Oleh: Indah Shofiatin (Penulis Lepas, Alumnus FKM Unair)
Muslimahtimes – Presiden Joko Widodo menunjuk Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, sebagai pemimpin atau sebagai leading sector dalam proyek lumbung pangan nasional di Kalimantan Tengah. Seperti dikutip dari siaran pers resmi Istana, Kamis malam (9/7/2020) alasan Presiden bahwa karena ini menyangkut cadangan strategis pangan kita sehingga leading sector-nya diberikan ke Menhan.
Presiden telah menetapkan proyek besar lumbung pangan dengan target 30.000 hektar lahan tahun ini diserahkan kepada menteri pertahanan. Lebih jauh Presiden berargumen bahwa masalah pertahanan bukan hanya urusan alutsista, menyangkut pula ketahanan pangan.
Meski begitu, penunjukan Menteri Pertahanan sebagai pimpinan proyek lumbung pangan nasional atau food estate ini ramai menuai kontra. Tentu, tugas menggawangi proyek lumbung pangan untuk menjaga ketahanan pangan Indonesia ini dijalankan oleh seorang Menteri Pertahanan, bukan Menteri Pertanian atau pejabat dari Bulog. Dua jabatan yang selama ini jamak dikaitkan dengan produksi pertanian dan ketersediaan pangan nasional. Bahkan Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan menilai, proyek lumbung pangan nasional bukan merupakan tugas pokok dan fungsi (Kapoksi) Kementerian Pertahanan.
Pengamat Keamanan sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi jika segala yang dikaitkan dengan ‘ketahanan nasional’ harus melibatkan Kemhan atau TNI. Dalam ranah pangan, Fahmi menilai Jokowi cukup mengandalkan Kementan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian PUPR dan Bulog. Lebih jauh lagi jika proyek ini diteruskan maka berpotensi mengulang masa Orba. Mahasiswa kandidat doktoral di Universitas Leiden Belanda, Yance Arizona, melihat fenomena militer mengurusi pangan sebagai parahnya proses ‘depeasantization’ di Indonesia. Kata Yance, kembalinya militer ke ranah pangan dan pertanian memang sudah muncul sejak era Presiden SBY yang militer. Namun, fenomena itu menguat pada masa Jokowi yang sipil. (tirto.id)
Wajar bila banyak pihak yang mengkritik kebijakan pimpinan negara kita ini. Mulai dari profesionalisme, tupoksi yang tumpang tindih, pembagian kerja yang menyalahi prinsip ‘the right man on the right job’, sampai kekhawatiran kembalinya dwi fungsi ABRI semasa Orba yang menjadi alat kediktatoran penguasa saat itu. Aneh, bukan? Ternyata, keganjilan kebijakan ini bersumber dari definisi ketahanan nasional yang diadopsi negara ini.
Dikutip dari kemhan.go.id, pertahanan nasional diartikan sebagai, “Segala usaha untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa. Usaha pertahanan negara tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan adanya dinamika bentuk ancaman yang dihadapi.”
Definisi ini sejalan dengan definisi AS dalam mengartikan national defence:
National security or national defence is the security and defence of a nation state, including its citizens, economy, and institutions, which is regarded as a duty of government.
Originally conceived as protection against military attack, national security is now widely understood to include also non-military dimensions, including the security from terrorism, minimization of crime, economic security, energy security, environmental security, food security, cyber-security etc. Similarly, national security risks include, in addition to the actions of other nation states, action by violent non-state actors, by narcotic cartels, and by multinational corporations, and also the effects of natural disasters.
Maka dari itu, food security atau ketahanan pangan memang masuk dalam topik ketahanan nasional. Definisi yang mengikuti definisi negara kapitalis dunia inilah yang menjadikan keganjilan ini terjadi. Padahal negara ini dijalankan oleh berbagai lembaga yang memiliki keahlian masing-masing, mengapa tidak bagi-bagi tugas agar berjalan semuanya dengan optimal? Belum lagi masalah pertahanan dan keamanan militer Indonesia masih banyak yang belum tertangani dengan baik. Papua dengan OPM-nya, Maluku dengan RMS-nya, dan berbagai wilayah perbatasan Indonesia dengan negara lain yang perlu penanganan khusus demi terjaga kedaulatan nasional. Termasuk juga pergelutan antara Amerika Serikat dan Cina di Laut Cina Selatan yang berbatasan langsung dengan Indonesia di bagian utara, tentu lebih membutuhkan profesionalitas dan fokus menteri pertahanan agar Indonesia tidak masuk angin topan yang mereka ciptakan di wilayah itu. Bukankah semua hal itu lebih tepat dijadikan titik kerja keras Menhan daripada proyek pangan di Kalimantam Tengah?
Menangani itu semua sewajarnya sudah menghabiskan semua tenaga dan waktu Kemenhan.
