Oleh: Intan H.A
(Pegiat Literasi Tangerang)Â
“Hati-hati di jalan ya, Bun”.Â
Suara lembut yang keluar dari bibir mungil itu pun mengiringi langkah seorang wanita muda yang perlahan-lahan pergi meninggalkannya. Lambaian tangan dari keduanya menghiasi perpisahan di pagi hari itu. Sorot matanya yang tajam masih saja tertuju pada sosok wanita muda yang ia sebut dengan “bunda”. Sedikit demi sedikit ia membalikkan tubuhnya, sesekali si gadis mungil itu melirik ke arah belakang menyaksikan bayang-bayang sang bunda yang mulai hilang di ujung gang. Â
Pagi itu, di saat aku tengah mengantarkan adik kecilku ke sekolah untuk mengumpulkan tugas daringnya di masa pandemi saat ini. Aku dihadapkan pada sebuah pemandangan yang membuat hati teriris. Sebuah pemandangan yang sebenarnya sudah dianggap lumrah di tengah-tengah masyarakat masa kini, yakni pemandangan di mana seorang anak melepas ibunya untuk pergi bekerja. Dikarenakan tuntutan hidup yang semakin sulit, mengharuskan seorang ibu ikut turun tangan terlibat dalam tugas mencari nafkah meringankan beban suami. Â
Di dalam sistem kapitalis yang diterapkan saat ini, menciptakan beban ekonomi yang tidak mampu dipikul hanya oleh seorang ayah. Ayah, yang memiliki kewajiban untuk mencari nafkah pun harus terseok-seok dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari. Sebab, sulitnya mencari pekerjaan dan banyaknya gelombang PHK yang menimpa masyarakat terutama kaum laki-laki tatkala di masa pandemi saat ini, memaksa seorang ibu untuk mencari tambahan nafkah ke luar rumah, agar kebutuhan keluarga tetap tercukupi. Akhirnya seorang anak pun harus kehilangan sosok ibu di dalam rumahnya.Â
Ibu ibarat perisai bagi buah hatinya. Karena kelemah-lembutannya,  tutur kata yang bijak dan sifat penyayang yang dimilikinya mampu membuat anggota keluarga merasakan kenyamanan di dalam rumah. Namun, saat sosok tersebut tidak menghiasi bilik rumah. Maka, sang anak lah yang pertama kali akan merasakan kehampaan dalam hidupnya.  Mungkin, sebagian anak akan memaklumi keadaan ini. Tapi, tidaklah dengan sebagian yang lainnya. Kita dapat menyaksikan manakala fakta berbicara mengenai kenakalan remaja salah satunya diakibatkan hilangnya peran ibu dalam keluarga. Sebab, peran ibu yang seharusnya mendampingi buah hati dalam tumbuh kembangnya terkikis dan tergantikan oleh sosok lain yang mewarnai hidupnya. Â
Ayah, sebagai sosok yang memiliki tanggung jawab dalam mencari nafkah tidak dapat menjalankan peranannya sebagaimana mestinya. Lowongan pekerjaan yang banyak di dominasi oleh kaum hawa, akhirnya mengakibatkan para laki-laki dipaksa mengalah dan tinggal di dalam rumah. Sosok ibu yang seharusnya hadir menghiasi kehangatan keluarga di dalam rumah terpaksa ke luar meninggalkan kewajibannya dan turut terlibat dalam menanggung pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya. Â
Belum lagi dengan adanya ide feminis yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Di mana kaum perempuan menuntut kesetaraan gender atas kaum laki-laki. Sehingga kaum wanita menjadi tumbal ekonomi para kapital. Alhasil, ketika wanita memiliki penghasilan yang lebih tinggi dari suaminya, ia akan sulit untuk menerima keadaan suaminya yang tidak mampu mencukupi kebutuhannya. Hingga akhirnya, pertikaian di tengah-tengah keluarga pun terjadi dan keharmonisan lambat laun akan hilang.Â
Inilah potret kehidupan keluarga di dalam sistem kapitalisme. Sistem buatan manusia ini, mewujudkan tatanan keluarga yang rapuh. Keadaan ini semakin terpuruk ketika peran negara sebagai pelayan umat pun sirna.  Negara yang memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhuan pokok rakyatnya dan menciptakan lapangan pekerjaan bagi laki-laki, tidak mampu menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya.Â
Lain halnya ketika permasalahan ini dikembalikan dalam kacamata Islam. Islam memandang bahwa peran ibu di dalam keluarga sebagai ummu wa rabbatul bayt adalah tugas terhormat. Ibu memiliki tugas sebagai pengasuh anak dan mengatur rumah suaminya. Tugas ini sangatlah sesuai dengan fitrah wanita sebagai makhluk yang telah dimuliakan oleh Allah di dalam Islam. Â
Begitu pun dengan negara. Ia akan menjalankan tugasnya sebagai pelayan umat. Khalifah sebagai seorang pemimpin memiliki kewajiban untuk mewujudkan lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi kaum laki-laki. Sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah di dalam Al-qur’an surat an-Nisa ayat 34, bahwa laki-laki memiliki kewajiban untuk menanggung kebutuhan keluarganya. Alhasil, para Ayah pun tidak akan mengalami kesulitan dalam menjalankan kewajibannya mencari nafkah. Dan seorang ibu pun tidak akan turut terbebani dalam hal ekonomi. Â
Dengan pembagian peran yang diatur di dalam Islam, akan mewujudkan tatanan keluarga yang tangguh. Anak tidak lagi kehilangan sosok ibu yang memiliki andil besar dalam pembentukan karakternya. Dan Ayah akan menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya. Dikarenakan urusan ekonomi bukan lagi menjadi hal yang utama. Sehingga anggota keluarga pun dapat menjalankan tugasnya masing-masing tanpa harus terbebani pada urusan kebutuhan hidup yang belum tercukupi. Â
Sungguh, kita benar-benar butuh pada sosok pemimpin yang hadir sebagai pelayan umat, memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya dan tidak abai pada tanggungjawabnya. Hal ini tidak lah akan terwujud di dalam sistem kapitalisme seperti saat ini. Tatanan kehidupan keluarga yang sakinah dan harmonis akan tercipta manakala syari’at Islam kembali diterapkan. Islam tidak akan diterapkan secara sempurna tanpa adanya kekuasaan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ghazali bahwa, “Agama dan kekuasaan ibarat saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak punya pondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak memiliki penjaga niscaya akan musnah.”
Dengan demikian, sudah kewajiban kita untuk mengembalikkan perisai umat itu kembali hadir di dalam kehidupan. Menyongsong kembali peradan Islam yang agung di bawah naungan Khilafah. Sebab, dengan terwujudnya Daulah Khilafah, maka aturan-aturan Islam yang termaktub dalam Al-qur’an dan as-Sunnah dapat diterapkan secara sempurna.[] Â
Wallahu’alam