Oleh: Aya Ummu Najwa
Muslimahtimes– Sering kita merasa senang jika mendapatkan sesuatu, maka akan menganggapnya sebagai rezeki, terlebih lagi itu berupa materi atau harta duniawi. Jika kita cermati, sesungguhnya rezeki berupa harta adalah hanya sebagian dari rezeki yang Allah berikan kepada makhluk-Nya. Namun, sifat kebanyakan manusia yang kurang memahami konsep rezeki, juga jauhnya dari rasa syukur dan lebih berorientasi dengan gemerlap dunia yang fana, terkadang hanya membatasi rezeki dengan harta duniawi semata. Padahal sesungguhnya Allah Ta’ala telah banyak memberi rezeki kepada manusia dengan bentuk yang beragam.
Rezeki termasuk hal yang telah ditetapkan oleh Allah sebelum manusia diciptakan. Selama manusia masih hidup, maka rezekinya masih akan terus didapatkannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إن أحدكم يجمع خلقه في بطن أمه أربعين يوما نطفة ثم علقه مثل ذلك ثم يكون مضغة مثل ذلك , ثم يرسل إليه الملك فينفخ فيه الروح , ويؤمر بأربع كلمات : بكتب رزقه , وأجله , وعمله , وشقي أم سعيد . فوالله الذي لا إله غيره إن أحدكم ليعمل بعمل أهل الجنة حتى ما يكون بينه وبينها إلا ذراع فيسبق عليه الكتاب فيعمل بعمل أهل النار , وإن أحدكم ليعمل بعمل أهل النار حتى ما يكون بينه وبينها إلا ذراع فيسبق عليه الكتاب فيعمل بعمل أهل الجنة
“Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi ‘Alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi Mudhghoh (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 kata : Rizki, Ajal, Amal dan Celaka/bahagianya. maka demi Alloh yang tiada Tuhan selainnya, ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga.”(HR. Bukhari 3208 dan HR.Muslim 2643)
Ada beberapa prinsip tentang rezeki:
Pertama, semua makhluk – yang berakal maupun yang tidak berakal – rizkinya telah dijamin oleh Allah.
Ada banyak dalil yang menunjukkan hal ini. Diantaranya, firman Allah,
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
Tidak ada satupun yang bergerak di muka bumi ini kecuali Allah yang menanggung rizkinya. (QS. Hud: 6).
Dalam hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bercerita tentang proses penciptaan manusia.
ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِىٌّ أَوْ سَعِيدٌ
“Kemudian diutus malaikat ke janin untuk meniupkan ruh dan diperintahkan untuk mencatat 4 takdir, takdir rizkinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya.” (HR. Muslim 6893).
Karena Allah adalah yang memberikan rezeki kepada setiap mahluk, maka kedudukan kepala keluarga yang mencari nafkah kedudukannya bukan pemberi rezeki, melainkan perantara datang rezeki kepada keluarganya. Karena, bekerja terutama bagi laki-laki adalah kewajiban, maka ketika dia melakukan itu maka dia mendapat pahala.
Oleh karena itu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
احرص على ما ينفعك واستعن بالله ولا تعجز وإن أصابك شيء فلا تقل لو أني فعلت كان كذا وكذا ولكن قل قدر الله وما شاء فعل
“Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah dan jangalah kamu malas! Apabila kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan :’Seaindainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi katakanlah : ‘Qoddarullahu wa maa sya’a fa’ala” (HR. Muslim 2664
Ibnu Katsir menceritakan, ada seseorang yang mengadu kepada Ibrhim bin Adham – ulama generasi tabi’ tabi’in – karena anaknya yang banyak. Kemudian beliau menyampaikan kepada orang tersebut,
اِبعَثْ إِلَيَّ مِنهُمْ مَنْ لَيْسَ رِزْقُهُ عَلَى اللهِ، فَسَكَتَ الرَّجُل
“Anakmu yang rezekinya tidak ditanggung oleh Allah, silahkan kirim ke sini.” Orang inipun terdiam. (al-Bidayah wa an-Nihayah, 13/510)
Namun, memang benar bahwa rezeki telah diatur oleh Allah, sudah dijamin oleh Allah, namun fakta ini bukan sebagai alasan dan pembenaran atas sikap malas dan berpangku tangan karena menganggap rezeki sudah dijamin dan ditakdirkan oleh Allah. Dan memang benar rizki manusia telah ditakdirkan, tapi takdir itu sendiri adalah rahasia Allah, yang tidak kita ketahui. Sementara sesuatu yang tidak kita ketahui, tidak boleh dijadikan alasan dan landasan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa tawakkal tidak menghilangkan ikhtiyar (usaha mencari rezeki). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada seekor burung, yang keluar pada pagi hari dalam keadaan lapar lalu sore harinya pulang dalam keadaan kenyang.” (HR. Turmudzi 2344, Ibn Hibban 730 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Imam Ahmad menjelaskan, “hadis ini tidak menunjukan bolehnya berpangku tangan tanpa berusaha. Bahkan padanya terdapat perintah mencari rezeki. Karena burung tatkala keluar dari sarangnya di pagi hari demi mencari rezeki.”
