Oleh. Aya Ummu Najwa
MuslimahTimes– Secara bahasa, sabar adalah menahan atau menghalangi. Dan demikianlah inti makna kesabaran yang diajarkan oleh syariat Islam. Secara syariat, makna sabar adalah menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari rasa murka, dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu atau tindakan lain yang menyimpang dari syariat (Syaikh Solih Alu Syaikh dalam At Tamhid.
Setiap orang yang beriman pasti akan ditimpakan musibah di dalam hidupnya sebagai ujian dari Allah. Mereka yang berhasil atas ujian itu adalah mereka yang mampu bersabar. Sabar memiliki kedudukan yang agung di dalam Islam.
Imam Ahmad rahimahullah pernah berkata, “Penyebutan kata sabar di dalam Al Qur’an ada di lebih dari 90 tempat. Sabar adalah bagian dari iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi tubuh. Hal tersebut dikarenakan orang yang tidak memiliki kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak memiliki kesabaran untuk menjauhi maksiat, dan tidak memiliki kesabaran tatkala tertimpa takdir Allah yang tidak menyenangkan, maka dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan” (At Tamhid li Syarh Kitabit Tauhid)
Bersabar ketika ditimpa musibah hukumnya wajib. Seperti dijelaskan Syaikh Shalih Alu Syaikh bahwa, “Bersabar menghadapi musibah hukumnya wajib dan salah satu kewajiban yang harus ditunaikan. Hal tersebut karena dalam sabar terdapat sikap meninggalkan marah dan sikap tidak terima terhadap ketetapan dan takdir Allah.” (At Tamhid li Syarh Kitabit Tauhid).
Sabar diwajibkan sejak awal ditimpa musibah, bukan belakangan setelah musibah selesai dan lisan telah mengeluh serta hati tidak terima. Hal tersebut sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu alaihi wassalam:
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
مَرَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِامْرَأَةٍ تَبْكِى عِنْدَ قَبْرٍ فَقَالَ « اتَّقِى اللَّهَ وَاصْبِرِى » . قَالَتْ إِلَيْكَ عَنِّى ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ بِمُصِيبَتِى ، وَلَمْ تَعْرِفْهُ . فَقِيلَ لَهَا إِنَّهُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – . فَأَتَتْ بَابَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِينَ فَقَالَتْ لَمْ أَعْرِفْكَ . فَقَالَ « إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُولَى »
”Nabi ﷺ pernah melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kuburan. Lalu beliau ﷺ bersabda:”Bertakwalah pada Allah dan bersabarlah.” Kemudian wanita itu berkata,”Menjauhlah dariku. Sesungguhnya engkau belum pernah merasakan musibahku dan belum mengetahuinya.” Kemudian ada yang mengatakan pada wanita itu, bahwa orang yang berkata tadi adalah Nabi ﷺ. Kemudian wanita tersebut mendatangi pintu (rumah) Nabi ﷺ. Kemudian dia tidak mendapati seorang yang menghalangi dia masuk pada rumah Nabi ﷺ. Kemudian wanita ini berkata: ”Aku belum mengenalmu.” Lalu Nabi ﷺ bersabda: ”Sesungguhnya yang namanya sabar adalah ketika di awal musibah.” [HR. Bukhari, no. 1283]
Selain sebuah kewajiban, bersabar juga merupakan bagian dari kesempurnaan iman, sebagaimana Ali bin Abi Thalib ra mengatakan, “Sabar dan iman bagaikan kepala pada tubuh manusia. Oleh karenanya, tidak beriman (dengan iman yang sempurna) jika seseorang tidak memiliki kesabaran.” (Bahjatul Majalis wa Ansul Majalis).
