Oleh : Tati ummu Syafiya
#MuslimahTimes — Pernyataan Menteri agama Fachrul Razi yang mengatakan jika radikalisme disebarkan melalui agen-agennya yang good looking, memiliki penguasaan bahasa arab yang bagus dan hafidz, kembali menuai polemik. Setelah sebelumnya menteri agama juga mengaitkan radikalisme dengan cadar dan celana cingkrang. Pernyataan menteri agama yang mengaitkan radikalisme dengan islam dan atributnya tentu saja memancing beragam reaksi masyarakat. Sekalipun pernyataan tersebut telah diklarifikasi oleh Dirjen Bimas Islam Kemenag Kamaruddin Amin, pernyataan Menteri Fachrul Razi dalam seminar web bertema sinergi menangkal radikalisme Pada Aparatur Sipil Negara yang disiarkan kanal KemenPAN_RB di YouTubeitu sebagai ilustrasi semata. “jadi pernyataan Pak Menag soal good looking itu hanya iustrasi”, (news,detik.com). Wakil Ketua MUI, Muhyiddin Junaidi mengatakan “MUI minta agar Menag menarik semua tuduhannya yang tak mendasar karena itu sangat menyakitkan dan mencederai perasaan umat Islam yang sudah punya andil besar dalam memerdekakan negara ini dan mengisi kemerdekaan dengan karya nyata, tuduhan tersebut sangat tidak mendasar dan memarginalkan umat islam”(news.detik.com).
Reaksi keberatan sangat wajar bermunculan dari kalangan masyarakat, baik masyarakat biasa, kaum intelektual, politisi dan ulama. Mengingat sangat seringnya stigma negatif seperti terorisme dan radikalisme disematkan kepada seorang muslim. Setelah gagal membuat stigma negatif terorisme dengan kaum muslimin, kini dimunculkan radikalisme yang menjadi stigma negatif bagi seorang muslim, tak tanggung-tanggung yang dikatakan agen radikal adalah yang memeiliki penguasaan bahasa arab dengan baik dan hafidz Quran. Lalu siapakah orang-orang yang memiliki penguasaan bahasa arab yang baik dan hapal Quran tersebut, tentu saja kebanyakan dari mereka adalah para alim ulama, yang kemampuan memahami Al – Quran dan bahasa arabnya diatas rata-rata masyarakat muslim biasa.s
Isu radikalime dan islam seolah menjadi hal sangat penting bagi pemerintah (Menag), hal itu terlihat dari mandat awal saat pelantikan menteri agama Fahrul Razi diminta untuk mengatasi masalah radikalisme ini, padahal seabrek permasalahan umat islam yang butuh diselesaikan misalnya ekonomi berbasis ribawi, perzinaan, LGBT bahkan banyak kaum muslimin yang masih terbata-bata dalam membaca kitab sucinya, harusnya ini yang menjadi proyek kerja penting pemerintah terutama kemenag, berusaha membantu umat untuk keluar dari permasalahan mendasar mereka yaitu tidak mampu menerapkan islam dalam kehidupan sehari-harinya, bukan malah mengeluarkan stigma negatif bagi para Da’i pengemban ideologi islam yang mengajak umat kembali pada aturan islam.
Karena jika kita perhatikan kondisi saat ini, begitu pesat berkembang pemahaman islam di masyarakat, hal ini bisa ditandai dengan menjamurnya kajian-kajian islam, komunitas-komunitas islam yang menggagas kembali kepada islam sebagai aturan dasar, misalnya komunitas X-Bank yang ingin kembali kepada ekonomi islam tanpa riba, komunitas hijrah yang berusaha memperbaiki pandangan hidup sebagian masyarakat indonesia yang terjangkiti virus liberalisme, hedonisme , dan berbagai pandangan hidup yang tidak berasal dari islam serta komunitas islam lainnya yang tentu saja bergerak dalam kebaikan dengan dorongan Taqwa dan keimanan. Tentu saja hal ini muncul karena ada aktifitas dari agen-agen islam yang memiliki pemahaman bahasa arab yang baik, pemahaman islam yang benar, banyak diataranya hafidz Quran dan tentu saja good looking. Dengan kerja keras mereka menyadarkan umat untuk kemudian kembali kepada islam, menyadari keberadaan Allah SWT bukan hanya sebagai penciptanya saja tapi juga sekaligus yang pengatur segala urusan, sehingga mereka sangat rindu akan kondisi patuh pada aturan sang pencipta semata, menginginkan kepengurusaan mereka dalam semua aspek diatur oleh islam. Dimana kerinduan tersebut lahir dari keyakinan sebaik-baiknya aturan adalah yang Allah turunkan, dan hal tersebut tentu saja ada karena bersinggungan dengan agen – agen islam yang hanif, yang menyeru mereka baik langsung maupun melalui sosial media, bekerja mengharap ridha Allah semata bukan motif dunia murahan berupa kekuasaan. Harusnya pemerintah berterimakasih kepada mereka, karena membantu menyelesaikan sebagian permasalahan umat yang justru jarang mendapatkan sentuhan, yaitu menjadi pelindung bagi akidah-akidah dan juga keimanan mereka yang porak poranda dalam hegemoni kapitalisme saat ini. Kecuali jika pemerintah dalam hal ini kemenag menganggap bahwa kembali kepada ajaran islam yang fitrah adalah ancaman, sehingga pergerakan masyarakat yang semakin paham akan kebenaran islam dan rindu islam diterapkan harus dibungkam. Tapi bukankah aneh sekali, ditengah-tengah masyarakat indonesia yang mayoritas muslim, para Da’i dan ajaran islam dimusuhi?