Prinsip yang kedua adalah setiap jiwa tidak akan mati sampai dia menghabiskan semua jatah rezekinya. Sehingga siapapun yang hidup pasti diberi jatah rezeki oleh Allah sampai dia mati.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ ، إِنَّ أَحَدَكُمْ لَنْ يَمُوتَ حَتَّى يَسْتَكْمِلَ رِزْقَهُ ، فَلا تَسْتَبْطِئُوا الرِّزْقَ ، اتَّقُوا اللَّهَ أَيُّهَا النَّاسُ ، وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ ، خُذُوا مَا حَلَّ ، وَدَعُوا مَا حَرُمَ
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidak akan mati sampai sempurna jatah rezekinya, karena itu, jangan kalian merasa rezeki kalian terhambat dan bertakwalah kepada Allah, wahai sekalian manusia. Carilah rezeki dengan baik, ambil yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Baihaqi dalam sunan al-Kubro 9640, dishahihkan Hakim dalam Al-Mustadrak 2070 dan disepakati Ad-Dzahabi)
Syaikh Shalih al-Maghamisi dalam sebuah ceramahnya telah menceritakan bahwa ada seorang lelaki jatuh ke dalam sumur. Ia pun berteriak minta tolong. Orang-orang kemudian berhasil mengeluarkan orang tersebut dari sumur dalam keadaan selamat. Seseorang menyodorkan kepadanya segelas susu untuk diminumnya dan menenangkan keadaanya.
Kemudian, setelah tenang, orang-orang bertanya, ”Bagaimana bisa Anda jatuh ke dalam sumur.?”
Mulailah orang itu bercerita, lalu ia berdiri di bibir sumur untuk mempraktikkan kronologi saat ia terjatuh kedalam sumur. Qodarullah, tanpa di sengaja orang itu terjatuh lagi ke dalam sumur dan akhirnya mati.
Yang terjadi adalah orang itu diselamatkan oleh Allah karena masih tersisa jatah rezekinya di dunia, yakni satu gelas susu untuknya. Maka setelah jatah rezeki disempurnakan untuknya, ia terjatuh di tempat yang sama kemudian mati.
Kemudian, prinsip yang ketiga adalah hakikat dari rezeki adalah apa yang dikonsumsi dan yang dimanfaatkan. Sementara yang dikumpulkan oleh manusia belum tentu menjadi jatah rezekinya.
Dalam hadis dari Abdullah bin Sikhir radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
يَقُولُ ابْنُ آدَمَ مَالِى مَالِى – قَالَ – وَهَلْ لَكَ يَا ابْنَ آدَمَ مِنْ مَالِكَ إِلاَّ مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ
Manusia selalu mengatakan, “Hartaku… hartaku…” padahal hakekat dari hartamu – wahai manusia – hanyalah apa yang kamu makan sampai habis, apa yang kami gunakan sampai rusak, dan apa yang kamu sedekahkan, sehingga tersisa di hari kiamat. (HR. Ahmad 16305, Muslim 7609 dan yang lainnya).
Jadi, sekaya apapun manusia, atau sebanyak apapun penghasilannya, sesungguhnya dia tidak akan mampu melampaui jatah rezekinya. Karena orang yang mempunyai 1 ton beras, sungguh dia hanya akan makan sepiring atau dua piring saja. Orang yang memiliki 100 mobil, dia hanya akan memanfaatkan 1 mobil saja. Begitupun orang yang memiliki 100 rumah, dia hanya akan menempati 1 ruangan saja. Padahal semua harta yang dikumpulkan, sudah pasti akan dihisab oleh Allah.
Rezeki bisa beraneka ragam bentuknya:
Yang pertama adalah rezeki yang bersifat umum.
Yaitu segala sesuatu yang memberikan manfaat bagi badan, berupa harta, rumah, kendaraan, kesehatan, dan selainnya, baik berasal dari yang halal maupun haram. Rezeki jenis ini Allah berikan kepada seluruh makhluk-Nya, baik orang muslim maupun orang kafir.
Banyaknya pemberian jenis rezeki yang pertama ini tidak menjadi tanda kemuliaan seseorang di sisi Allah. Begitu pula sedikitnya rezeki dunia yang Allah berikan kepada seseorang tidak menunjukkan kehinaan orang tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku” . (QS. Al Fajr :15-16)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Allah Ta’ala berfirman mengingkari keyakinan (sebagian) manusia. (Maksud ayat ini) bahwasanya jika Allah meluaskan rezeki mereka tujuannya adalah untuk menguji mereka dengan rezeki tersebut. Sebagian orang meyakini bahwa rezeki dari Allah merupakan bentuk pemuliaan Allah terhadap mereka. Namun yang benar bukanlah demikian, bahkan rezeki tersebut merupakan ujian dan cobaan untuk mereka, sebagaimana firman Allah :
. نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل لَّا يَشْعُرُونَ. أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُم بِهِ مِن مَّالٍ وَبَنِينَ
“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa),Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar” (QS. Al Mu’minun:55-56).