Allah Subhanahu wa Taala berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (157)
“Sungguh Kami menguji kalian dari ketakutan, kelaparan, kekurangan harta dan jiwa serta buah-buahan. Berilah khabar gembira kepada orang-orang yang sabar (yaitu) orang-orang yang jika ditimpa musibah, mereka mengucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi rojiun (sesungguhnya Kita milik Alloh dan Kita akan kembali kepada-Nya). Mereka akan memperoleh sholawat dari Rob mereka dan mereka berada dalam hidaya”. (Qs. Al-Baqoroh [2]: 155-157)
وَقَدْ حَكَى بعضُ الْمُفَسِّرِينَ أَنَّ الْمُرَادَ مِنَ الْخَوْفِ هَاهُنَا: خَوْفُ اللَّهِ، وَبِالْجُوعِ: صِيَامُ رَمَضَانَ، وَنَقْصِ الْأَمْوَالِ: الزَّكَاةُ، وَالْأَنْفُسِ: الْأَمْرَاضُ، وَالثَّمَرَاتِ: الْأَوْلَادُ. وَفِي هَذَا نَظَرٌ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ. ثُمَّ بيَنَّ تَعَالَى مَنِ الصَّابِرُونَ الَّذِينَ شَكَرَهُمْ، قَالَ: {الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ} أَيْ: تسلَّوا بِقَوْلِهِمْ هَذَا عَمَّا أَصَابَهُمْ، وَعَلِمُوا أنَّهم ملك لله يتصرف في عبيده بِمَا يَشَاءُ، وَعَلِمُوا أَنَّهُ لَا يَضِيعُ لَدَيْهِ مثْقال ذرَّة يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَأَحْدَثَ لَهُمْ ذَلِكَ اعْتِرَافَهُمْ بِأَنَّهُمْ عَبِيدُهُ، وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ فِي الدَّارِ الْآخِرَةِ. وَلِهَذَا أَخْبَرَ تَعَالَى عَمَّا أَعْطَاهُمْ عَلَى ذَلِكَ فَقَالَ: {أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ} أَيْ: ثَنَاءٌ مِنَ اللَّهِ عَلَيْهِمْ وَرَحْمَةٌ. قَالَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ: أَيْ أَمَنَةٌ مِنَ الْعَذَابِ {وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ}
Sebagian ahli tafsir meriwayatkan bahwa makna yarg dimaksud dengan al-khauf ialah takut kepada Alloh, al-ju’u ialah puasa bulan Ramadan, naqsul amwal ialah zakat harta benda, al-anfus ialah berbagai macam sakit, dan samarat ialah anak-anak. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan. Kemudian Alloh menerangkan bahwa orang-orang yang sabar yang mendapat pahala dari Alloh ialah mereka yang disebutkan di dalam firman berikut: ” (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucap kan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”
(2: 156) Yakni mereka menghibur dirinya dengan mengucapkan kalimat tersebut manakala mereka tertimpa musibah, dan mereka yakin bahwa diri mereka adalah milik Allah. Dia memberlakukan terhadap hamba-hamba-Nya menurut apa yang Dia kehendaki. Mereka meyakini bahwa Alloh tidak akan menyia-nyiakan pahala di sisi-Nya seberat biji sawi pun kelak di hari kiamat. Maka ucapan ini menanamkan di dalam hati mereka suatu pengakuan yang menyatakan bahwa diri mereka adalah hamba-hamba-Nya dan mereka pasti akan kembali kepada-Nya di hari akhirat nanti. Karena itulah maka Alloh Swt. memberita-hukan tentang pahala yang akan diberikan-Nya kepada mereka sebagai imbalan dari hal tersebut melalui firman-Nya: Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya.