Apakah sudah seoptimal itu penanganan semua hal tersebut sehingga tugas tersebut ‘selesai’ dan Menhan ‘mencari-cari’ tugas lain daripada ‘nganggur’? Bukankah mengeluarkan pertahanan nasional dari definisi militernya yang khas justru mengkhawatirkan dapat mengimbas kekuatan ketahanan nasional negara kita dari serangan fisik yang bisa datang kapan saja? Masalah militer saja masih sangat banyak yang menjadi tugas yang belum selesai, mengapa mangambil tugas lain di luar itu? Lalu atas dasar apa definisi mengkhawatirkan ini dibuat? Bukankah definisi tersebut justru menunjukkan betapa tidak merdekanya konsep negara ini, bahkan untuk mendefinisikan ketahanan nasional negaranya yang sangat genting ini?
Inilah gambaran dari sebuah ideologi. Kapitalisme sebagai sebuah ideologi global menjadikan Amerika Serikat sebagai negara kampiun di dunia memimpin semua arahan negara dunia dengan definisi yang dibuatnya. Tentu definisi yang sangat kapitalistik. Semua bicara uang, untung rugi, seberapa banyak benefit yang bisa diambil saat sedang menjabat. Tidak di Amerika tidak di Indonesia, semua negara di dunia menggunakan prinsip kapitalisme yang sama persis. Lalu di mana perhatian negara kepada keamanan rakyat? Bitter truth, negara kapitalistik tidak pernah menempatkan rakyat dalam pertimbangan mereka selain sebagai ‘kambing’ yang diperas manfaat bayar pajak dan bayar utangnya, atau pihak yang ditipu dengan janji manis saat kampanye. Apalah lagi urusan ketahanan negara, bagi hitungan negara pengekor kapitalisme seperti Indonesia, tidak ada untungnya sama sekali. Bagi negara kampiun kapitalisme seperti AS, militer masih memegang peran penting sebagai mesin penggebuk negara jajahannya. Itupun di masa Trump ini sudah dikurangi anggarannya karena dianggap terlalu besar dan merugikan anggaran militer tersebut. Inilah fakta ketahanan nasional yang kelam di dalam dunia kapitalisme.
Padahal sebagai Muslim, kita semua tahu bahwa Rasulullah Saw menaruh perhatian yang sangat besar dalam masalah pertahanan nasional ini. Berjaga-jaga di daerah perbatasan dengan negara lain saja, beliau saw. sebutkan sebagai jihad yang agung, bernilai pahala sangat besar.
Telah mengabarkan kepada kami ‘Amr bin Manshur, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Al Laits, ia berkata; telah menceritakan kepadaku Ayyub bin Musa dari Makhul dari Syurahbil bin As Simth dari Salman, ia berkata; saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berfirman: “Barang siapa yang berjaga di jalan Allah sehari semalam maka baginya seperti puasa dan shalat satu bulan, dan jika ia meninggal maka amalnya yang telah ia lakukan mengalir pahalanya kepadanya dan ia aman dari pemberi fitnah, dan diberi rizqi.” (HR. An-Nasai).
Dalam Al-Quran Surat Ali Imran: 200, Allah taala memerintahkan, “Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (ribath di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”
Rasulullah Saw dan para Khalifah ra. Senantiasa menjadikan aktifitas militer demi dakwah dan jihad (yang juga dalam rangka dakwah, bukan menjajah seperti dalam kapitalisme) sebagai aktifitas yang sangat urgen dan prioritas. Tidak pernah ada satu masa pun saat kaum muslimin tidak memiliki kekuatan militer yang sesungguhnya dalam menghadapi permusuhan negara kafir. Kita di nusantara pun pernah merasakan secara langsung bantuan kapal militer beserta pasukan dan alutsistanya dari Khilafah yang berpusat di Turki saat negeri ini harus melawan penjajah dalam sejarah kita. Belum pernah umat ini begitu lemah sampai Khilafah dihancurkan di tangan Mustafa Kemal Pasha pada tahun 1924. Baru saat itulah, urusan kaum muslimin diserahkan seluruhnya pada kebijakan yang dibuat oleh penjajah yang muncul di negeri mereka. Maka itulah yang terjadi, hingga saat ini kita bahkan tidak bisa menentukan definisi ketahanan nasional demi keamanan dna kedaulatan negeri kita sendiri.
Sesungguhnya kondisi ini akan selamanya terjadi. Negeri ini tidak akan pernah berdaulat. Para penguasa akan sibuk mencari keuntungan untuk diri mereka sendiri. Keamanan harus diupayakan secara individu oleh rakyat. Ketahanan nasional militer hanya tinggal kisah kejayaan masa lalu. Akan terus begitu selama kita belum mengembalikan semua definisi kita sesuai arahan Allah dan Rasul-Nya, sesuai petunjuk Al-Quran dan As-Sunnah.
Maka bila kita bingung dengan keganjilan yang terus diulang di negeri ini dan ujung-ujungnya rakyat yang harus menanggung dampak buruknya, mengapa kita tidak segera menyerahkan urusan negeri ini pada apa yang kita imani? Serahkan saja pengaturan negeri ini kepada Islam, serahkan penerapannya kepada manusia-manusia yang menjabat kekuasaan karena ingin masuk surga dan menghindari neraka. Baru bila itu benar terjadi, bukan hanya negeri ini akan berdaulat dan aman, namun juga akan menjadi singa yang aumannya didengar bukan hanya di Asia, tapi juga seluruh dunia.