ke dalam Islam pada tahun 643 M.
Keagungan sistem Islam ini secara jujur disampaikan Carleton S, Chairman and Chief Executive Officer Hewlett-Packard Company, saat mengomentari peradaban Islam dari tahun 800 hingga 1600 (masa Kekhilafahan):
“Peradaban Islam merupakan peradaban yang paling besar di dunia. Peradaban Islam sanggup menciptakan sebuah negara adidaya kontinental (continental super state) yang terbentang dari satu samudra ke samudra lain; dari iklim utara hingga tropik, dan gurun dengan ratusan juta orang tinggal di dalamnya, dengan perbedaan kepercayaan dan asal suku. Tentaranya merupakan gabungan dari berbagai bangsa yang melindungi perdamaian dan kemakmuran yang belum dikenal sebelumnya.” (Pidato tanggal 26 September 2001 berjudul “Technology, Business, and Our Way of Life: What’s Next” www.khilafah.com)
Kedua, daya integrasi.
Sistem Khilafah berhasil membawa kesejahteraan bagi manusia di seluruh dunia, baik Muslim maupun non-Muslim. Sistem Khilafah juga memainkan peranan penting dalam membawa Islam ke seluruh pelosok dunia lewat dakwah dan jihad; menyatukan Jazirah Arab, Persia, Afrika, sebagian Eropa dan Asia.
Bangsa yang dulunya ditaklukkan lewat peperangan oleh pasukan Khilafah tidak pernah menganggap Islam sebagai penjajah. Bahkan hingga saat ini, penduduknya menjadi pejuang-pejuang Islam yang tidak rela tanahnya dijajah oleh kaum kafir.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Bangsa-bangsa itu memberikan saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Ketiga, menaungi pihak yang lemah.
Sebagai negara adidaya, Khilafah tidak melakukan hegemoni buruk dan tindakan unilateral yang merugikan. Justru Khilafah adalah negara besar yang menjadi tempat bernaung negara-negara yang lemah dan dizalimi negara musuhnya.
Kesultanan Aceh yang sedang berperang melawan Portugis, misalnya, dibantu oleh Khilafah Islam dengan bantuan pasukan. Pasukan Khilafah Turki Utsmani tiba di Aceh (1566-1577) –termasuk para ahli senjata api, penembak, dan para teknisi- untuk mengamankan wilayah Syamatiirah (Sumatra) dari Portugis. Dengan bantuan ini Aceh menyerang Portugis di Malaka.
Saat di Amerika berkecamuk perang antara Pemerintah Federal Amerika yang baru berdiri dengan Inggris pada abad ke-18, Khilafah Islam memberikan bantuan pangan terhadap rakyat Amerika Serikat yang dilanda kelaparan pascaperang. Surat ucapan terima kasih resmi pemerintah AS tersimpan rapi di Museum Aya Sofia Turki.
Di Aya Sofia juga dipamerkan surat-surat Khalifah (“Usmans Fermans”) yang menunjukkan kehebatan Khilafah Utsmani dalam memberikan jaminan, perlindungan, dan kemakmuran kepada warganya maupun kepada orang asing pencari suaka, tanpa pandang agama mereka.
Ada juga surat tertanggal 13 Rabiul Akhir 1282 H (5 September 1865 M) yang memberikan izin dan ongkos kepada 30 keluarga Yunani yang telah beremigrasi ke Rusia namun ingin kembali ke wilayah Khilafah, karena di Rusia mereka justru tidak sejahtera.
Ini semua menunjukkan betapa hebatnya kaum muslimin, menjadi mercusuar dunia yang sangat ditakuti musuh dan sangat disegani lawan, ketika melaksanakan pembebasan. Kekuatan sebagai adidaya dunia inilah yang membuat dua pertiga dunia hidup sejahtera, adil dan aman sentausa.
Bila negeri ini menginginkan menjadi sang Pembebas, dan mampu bersikap terhadap konflik LCS, tak ada jalan lain kecuali kembali menerapkan Islam secara Kaffah dalam naungan Khilafah.
Wallahu’alam.