(2: 157) Maksudnya, mendapat pujian dari Alloh Swt. Sedangkan menurut Sa’id ibnu Jubair, yang dimaksud ialah aman dari siksa Alloh. Firman Allah Swt.: Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (2: 157) … (Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 1/468)
Adakalanya Allah mengujinya dengan kesenangan dan kenikmatan. Namun ujian kadangkala berupa kesedihan dan kedukaan, juga kadang dalam kelaparan dan juga ketakutan. Sebagian ulama Salaf mengatakan bahwa sebagian pohon kurma sering tidak berbuah; hal ini dan yang semisal dengannya merupakan suatu cobaan yang ditimpakan oleh Alloh kepada hamba-hamba-Nya. Barang siapa yang sabar, maka ia mendapat pahala; dan barang siapa tidak sabar, maka azab-Nya akan menimpanya. Karena itulah, maka di penghujung ayat ini disebutkan: Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (2: 155). (Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 1/467)
أَخْبَرَ تَعَالَى أَنَّهُ يَبْتَلِي عِبَادَهُ الْمُؤْمِنِينَ أَيْ: يَخْتَبِرُهُمْ وَيَمْتَحِنُهُمْ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ} [مُحَمَّدٍ: 31] فَتَارَةً بِالسَّرَّاءِ، وَتَارَةً بِالضَّرَّاءِ مِنْ خَوْفٍ وَجُوعٍ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: {فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ} [النَّحْلِ: 112] فَإِنَّ الْجَائِعَ وَالْخَائِفَ كُلٌّ مِنْهُمَا يَظْهَرُ ذَلِكَ عَلَيْهِ؛ وَلِهَذَا قَالَ: لِبَاسُ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ. وَقَالَ هَاهُنَا {بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ} أَيْ: بِقَلِيلٍ مِنْ ذَلِكَ {وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ} أَيْ: ذَهَابُ بَعْضِهَا {وَالأنْفُسِ} كَمَوْتِ الْأَصْحَابِ وَالْأَقَارِبِ وَالْأَحْبَابِ {وَالثَّمَرَاتِ} أَيْ: لَا تُغِلّ الْحَدَائِقُ وَالْمَزَارِعُ كَعَادَتِهَا. كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: فَكَانَتْ بَعْضُ النَّخِيلِ لَا تُثْمِرُ غَيْرَ وَاحِدَةٍ. وَكُلُّ هَذَا وَأَمْثَالُهُ مِمَّا يَخْتَبِرُ اللَّهُ بِهِ عِبَادَهُ، فَمَنْ صَبَرَ أَثَابَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَنَطَ أَحَلَّ اللَّهُ بِهِ عِقَابَهُ. وَلِهَذَا قَالَ: {وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ}
Allah Subhanahu wa Taala memberitahukan bahwa Dia pasti menimpakan cobaan kepada hamba-hamba-Nya, yakni melatih dan menguji mereka. Seperti yang disebutkan di dalam firman -Nya:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَا أَخْبارَكُمْ
“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kalian agar Kami mengetahui (supaya nyata) orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kalian; dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwal kalian.” (Qs. Muhammad: 31)
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۗ وَمَن يُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ يَهۡدِ قَلۡبَهُۥۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ
“Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Surat At-Taghabun, Ayat 11)
Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata:
“Maknanya: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allâh Ta’ala, kemudian dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allâh Ta’ala), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allâh Ta’ala tersebut, maka Allâh Ta’ala akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Allâh Ta’ala akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan sesuatu yang lebih baik baginya.
Ibnul Qayyim rahimahullâh mengatakan:
“Sesungguhnya semua (musibah) yang menimpa orang-orang yang beriman dalam (menjalankan agama) Allâh Ta’ala senantiasa disertai dengan sikap ridha dan ihtisâb (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun sikap ridha tidak mereka miliki maka pegangan mereka adalah sikap sabar dan ihtisâb. Ini (semua) akan meringankan beratnya beban musibah tersebut. Karena, setiap kali mereka menyaksikan (mengingat) balasan (kebaikan) tersebut, akan terasa ringan bagi mereka menghadapi kesusahan dan musibah tersebut.”
Adapun orang-orang kafir, mereka tidak memiliki sikap ridha dan tidak pula ihtisâb. Kalaupun mereka bersabar (menahan diri), maka (tidak lebih) seperti kesabaran hewan-hewan (ketika mengalami kesusahan).
Sungguh Allâh Ta’ala telah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya:
(وَلَا تَهِنُوا۟ فِی ٱبۡتِغَاۤءِ ٱلۡقَوۡمِۖ إِن تَكُونُوا۟ تَأۡلَمُونَ فَإِنَّهُمۡ یَأۡلَمُونَ كَمَا تَأۡلَمُونَۖ وَتَرۡجُونَ مِنَ ٱللَّهِ مَا لَا یَرۡجُونَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِیمًا حَكِیمًا)
”Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allâh apa yang tidak mereka harapkan” (Qs an-Nisâ/4:104).