Demikian pula sebaliknya. Jika Allah memeberi cobaan dan mengujinya dengan menyempitkan rezekinya, sebagian orang menyangka Allah sedang menghinakannya. Maka Allah katakan : { كَلا } (sekali-kali tidak). Yang dimaksud bukanlah seperti persangkaan mereka. Allah memberikan harta kepada orang yang Allah cintai dan kepada orang yang tidak Allah cintai. Allah juga menyempitkan harta terhadap orang yang Allah cintai maupun orang yang tidak Allah cintai. Sesungguhnya semuanya bersumber pada ketaatan kepada Allah pada dua kondisi tersebut (baik ketika mendapat rezeki yang luas maupun rezeki yang sempit). Jika seseorang kaya (mendapat banyak rezeki harta) dia bersyukur kepada Allah dengan pemberian tersebut, dan jika miskin (sempit rezeki) dia bersabar.” (Tafsiru al Quran al ‘Adzim, Imam Ibnu Katsir rahimahullah)
Jelas bahwa sedikit banyaknya harta, bukanlah tanda cinta dari Allah, melainkan hanya ujian semata agar Allah melihat siapa yang bersyukur dan bersabar di antara hamba-Nya.
Yang kedua adalah Rezeki yang sifatnya khusus.
Yakni segala sesuatu yang membuat tegak agama seseorang. Rezeki jenis ini berupa ilmu yang bermanfaat dan amal shalih serta semua rezeki halal yang membantu seseorang untuk taat kepada Allah. Termasuk di dalamnya adalah mendapatkan teman yang shalih pun adalah termasuk rezeki. Inilah rezeki yang Allah berikan khusus kepada orang-orang yang Allah cintai. Inilah rezeki yang sejati, yang bisa menghantarkan seseorang mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Rezeki jenis ini Allah khususkan bagi orang-orang mukmin. Allah menyempurnakan keutamaan bagi mereka, dan Allah anugerahkan bagi mereka surga di hari akhir kelak. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ وَيَعْمَلْ صَالِحاً يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً قَدْ أَحْسَنَ اللَّهُ لَهُ رِزْقاً
“Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezki yang baik kepadanya “ (QS. Ath Thalaq:11).
Dan juga firman-Nya :
هَذَا ذِكْرٌ وَإِنَّ لِلْمُتَّقِينَ لَحُسْنَ مَآَبٍ (49) جَنَّاتِ عَدْنٍ مُفَتَّحَةً لَهُمُ الْأَبْوَابُ (50) مُتَّكِئِينَ فِيهَا يَدْعُونَ فِيهَا بِفَاكِهَةٍ كَثِيرَةٍ وَشَرَابٍ (51) وَعِنْدَهُمْ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ أَتْرَابٌ (52) هَذَا مَا تُوعَدُونَ لِيَوْمِ الْحِسَابِ (53) إِنَّ هَذَا لَرِزْقُنَا مَا لَهُ مِنْ نَفَادٍ (54
“Ini adalah kehormatan (bagi mereka). Dan sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa benar-benar (disediakan) tempat kembali yang baik, (yaitu) syurga ‘Adn yang pintu-pintunya terbuka bagi mereka, di dalamnya mereka bertelekan (diatas dipan-dipan) sambil meminta buah-buahan yang banyak dan minuman di surga itu. Dan pada sisi mereka (ada bidadari-bidadari) yang tidak liar pandangannya dan sebaya umurnya Inilah apa yang dijanjikan kepadamu pada hari berhisab. Sesungguhnya ini adalah benar-benar rezki dari Kami yang tiada habis-habisnya. “ (QS. Shaad: 49-54)
Rezeki yang Allah berikan kepada setiap makhluk-Nya sangatlah banyak. Masing-masing makhluk mendapat jatah rezeki yang banyak. Manusia pun mendapat rezeki berupa nikmat yang sangat banyak. Nikmat sehat, anggota tubuh yang sempurna, tempat tinggal, keluarga, harta, dan masih banyak nikmat-nikmat yang lainnya. Itu semua merupakan rezeki dari Allah yang sangat banyak dan tak terhingga. Allah Ta’ala berfirman :
وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ الإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim:34)
Rezeki yang Allah berikan pun sangat luas, meliputi seluruh makhluk-Nya sesuai dengan kondisinya masing-masing. Masing-masing setiap makhluk mendapat rezeki yang banyak dari Allah. Manusia, jin, seluruh binatang dan tumbuhan, serta semua yang ada di langit dan di bumi mendapat rezeki dari Allah. Seluruh makhluk tersebut dipenuhi rezekinya oleh Allah semata. Ini menunjukkan luasnya rezeki yang Allah berikan pada makhluk-Nya.
Maka, setelah memahami hakikat rezeki, sudah semestinya manusia lebih bersemangat untuk menggapai kebahagiaan akhiratnya tanpa meninggalkan bagiannya di dunia, bukan hanya sibuk mengejar harta dunia namun lupa akan kehidupan akhirat. Harta yang dimiliki, kesehatan yang dirasa, haruslah menjadi penyemangat untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, bukan hanya untuk mengumpulkan harta dunia.
Wallahu a’lam