Jadi, orang-orang mukmin maupun kafir sama-sama menderita kesakitan, akan tetapi orang-orang mukmin teristimewakan dengan pengharapan pahala dan kedekatan dengan Allâh Ta’ala.
Sabar dan Macam-macamnya
Imam Ghazali dalam kitabnya, Mukasyafatul Qulub, hal. 10, ia menyebutkan bahwa:
والصبر على اوجه صبر على طاعة الله وصبر على محارمه وصبر على المصيبة
Sabar terdiri dari beberapa bagian, yaitu (1) sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah, (2) sabar dalam menjauhi larangan-larangan Allah, (3) sabar dalam atas musibah.
Pertama, kesabaran dalam menjalani ketaatan.
Salat lima waktu terus tiap hari dikerjakan tanpa ada rasa mengeluh sedikitpun. Sesibuk apapun tetap mengerjakannya. Sesakit apapun penyakit yang diderita, selama akal masih berfungsi, salat tetap menjadi kewajiban. Begitupun dengan menuntut ilmu dan dakwah, walaupun lelah, walaupun godaan, maupun rintangan menerpa di medan dakwah, namun akan terus dijalankan dengan ringan tanpa keluh kesah, karena keduanya adalah kewajiban.
Kedua, sabar menjauhi larangan.
Ketika godaan dan rayuan teman semakin masif untuk ikut dalam acara-acara yang tidak sesuai syariat, ia akan menahannya dan bersabar untuk terus menolak. Menahan kaki untuk berjalan ke tempat maksiat walaupun hawa nafsu menggelora, menahan mulut untuk ghibah dan lainnya. Karena dia sadar, jika dia tidak menolaknya, maka itu akan menjadi kebinasaannya.
Ketiga, sabar menerima ujian. Ujian dari Allah Subhanahu Wata’ala tetap harus disikapi dengan Sabar. Hati harus qonaah (menerima) ujian tersebut. Yakinlah, ujian yang diberikan pada makhluk sudah disesuaikan dengan kadar kemampuan yang dimiliki. Tidak mungkin Allah Subhanahu Wata’ala menguji hamba-Nya melebihi batas keimanan yang dimiliki. Tiap-tiap hamba tingkat keimanannya tidak sama sehingga tingkat ujiannnya juga berbeda. Semakin tinggi keimanan yang dimiliki, maka semakin tinggi pula ujian yang akan diberikan. bukankah semakin tinggi pohon semakin kencang angin berhembus?
Berikut empat keutamaannya bersabar:
Sabar akan mengangkat derajat dan menghapus dosa.
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Ujian senantiasa menimpa orang beriman pada diri, anak dan hartanya hingga ia bertemu Allah dengan tidak membawa satu dosa pun atasnya.” (HR. Tirmidzi)
Musibah yang dihadapi, adalah tanda kebaikan dari Allah Ta’ala.
Dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذا أراد الله بعبده الخير عجل له العقوبة فى الدنيا وإذا أراد الله بعبده الشر أمسك عنه بذنبه حتى يوفى به يوم القيامة
“ Jika Allah menginginkan kesetiaan pada hamba, Dia akan segerakan mewakilinya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak. (HR. Tirmidzi no. 2396, hasan shahih kata Syaikh Al Albany)
Sabar menghadi musibah dapat membawa kepada syahid.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kabar gembira bagi yang wafat karena bala dan musibah. “(mati) karena menderita thoun adalah syahid bagi setiap Muslim.” (HR. Al-Bukhari Muslim)
“(meninggal) karena sakit perut adalah syahid, dan (meninggal) karena Thoun juga syahid.” (HR. Al-Bukhari)
“…Tidaklah seseorang yang berada di wilayah yang terjangkit Thoun, kemudian ia tetap tinggal di negerinya dan selalu bersabar, ia mengetahui bahwa penyakit tersebut tidak akan mengjangkitinya kecuali apa yang Allah tetapkan kepadanya, maka baginya seperti pahalanya orang yang mati syahid.” (HR. Bukhari)
Mendapatkan pahala yang tidak terbatas.
(قُلۡ یَـٰعِبَادِ ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمۡۚ لِلَّذِینَ أَحۡسَنُوا۟ فِی هَـٰذِهِ ٱلدُّنۡیَا حَسَنَةࣱۗ وَأَرۡضُ ٱللَّهِ وَ ٰسِعَةٌۗ إِنَّمَا یُوَفَّى ٱلصَّـٰبِرُونَ أَجۡرَهُم بِغَیۡرِ حِسَابࣲ)
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”. (QS. Az-Zumar: ayat 10)
Agar terasa ringan dalam menjalani ujian dan musibah, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:
Yang pertama adalah, menyadari hikmah yang tersimpan di balik musibah yang menimpa di dunia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أا أراد الله بعبده الخير عجل له العقوبة في الدنيا و أراد بعبده الشر أمسك عنه بذنبه حتى يوافي به يوم القيافي به يوم القيامة
“Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, maka Allah segerakan hukuman atas dosanya di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada hamba-Nya maka Allah tahan hukuman atas dosanya itu sampai dibayarkan di saat hari kiamat” (HR Tirmidzi, shahih)
Kemudian adalah terus menyadari bahwa ujian adalah keniscayaan.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan serta kekurangan harta benda, jiwa, dan buah-buahan. Maka berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar” (QS. Al Baqarah : 155)
Selanjutnya adalah senantiasa mengingat bahwa musibah yang dihadapi belumlah seberapa.
Sesungguhnya, musibah yang dihadapi manusia belumlah seberapa jika dibandingkan dengan musibah yang dihadapi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يا أيها الناس،أيما أحد من الناس-أومن المؤمنين-أصيب بمصيبة،فليتعز بمصيبته بي عن المصيبة التي تصيبه بغيري،فإن أحدا من أمتي لن يصاب بمصيبة بعدي أشد عليه من مصيبتي.
“Wahai sekalian manusia, barang siapa di antara kalian-atau di antara orang-orang yang beriman- ditimpa musibah, maka hendaklah ia menghibur dirinya dengan mengingat musibah wafatku, dibandingkan dengan musibah lain yang menimpa dirinya. Karena sesungguhnya seseorang dar umatku tidak akan ditikpa musibah yang lebih besar dari pada musibah atas wafatnya diriku. (HR. Ibnu Majah, dai ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Shahih Sunan Ibnu Majah no.1300.
Juga selalu menyadari bahwa semakin kuat iman, maka cobaan akan semakin kuat dirasa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرجل على حسب دينه فإن كان دينه صلبا اشتد بلاؤه وإن كان فى دينه رقة ابتلى على حسب دينه فما يبرح البلاء بالعبد حتى يتركه يمشى على الأرض ما عليه خطيئة»
“Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lainnya, shahih)
Senantiasa berdoa dan berharap kepada Allah diganti yang lebih baik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah lalu ia mengucapkan:
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ عِنْدَكَ احْتَسَبْتُ مُصِيبَتِي فَأْجُرْنِي فِيهَا وَعَوِّضْنِي مِنْهَا إِلَّا آجَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهَا وَعَاضَهُ خَيْرًا مِنْهَا
“Segala sesuatu adalah milik Allah dan segala sesuatu akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah aku ganjaran terhadap musibah yang menimpaku dan berilah ganti untukku dengan yang lebih baik”, maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik” (HR. Muslim)
Terus mengingat bahwa musibah yang menimpa adalah akibat perbuatan manusia itu sendiri.
(وَمَاۤ أَصَـٰبَكُم مِّن مُّصِیبَةࣲ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَیۡدِیكُمۡ وَیَعۡفُوا۟ عَن كَثِیرࣲ)
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri” (QS. Asy Syura : 30)
Wallahu a’lam.